Sekilas Tirta Samudra

Sejarah Lengkap

Sejarah Tirta Samudra

VI. Mendekati Titik Nol

Selesainya tahap 1 program TS dan Pemunculan pertama di depan publik umum (2003)

Tahun 2003, diharapkan merupakan tahun yang istimewa setelah tahun 2000-2001 dilalui dengan cukup berat. Tahap pertama TS 2003 yaitu restrukturisasi organisasi dan manajemen tercapai pada bulan Februari. Selain itu klub untuk pertama kalinya muncul di depan publik umum melalui eksebisi di atrium Plaza Araya (sebelumnya selalu di depan publik terbatas di mana masyarakat umum tidak selalu bisa menonton). Even ini diikuti dengan liputan khusus tentang Tirta Samudra di koran Jawa Pos Radar Malang.

Selain itu, pada tahun ini pula PB WI mencanangkan diberlakukannya kurikulum baru taolu standar internasional, dimana terdapat 10 jurus wajib, dan dari 7 jurus kurikulum lama hanya nan quan yang tetap digunakan. Dalam mengantisipasi hal itu, beberapa alumni TS yang juga merupakan atlet-atlet yang berperan banyak dalam sejarah TS yaitu Andre Feryanto, Rudy, Andrianto Rahardjo, dan Denny Pangat, berinisiatif menjadi konsultan bagi TS dalam mengikuti kurikulum baru tersebut, bekerjasama dengan Kepala Pelatih TS yang juga salah satu atlet andalan klub, Rico Yulianto.

Kesemua momen tersebut menjadi langkah awal bagi tahap kedua TS 2003 dengan reposisi operasional klub, antara lain perubahan sistem latihan, perubahan sistem operasional, serta perintisan kerjasama internasional. Akan tetapi hambatan berupa rendahnya animo masyarakat terhadap wushu yang berimplikasi terhadap kurangnya kuantitas dan kualitas dalam pengembangan anggota tetap merupakan tantangan utama yang harus dihadapi.

Krisis SDM, krisis produktivitas dan penurunan image

Program TS 2003 tahap pertama telah memenuhi target yang dicanangkan, yaitu penertiban sistem kerja sesuai dengan job description yang telah disusun. Akan tetapi ketertiban kerja tersebut tidak diikuti peningkatan konkret bagi klub. Bahkan permasalahan-permasalahan semakin bertambah. Kegiatan promosi telah disiapkan dengan baik oleh manajemen klub dengan menampilkan diri dalam kegiatan Cowboy Night Party di SMUK St. Albertus serta Acara Peringatan Proklamasi 17 Agustus 2003 di Plaza Araya. Kedua kegiatan eksebisi mendapat sambutan yang tidak sebagus eksebisi terdahulu. Klub mengadakan survai melalui telepon, dan didapat respon menarik, bahwa banyak yang menyatakan mulai bosan dengan pertunjukkan wushu (bahkan ada kejadian menarik lain yaitu ada permintaan agar Tirta Samudra bersedia mengisi acara imlek 2004 di Plaza Araya, tetapi kalau bisa jangan atraksi wushu melainkan atraksi Dewa Uang dan sebagainya). Klub tidak serta-merta mempercayai respon masyarakat tersebut, melainkan melakukan observasi ke dalam internal klub dahulu.

Hasil observasi internal menunjukkan bahwa terjadi penurunan motivasi pada para anggota, sehingga banyak yang mengundurkan diri. Bahkan beberapa asisten pun mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Peristiwa ini memperparah krisis SDM yang telah ada. Selain itu ada buntut lebih besar, yaitu sepanjang 2003, setiap bulan klub mengalami defisit keuangan. Hal ini disebabkan bahwa sepanjang 2003, jumlah anggota baru yang masuk dibawah 10 orang, sementara banyak yang pula yang mengundurkan diri. Bahkan pada setengah tahun terakhir 2003, rata-rata kehadiran anggota setiap latihan adalah sekitar 10 orang. Lebih parah lagi, 70% anggota yang masih berlatih adalah penerima subsidi. Sementara pengeluaran rutin berupa tunjangan tim pelatih, biaya sewa gedung (KSB berkapasitas 50 orang), biaya operasional klub harus tetap berjalan. Situasi ini mengakibatkan ekonomi klub menjadi tidak sehat dan produktivitas klub sangat rendah. Tampilnya klub dalam artikel khusus di Jawa Pos Radar Malang ternyata juga tidak berhasil mendongkrak animo masyarakat Malang untuk bergabung dan berlatih wushu.

Akan tetapi hal menarik yang terjadi adalah majunya perkembangan website klub, di mana pengunjung website tersebut mencapai ribuan orang, dan anehnya lagi, sebagian besar justru dari luar negeri. Website ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Anomali yang terjadi adalah, kesan kita di antara para peminat wushu dan beladiri dari berbagai penjuru makin meningkat, tetapi kesan klub di mata publik Malang makin menurun.

Respon dari anggota, orangtua peserta latihan, serta alumni

Keadaan klub yang genting, ternyata memancing respon bermacam-macam dari anggota, orangtua peserta serta alumni. Sangat menarik, bahwa beberapa dari mereka kemudian menyatakan bahwa mereka bosan berlatih wushu dan lebih baik melakukan kegiatan lain. Alasannya sederhana, yaitu harus mempelajari dari awal materi baru yang lebih sulit, padahal mereka telah berlatih materi yang lama dalam kurun waktu yang lama pula. Selain itu mereka melihat bahwa pamor wushu makin redup dengan jarangnya wushu dimuat di media serta tidak jelasnya agenda kompetisi. Hal ini diperkuat dengan kesibukan rutin mereka untuk sekolah, kuliah atau bekerja, yang menurut mereka tidaklah sepadan untuk dikorbankan demi berlatih wushu yang tidak jelas masa depannya. Sangat mengejutkan, bahwa ternyata respon inilah yang muncul dari sebagian besar anggota yang memilih mengundurkan diri. Bahkan, keberadaan beberapa alumni yang menjadi konsultan dalam mempelajari materi baru, tetap tidak mampu mempertahankan motivasi mereka.