eksotika
dotkom
Eksotika
dotkom menangkap gambaran manusia dalam suatu jaringan relasi
persoalan, tentu saja, eksotika dotkom adalah juga soal
yang diturunkan dari penanda semacam "http://www.eksotika.com".
Agus Suwage, seniman yang sering melibatkan gambaran dirinya
jadi bagian persoalan karyanya, menarik kita pada situasi
penyangsian, di situ, gambaran potret diri memang bisa dilihat
sebagai 'identitas', tapi sesungguhnya adalah persoalan
'identifikasi'.
Agus Suwage memang tidak pernah jera menggambar(kan) dirinya
sendiri, atau membenturkan perkara personalnya pada wilayah
diskusi bersama, makanya, ihwal wilayah ini jadi perkara
sensitif, di masa kini, wilayah/tempat itu jadi (seolah)
tak berbatas dan hanya dihidupi oleh gairah 'percepatan'
(waktu), dan proyek eksotika dotkom coba menantang itu.
(Rizky A. Zaelani, kurator)

turmoilisrockingmycountry
(gonjangganjingnegeriku) acrylic on canvas, (9) X 145 X
286 cm, 1998 - 2000
Perjalanan
Herry Dim
Menembus Kemarahan
Oleh : I.
Bambang Sugiharto
Diantara
sekian lukisan Herry Dim yang langsung menyergap sensasi
visual tentunya adalah rangkaian gambar besar berjudul “gonjangganjingnegeriku”.
Lukisan “gonjangganjingnegeriku”
bukanlah serangkaian baliho. Kalau pun kita menganggapnya
baliho, ia adalah baliho yang mengecoh. Gambar-gambar raksasa
pada latar depan barangkali mesti dilihat justru sebagai
latar belakang. Sedang kotak-kotak semiotis kecil pada bagian
atas tiap bilahnya agaknya mesti dilihat sebagai latar depan.
Saya melihat focus sesungguhnya terletak di sana
: pada kotak-kotak yang senyap itu, bukan pada hingar-bingar
besar sekelilingnya. Bentuk berbagai figur dengan sapuan
besar dan kasar dalam kanvas-kanvas raksasa itu memang tampak
seperti potret yang verbal dan wantah dari situasi krisis
Indonesia di masa peralihan tempohari. Pelukisan yang nyaris
sangat harfiah itu sekilas membuatnya tak lebih dari poster
jalanan dari kaum pergerakan atau grafiti kemarahan bersimbah
darah pada dinding-dinding kota dari para vandalis.

Coretan sketsa Herry Dim untuk karya
"Instalasi Labirin"
, Galeri Nasional,
Jakarta, Agustus 2000 |
Tapi
tentu bukanlah Herry Dim bila hanya berhenti di situ. Ada
proses emosional menarik yang telah melahirkan karya-karya
itu. Tapi juga kesan itu bisa menjadi lain bila semua kita
tarik ke arah figur-figur kecil pada tiap kotak di setiap
bilah kanvas itu.
Lukisan-lukisan itu lahir dari kekecewaan, bukan hanya atas
situasi kemelut Indonesia, tapi terutama atas ketidakhadiran
si pelukis sendiri di saat kemelut itu berkobar membakar
negerinya (saat itu ia sedang berada di luar negeri). Format
besar kanvas, karenanya, memberinya semacam sense of
involvement, rasa keterlibatan pada realitas yang lebih
besar. Dan kenyataan bahwa tiap kali ia melanjutkan proses
melukisnya persis saat matahari berada di atas ubun-ubunnya
-yang membuatnya terpanggang sinar matahari selama proses
itu- membuat seluruh proses melukis itu bagai sebuah ritual
aneh : barangkali semacam proses meledakkan kemarahan, merajam
diri dengan rasa bersalah yang tak jelas, serentak menyiangi
jaringan kemelut batin itu, merenungi tiap buhul jaringan
tersebut, yang lantas bermuara pada bentuk ikon-ikon mungil
pada tiap kotak kecil di tengah hiruk pikuk gambar besar
itu.

Coretan sketsa Herry Dim untuk karya
kola-
borasinya, "Doa bagi
Sebuah Negeri ", bersa-
ma seniman lain, Galeri Nasional, Jakarta,
Agustus 2000 |
Ikon-ikon
kecil seperti mulut, korek-api, tangan mengepal, batu, wajah
Ninja, dsb., itu seperti setiap kali tiba-tiba membekukan
gerak gejolak pada tiap bilah, membuat kita tersentak dan
berhenti sejenak, keluar dari fenomen lalu barang sekelebat
melongok essensi-essensi dari tiap gejolak.
Menarik, juga oleh sebab ikon-ikon itu digarap dengan teknik
berbeda : drawing yang halus dan intens, berlawanan
dengan sapuan-sapuan kuas sekelilingnya yang liar dan kasar.
Dan umumnya ikon-ikon itu pun hitam putih saja, kontras
dengan sekelilingnya yang penuh warna : seperti ajakan masuk
sesaat ke dalam kesenyapan di antara gemuruh teriakan, atau
seperti jendela-jendela essensi yang ditemukan setelah menerobos
kabut kemelut emosi.
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa pada ikon daun sirih,
lalu cabe, bawang putih dan bawang daun, mulai ada warna
lain, tidak lagi hitam putih. Sepertinya di situ perenungan
sampai pada sejenis optimisme baru?
Dan bila dilihat bahwa daun sirih maupun cabe atau bawang
adalah unsur-unsur dalam ritual tradisional untuk menolak
bala, maka dengan itu ada isyarat bahwa perjalanan Herry
Dim menembus amarah akhirnya seperti sampai pada tataran
misteri, dan karenanya lantas masuk ke wilayah transendental
: wilayah dimana perkara sosial-politik menunjuk lebih jauh
pada naluri-naluri terdalam terhadap kejahatan dan kebaikan,
kematian dan kehidupan; naluri yang akhirnya tak pernah
bisa sepenuhnya dijelaskan.
Agaknya wilayah ritual transendental ini pulalah yang umumnya
bergema pada lukisan-lukisan lainnya. Hal lain yang menarik
dari lukisan “gonjangganjingnegeriku”
adalah sosok perempuan penari yang ada di bagian bawah tiap
bilah kanvas itu. Dengan cepat ia seperti menunjuk pada
konsepsi “ibu pertiwi”, yang sedang menangis. Tapi sosok
perempuan macam itu sebetulnya kerap muncul dalam lukisan
Herry Dim yang lain juga, sedemikian hingga ia nyaris menggantikan
fungsi identitasnya pribadi.

Karya cukil kayu,
"Mulut-mulut & Lampu
15 Wat" , 2000
|
Adakah
ini berkaitan pula dengan kesukaannya meletakkan topeng
pada lukisan-lukisannya? Tak jelas memang. Yang jelas Herry
jenis manusia yang tak suka berkaca (dalam arti harfiah).
Barangkali ada keterkaitan antara itu semua, namun tak mudah
memang untuk menjelaskannya. Sepertinya figur ibu bukanlah
hanya figur bumi atau ibu-pertiwi, ia serentak bagian dari
identitas psikologis, sosiologis, bahkan kosmis, Herry Dim
sendiri.
Perjalanan penjelajahan bentuk Herry Dim sebetulnya cukup
panjang . Sekurang-kurangnya ada masanya ia berkubang dalam
pola surrealisme, lantas sempat pula mengeksplorasi motif-motif
etnis, garis bentuk kanak-kanak, teknik-teknik grafis, dsb.
Menarik bahwa setelah itu, pada moment-moment pengalaman
emosional tinggi, ia sepertinya menemukan intensitasnya
justru pada bentuk-bentuk natural, pada sosok-sosok kekonkritan
: daun sebagai daun, batu dalam rupa batu, dsb. Rupanyaintensitas
dan sublimitas pengalaman tak mesti identik dengan keabstrakan.
Bisa sebaliknya.***
|