Apresiasi
Musik Etnik*)
*) Garis besar bahan diskusi "Apresiasi Musik
Etnik,"
Rumah Nusantara, Bandung, 30 Oktober 2000.
Catatan
: Herry Dim
Kalau
sudah berhadapan dengan susunan kata seperti pada judul di atas,
saya hampir yakin bahwa setiap orang akan tahu maksudnya. Alih-alih
persoalannya pun hampir itu-itu juga: bagaimana mengapresiasikan
musik etnik? Setelah pertanyaan itu, umumnya diskusi, seminar,
hantam-kromo, atau apapun namanya, biasanya berlanjut
pada tunjuk-sana tunjuk-sini, misal: Musik etnik terdesak musik
hiburan dan industri! Pendidikan dan apresiasi di sekolah tak
jelas! Tak ada perhatian dan kemauan yang serius dari pemerintah
dan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab pada kebudayaan! Miskin
dan tak berdaya ketika berhadapan dengan sub/budaya yang lain!
Dan, silakan diperpanjang lagi.
Kemudian supaya sedikit gagah, bisa begini: kita harus melakukan
perumusan kembali tentang apa itu apresiasi! Telah terjadi pergeseran
sosiologis dan kebudayaan sehingga musik etnik ditinggal oleh
masyarakatnya!
Tanya-tanyaan dan jawab-jawaban yang nyaris selalu berulang,
sudah terdengar sejak awal-mula saya berkenalan dengan apa yang
disebut orang "kesenian," dan saya percaya telah berdengung-dengung
pula sejak zamannya Mang Koko dan Abah Ali, ke belakang lagi
sejak zaman Rd. Machyar, Daeng Sutigna, dll.
Melihat kenyataan itu, kadang suka muncul juga pertanyaan iseng
dalam kepala saya: Kalau gitu-gitu juga, lantas apa gunanya
sekolah-sekolah seni yang antara lain dibiayai negara itu? Pada
kemana lulusan-lulusannya yang telah dengan susah payah meraih
titel itu? Taman budaya sudah ada di mana-mana dan dibangun
dengan biaya mahal, tiap taman pun karyawannya mendekati ratusan,
apa yang mereka lakukan untuk musik etnik? Bagaimana pula dengan
instansi-instansi seperti dikbud, dirkes, atau apapun namanya
yang gonta-ganti itu? Buat apa yang namanya departemen
pariwisata yang karyawan-karyawannya sudah pasti digaji oleh
keringat rakyat itu?
Entah pula berapa forum yang saya hadiri, kadang di sana bicara,
kadang hanya mendengar, kadang pula terkantuk-kantuk; eh, kini
bertemu lagi dengan pertanyaan yang sama. Lantas, apakah masih
ada manfaatnya diskusi ini?
Andai saja bukan karena cinta dan masih berharap apa-apa yang
bersumber dari bumi ini bisa berarti bagi diri kita sendiri
dan bagi dunia, rasanya sudah mutung, menthok,
thok… thokkk...
Dalam situasi itu pula, maaf, jika catatan ini seperti hanya
menyingkap-singkap "rok"nya catatan lama. Mudah-mudahan bisa
tersingkap kembali yang sebaiknya kita lakukan.
**
Suatu
ketika saya diminta untuk menjadi salah satu pembicara dengan
thema "Pembinaan Seniman Tradisi," di Taman Budaya Jawa Barat,
rasanya sekitar tahun 1996 dan tak ingat lagi siapa penyelenggaranya.
Dalam pada itu pula makalah dan pembicaraan saya langsung memprotes
thema tersebut dengan mendekonstruksinya menjadi "Pembinaan
Birokrat Seni untuk Seni Tradisi." Pertama, saat itu (pun sebelumnya)
saya sudah menolak istilah "tradisi," karena pemposisiannya
kian hierarkis, dimana ketika berhadapan dengan modern; posisi
tradisi menjadi berada di bawah atau di belakang modernisme.
Seharusnya tetaplah dilihat dengan seimbang (equal), keduanya
adalah tata-nilai. Pencapaian tata-nilai tak pernah mengenal
masa lalu atau masa kini, bahkan dimensi geografis pun bisa
menjadi tak jelas. Lihat misalnya ketika kita mengutip pikiran
Plato, misalnya, apa lantas kita menjadi manusia yang hidup
400 SM? Dan apakah pula langsung ketika itu kita menjadi manusia
Yunani? Logika itu seharusnya berlaku pula ketika kita melihat
kembali/memakai/meminjam/mengembangkan/mengadopsi atau apapun
namanya terhadap budaya Lety, Dayak, Kanekes, buah pikiran Hasan
Mustafa, Ronggo Warsito, dll.
Pemposisian menjadi atas-bawah atau depan-belakang, ini tak
lain dari buah/keberhasilan antropologi kolonial setelah pada
abad-abad pertengahan berhasil "mengangkut" sebagaian besar
kecerdasan Timur, kemudian membangun model-model academeia atau
lyceum yang satu abad sebelumnya telah jadi tradisi Yunani.
Di situlah mereka melahap ilmu, setelah itu dan sambil mengibarkan
bendera pencerahan, mereka jalan-jalan lagi ke Timur dengan
mengatakan; ini punyaku yang modern, yang kamu pakai itu tradisional!
Saat itulah superioritas dan inferioritas dimulai bersamaan
dengan ekspansi besar-besaran dalam bentuk kolonialisme. Anehnya,
logika yang menjajah itu masih kita gunakan pula sekarang ini.
Maka sesungguhnya pula sepanjang kita yang konon merdeka pada
tahun 1945, itu (sekurang-kurangnya lewat bawah sadar) melakukan
kolonialisme terhadap kebudayaan kita sendiri. Itu dulu yang
harus dibongkar! Merdekakan dulu pikiran kita! Setelah bebas
dari inferior, maka segalanya pun mesti menjadi equal. Tak bisa
lagi hidup hanya dengan belas kasihan, melainkan sama-sama gagahnya
dan sama-sama struggle di satu dunia kangouw yang
namanya kesenian.
Berikutnya, kedua, sambil agak bergurau saya katakan: Boleh
percaya dan sudah semestinya percaya. Catatlah tiap nama seni
yang ada di pelataran nusantara ini masing-masing di atas secarik
kertas, lalu masing-masing digulung seperti untuk kocokan arisan.
Setelah itu, siapapun sambil merem (tutup mata) boleh
ambil satu per satu. Bacalah hasilnya, saya jamin, pasti kesenian
itu adalah kesenian yang bagus. Bahkan tak terbatas baik yang
lahir di masa lalu ataupun karya-karya yang terbaru. Guyonan
itu untuk membuktikan bahwa karya-karya "yang baik" itu sangat
melimpah di bumi kita ini (lagian apa bener kesenian
itu bisa ditanding-tandingkan bahwa karya Sujiwo Tejo itu lebih
bagus dari Chopin atau sebaliknya). Dan guyonan itu, sekaligus,
untuk mendekonstruksi thema yang saya sebut di atas. Singkatnya,
seniman dan karyanya itu sudah hebat-hebat alias tak perlu dibina
lagi. Sekaligus mestinya bangga hati, bahwa dalam hidup yang
sulit, tanpa perhatian yang bener, hampir rata-rata bermodal
duit bahkan nyawanya sendiri, tokh tetap melahirkan karya-karya
yang hebat. Atau setidak-tidaknya menghidupinya dengan hebat,
tengok (saya sebut satu nama saja): Mimi Rasinah!
Sebaliknya yang masih buta seni, tak juga mudheng, terjebak
kerjaan rutin dan catur melulu, bingung menghabiskan anggaran,
itu adalah birokrat-birokratnya sendiri. Mereka yang tampaknya
harus dibina dan dilatih oleh seniman-seniman.
Ayo, Mimi, kemplang ndase birokrat-birokrat iku!
**
Selang
sekian waktu kemudian, di tempat yang sama, saya diundang oleh
MSPI untuk bicara dengan judul yang agak aneh "gerakan bawah
tanah." Tulisan yang saya ketengahkan agak melenceng dari harapan
panitia. Dua hal yang saya ketengahkan. Pertama, menceritakan
pengalaman masa kecil nonton kesenian di pelataranselatan stasion
Bandung.
Ruang publik dan tempat representasi seni (daerah), begitu terbuka
saat itu. Tiba-tiba muncul "pelarangan" dengan alasan pengamanan.
Maka saya buktikan, bahwa puluhan tahun setelah itu ditutup;
kriminalitas dan pelacuran bukanlah hilang atau menurun. Singkat
kata pelarangan itu tak beralasan selain mematikan ruang publik
bagi kesenian rakyat. Pada saat itu pula seni etnik yang butuh
ruang publik dan "tak nyeni" jika di gedung; mulai berguguran.
Dalam pada itu, mari kita lihat pula "ruang publik" dalam artinya
yang luas. Selain RRI adakah radio swasta yang menyisakan waktu
untuk musik etnik, begitu pula tv yang selain tvri hanya memberikan
tempat yang begitu sempit.
Lagi-lagi, jangan menunggu belas kasihan; perjuangkan dan "rebut"
waktu tayangnya. Kalimat ini malah telah didengungkan jauh hari
sebelum musim "otda," mumpung belum telat; bukankah
bagus jika tiap radio swasta menyediakan waktu 1 jam, misalnya,
untuk musik etnik di daerah siarnya. Jika diatur bergilir dan
dijumlahkan seluruh jam siarnya, maka akan cukup setiap hari
dan malam kita dengar kembali musik etnik. Ini penting, sebab
apresiasi musik yang pertama sekali harus dilakukan bukanlah
di"omong"kan tapi didengarkan!
Kalau tidak dengan sistem 1 jam, kenapa tidak penyiar-penyiar
itu memutar karya-karya etnik bersama karya-karya lainnya? Apa
bedanya? Tolong jelaskan. Kalau tidak terjelaskan, maka keengganan
itu tak lain dari "mental pembedaan" tadi dalam posisi
yang satu rendah dan yang lain tinggi: itu yang namanya mental
kolonial yang menjajah miliknya sendiri.
Kedua, bersamaan dengan rontoknya ruang-ruang publik untuk musik
etnik, mulai pula tumbuh sekolah-sekolah seni. Galibnya, sekolah-sekolah
ini bertanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesenian-kesenian
yang telah ada di sekelilingnya. Tapi yang terjadi menjadi seperti
pesaingnya. Singkat kata, berguguranlah model-model sanggar
berganti dengan munculnya ungkapan: "ah, abdi mah ngan ukur
seniman kampung, teu nyakola...." Bahkan secara eksplisit
ada di antaranya menjadi larik lagu Mang Koko, "seniman nu
titelna ngan ukur emang."
Saat itu saya kemukakan, bahwa sekolah melahirkan seniman (itu
pun kalau mungkin) adalah salah satu saja dan bukan yang utama.
Bagian lainnya adalah melahirkan pencatat, pengeritik, manajer,
pakar sejarah, pengelola yang baik, produser, promotor, dan
banyak lagi keperluan dan tugas lain. Singkatnya, saya katakan
pula: "pada saat itulah kanibalistik terhadap seni etnik itu
dimulai." Hasilnya, yang tumbuh segar dan bagus di pelatarannya
berguguran, sementara yang ditumbuhkan di sekolah-sekolah hingga
kini pun belum (untuk tidak mengatakan "tidak") jadi apa-apa.
Eh, malah sejumlah anak sekolahan marah sambil nunjuk-nunjuk:
"Anda juga orang sekolahan...."
Wah, itu bukan diskusi man.
Saya hanya ingin membuktikan saja, bahwa tempat tumbuhnya kesenian
itu bisa di mana-mana, bahkan lebih umumnya tumbuh di tengah
kehidupan. Maka menjadi seniman itu habitatnya adalah di tengah-tengah
kehidupan dan bukan di kampus. Singkatnya lagi, menjadi seniman
itu hak setiap orang yang waras dan bukan melulu hak orang sekolahan.
Kalau meng"ilmu"kan seni dan kesenian, ya, sekali lagi "ya,"
semestinya dilakukan, diuji, diteliti, dibangun wacananya di
sekolahan. Jelly Roll Morton itu munculnya dari tempat kumuh
di New Orleans, tapi jazz diilmukannya memang di kampus-kampus
hingga kini menjadi wacana.
Hendaknya dengan cara itu pula kita melihat Darso atau padepokan
yang melahirkan dalang-dalang bagus di Jelekong itu.
**
Tahun
80-an sejumlah anak muda membikin gelaran "Musik Merah Putih,"
dan meminta saya untuk berbicara di dalam diskusinya. Saat itu
ada band-nya Harry Moekti dan belum lama berselang ada gelaran
band Uriah Heep di Stadion Siliwangi. Antara lain saya
bilang, secara teknis harus saya akui pemusik-pemusik kita itu
hebat. Bahkan saya berani mensejajarhan pemain gitarnya Harry
Moekti itu dengan gitarisnya Uriah Heep.
"Huuuuuhhhhh...," teriak suara di floor serempak.
Saya hirau dengan senyum, dan saya lanjutkan: yang kurang itu
adalah komitmen sosial, keterlibatan, menemukan radix masalah;
sehingga dengan teknis yang tinggi itu menjadi tak ada yang
diungkapkan.
Dua puluh tahun kemudian, tiba-tiba saya mengatakan lagi kalimat
yang sama kepada anak-anak saya. Lihat saja band Gigi, luar
biasa dan bagus-bagus sekali komposisi yang mereka buat. Tapi,
wah, kebagusan itu menjadi mubazir karena sekadar dipakai untuk
ngomongin masalah-masalah tetek-bengek. Sayang.
Pernyataan ini sesungguhnya berlaku pula bagi apa yang saya
lihat pada peristiwa "sepekan musik kontemporer" beberapa waktu
yang lalu. Banyak sekali "kerumitan" itu hanya menjadi "kerumitan"
itu sendiri, tak ada sesuatu pun yang bisa dipungut selain rumit.
Anehnya, tidak demikian jika saya mendengarkan Cage atau Stockhaussen,
misalnya, karena tiba-tiba peta dialektika musikal, mata rantai
pikiran, dan riwayat penemuan menjadi jalin berjalin. Wah.
Saya singgung musik kontemporer, sebab sesungguhnya ada yang
menarik dengan karya-karya mereka yang pada kesempatan itu umumnya
"memanfaatkan" perbendaharaan musik dari kampung halamannya
masing-masing.
Tampaknya, ada tuntutan lain setelah "masa hidup" musik etnik
itu bergeser ke "masa hidup kontemporer." Penjelajahan pikiran
dan representasi pikiran-pikiran, tampaknya menjadi kebutuhan
berikutnya. Maklum, dulu ketika musik itu masih menjadi bagian
komunitas bersama, hal seperti ini sudah meng"ada" dan menjadi
bagian dengan sendirinya.
Bagian ini kita tutup dengan catatan tentang "cross-Overs."
Sebuah kebudayaan yang tak baru lagi, sebab sudah berlangsung
sejak 1960-an. Inilah saat pembongkaran batas antara "seni adiluhung"
dan "seni jalanan," atau kolaborasi "seni itu" bertemu "seni
ini." Akan panjang uraiannya, tapi singkatnya "zaman baru" ini
akan terus menandai kecenderungan ke depan.
**
Berikutnya, saya ingin mengajak memetik pelajaran dari Motown.
Motown Record Corporation adalah kumpeni musik hitam pertama
yang kini menjadi terbesar di AS. Dari sana nama-nama besar
seperti Diana Ross & Supremes, Smokey Robinson & Miracles, Marvelettes,
Stevie Wonder, Marvin Gaye, Temptations, dan Michael Jackson
& Jackson Five dimunculkan.
Mari kita lihat prosesnya dan bukan hasilnya.
Motown tumbuh di Detroit, pada 1959, dibangun oleh Berry Gordy,
Jr., seorang penulis lagu-lagu rhythm-and-blues yang berhasil.
Bukan pula ingin menceritakan terjadinya peralihan modal Berry
Gordy dari "Motortown" yang asalnya industri otomotif ke industri
rekaman. Tapi yang menarik adalah "perlawanan" di balik itu
semua.
Anda tahu dari mana asalnya istilah jazz? Itu tak lain merupakan
ungkapan cemooh kulit putih terhadap musik yang dimainkan kulit
hitam. Di dalam ungkapan kira-kira begini: "musik apa itu, kok,
bunyinya jazz, jazz, jazzz....."
Itu sebagai gambaran saja, bahwa Motown dibangun di masa-masa
keinginan bangkit mencapai puncaknya. Bayang-bayang revolusi
kalangan budak Negro di abad XVI, bagaimanapun tak bisa lepas.
Tak heran kalau tak jauh dari masa tumbuhnya Motown ada juga
gerakan lain yang disebut Black Arts Movement. Muncul sejumlah
nama peletak dasar gerakan estetika hitam seperti Houston A.
Baker, Jr.; Henry Louis Gates, Jr.; Addison Gayle, Jr., yang
menjadi editor untuk sebuah antologi berjudul Black Aesthetic
(1971); Hoyt W. Fuller, editor untuk jurnal Negro Digest (yang
kemudian menjadi Black World pada 1970); dan LeRoi Jones and
Larry Neal, editor untuk Black Fire: sebuah antologi tulisan-tulisan
kalangan Afro-America Writing (1968). Jones, dan belakangan
muncul Amiri Baraka yang menulis drama Dutchman (1964) yang
sangat kritis serta menjadi penemu Black Arts Repertory Theatre
di Harlem (1965). Singkatnya, posisi ditindas, dinomorduakan,
tak dianggap, dan apapun namanya; tidaklah hanya menjadi tempat
berkeluh-kesah. Melainkan serempak ditandai dengan adanya "kebangkitan
kesadaran" di satu sisi, dan mencoba membangun dunia industri
seperti dilakukan Motown itu. Sekali lagi, jangan hanya dilihat
hasilnya, melainkan prosesnya yang demikian panjang. Ada baiknya
kita belajar dari sana.
Maju dong maju………
Cibolerang,
29 Oktober 2000