Salam
Sejahtera,
selamat berjumpa di Rumah Wacana
 |
Saudara-saudara
sekemanusiaan, abad ini akan kita akhiri dan akan kita masuki
abad yang baru, abad ke 21.
Dalam tempo peralihan zaman yang tinggal sedikit lagi ini, muncul
lagi pertanyaan yang dulu pun pernah sama-sama kita lafalkan:
apa yang kita wariskan kepada dunia dan kehidupan kita sendiri
di masa mendatang?
Bangsa lain tentu saja ada yang dengan senyum
simpul melenggang ke masa depan karena merasa telah pernah mewariskan
ragam penemuan sains dan teknologi, yang satu lagi cukup tenang
karena telah berhasil membangun perekonomiannya sedemikian rupa,
yang lainnya membawa sebuah kebanggaan karena anak bangsanya mewariskan
penghargaan nobel.
Sementara kita, apa yang bisa kita wariskan kepada sang zaman?
Banyak! Antara lain sejumlah kisah perilaku kekerasan dan pelanggaran
hak azasi manusia, kepandaian akrobatik politik para politikus
dengan topeng badutnya, tidak pandai mengocek bola di lapangan
hijau tapi ahli mengocek-ngocek dan memberaki hukum, rakus bahkan
tak peduli yang ditenggak itu darah rakyat, setumpuk kegemaran
ber-utang bahkan tak peduli meski telah melewati ubun-ubun, serta
sederet daftar perilaku biadab lainnya.
Setidak-tidaknya itulah yang kini menjadi imaji umum tentang diri
kita. Seolah tak ada lagi peradaban kecuali kebiadaban. Seolah
tak ada sedikitpun wacana yang berkembang.
Prihatin akan hal itu sambil tetap optimis memandang ke depan;
bahwa sesungguhnya banyak sekali wacana-wacana kebudayaan yang
berserakan tak terurus, tak terperhatikan bahwa justru yang berserakan
itulah yang nantinya membuktikan "nilai" kemanusiaan
suatu kumpulan ras bangsa. Untuk itu pula Wacana
secara sukarela dibangun.
Sampai sejauh peluncuran perdana di bulan Desember 2000 dan sejak
persiapan awal dua bulan sebelumnya, Oktober-November, Wacana
dipersiapkan dan dibangun sendiri. Artinya sejak mempersiapkan
bahan-bahan, mempelajari teknologi komputer dan internet, merancang
bentuk, mengisi bentuk, mencari jaringan internet, bahkan merancang
typography Wacana hingga menjadi
TrueType Font seperti sekarang ini, dll., sepenuhnya dikerjakan
seorang diri dengan peralatan yang tentu saja serba seadanya.
Wacana menyadari bahwa untuk perkembangan pengelolaan berikutnya
tak mungkin lagi bisa dikerjakan sendiri. Cukuplah kesendirian
itu untuk langkah memulai dan pembuktian saja bahwa hal ini mungkin
dan bisa!
Selanjutnya Wacana membuka diri kepada
siapapun yang memiliki kepedulian kepada seni dan kebudayaan untuk
ikut serta di dalamnya.
Untuk langkah pertama, tentu saja perlu dimulai dengan jiwa voluntir
alias kesukarelaan dan semata-mata berbakti kepada dunia yang
kita cintai serta kita yakini ini. Pada perkembangan berikutnya,
Wacana pun telah membayangkan dan
bercita-cita agar hal ini menjadi "pekerjaan" yang sepatutnya
dihargai sebagai "pekerjaan."
Untuk itu Wacana mengundang segenap
kerabat baik untuk menjadi redaksi, penyantun wacana/teks/bahan,
reporter, ataupun penyantun dana.
Di balik itu, bahkan Wacana telah
membayangkan dan mencita-citakan sebuah konsep baru: "rumahku-kantorku."
Yaitu konsep kerja tanpa harus berkantor formal, melainkan bisa
di manapun dan bahkan tak terikat waktu (jam kerja) yang kaku.
Dengan itulah Wacana mengajak membangun sesuatu yang berarti.
Kini bangunan dasarnya sudah berdiri, ruang-ruangnya sudah tersedia
dan beberapa masih tampak kosong. Sekaligus pada peluncuran Rumah
Wacana ini, kami mengundang siapapun
untuk mengisi ruang-ruang tersebut. Silakan kirimkanlah artikel
yang pernah ditulis bahkan pernah dimuat di media, makalah seminar,
atau karya tulis lainnya ke redaksi Wacana.
Kami menunggu pula kiriman gambar, sketsa, reproduksi lukisan,
instalasi atau karya lainnya. Besaran file tak lebih dari 100
kb, naskah wacana atau gambar dikirim lewat email ruwacana@yahoo.com
atau dengan mengeKLIK tombol Kirim
Wacana di bawah ini. Jangan lupa sertakan pula biodata, data
lengkap karya ataupun naskah yang dikirim.
Salam,

|