Makna Seni
Herbert Read
Pengantar Redaksi
Ketika kemarin kita
begitu gaduh memperbincangkan isu-isu postmodern, sebetulnya
hampir bisa dipastikan bahwa semuanya tidaklah dilandasi oleh
pengetahuan yang memadai tentang modernisme. Padahal meskipun
berberapa pihak (pemikir) menyatakan bahwa postmodern itu adalah
arus tersendiri dalam bidang pemikiran, kenyataan umumnya adalah
tetap sebagai reaksi terhadap modernisme.
Sementara itu pula tak sedikit dari pelaku-pelaku modernisme
di tanah air, itu lebih merupakan modernis cangkokan yang tak
juga dilandasi pengetahuan yang memadai. Umumnya tak lebih sebagai
peminjam gaya seperti halnya kita meminjam jas dan dasi untuk
sebuah kenduri. Oleh karena itu pula ketika gaduh postmodern
itu terjadi, bisa dikatakan sama sekali tak ada reaksi dialeketis
dari pihak modernis.
Melihat kenyataan itu, siapapun menjadi boleh bertanya-tanya:
jangan-jangan modern pun belum kita jalani dengan benar?
Dan jangan-jangan ke-modern-an pun sesungguhnya belum pernah
ada di bumi kita ini, kecuali satu-satunya yang begitu kokoh
dan tangguh yaitu almarhum St. Takdir Alisjahbana.
Sadar akan hal itu, Wacana bermaksud
mengarah ke dua arah sekaligus. Sisi yang satu, tetap berorientasi
ke depan mengikuti perkembangan peradaban baru. Sisi lainnya,
Wacana terdorong untuk membangun
fondasi sehingga perjalanan ke depan itu tidak lagi serabutan,
melainkan berdasarkan pengetahuan masa lalu yang memadai.
Dalam pada itu Wacana secara berkala
akan menurunkan pengantar apresiasi berdasarkan babon
modernisme.
Contoh
Iklan
|
Ketika
keputusan ini diambil, kenyataannya Wacana
pun dihadapkan kepada berbagai pilihan yang melimpah. Maklum,
karena modernisme itu sendiri telah berlangsung sepanjang dua
abad.
Dari sekian banyak kepustakaan modernisme (lebih khusus lagi
kepustakaan senirupa) yang dimiliki Wacana,
ditemukan beberapa buku yang terkategorikan sebagai peletak
dasar pemikiran modern. Adalah pemikir Inggris, John Ruskin,
LL.D., yang menulis empat jilid kitab tebal berjudul Modern
Painters, yang diterbitkan oleh George Allen tahun 1888.
Berikutnya, penyair sekaligus kritikus seni yang lagi-lagi kelahiran
Inggris, Herbert Read (1893-1968). Di antara sekian buku yang
ditulis Read, dua di antaranya adalah The Meaning of Art
yang dipublikasikan oleh Penguin untuk kali pertama di tahun
1931, dan The Philosophy of Modern Art (Meridian,
1954). Nyaris pada tahun-tahun yang sama, dari tiga serangkai
yang bersahabat yaitu Georges Braque, Pablo Picasso, dan Amedee
Ozenfant, yang disebut terakhir bersama-sama dengan Jeanneret
pada tahun 1924 menulis buku La Peinture Moderne, edisi
terjemahan bahasa Inggrisnya menjadi Modern Art.
Dari sekian babon itu, Wacana pada
akhirnya memilih The Meaning of Art untuk disajikan secara
berkala.
Ada beberapa pertimbangan sehingga pilihan jatuh pada buku tersebut.
Pertama, buku ini menguraikan hal-hal yang paling mendasar tentang
seni. Kedua, buku ini sesungguhnya merupakan hasil dari sebuah
penelitian panjang. Gairah penelitian (ilmu) adalah salah satu
tanda modernisme, sehingga buku ini cukup mewakili akan hal
itu. Ketiga dan tak kalah pentingnya, buku ini pada tahun 1973
pernah diterjemahkan oleh Soedarso SP. Tahun 1995 IKIP (kini
UPI) Bandung atas nama Jurusan Pendidikan Seni Rupa mengesahkan
hasil terjemahan atas nama Drs. H. Popo Iskandar sebagai peterjemahnya.
Tanpa mengurangi penghargaan serta hormat atas kerja keras dua
peterjemah di atas, Wacana lebih
memilih buku aslinya sebagai sumber utama, dan tentu saja dua
terjemahan di atas tetap dijadikan media rujuk-banding yang
utama.
Akhirnya, tiada kata lain yang patut disampaikan; semoga penyajian
ini sampai kepada maksud dan tujuannya, yaitu menambah wawasan
kita demi menyongsong hari depan. Selamat mengikuti.
Salam,

Makna
Seni
Herbert Read
Bab
I
1.
Definisi Seni
Kata
"seni" umumnya hanya dihubungkan dengan 'seni plastis'
atau 'seni visual,' padahal seharusnya mencakup pula sastra
dan musik. Ada karakter umum yang berlaku bagi semua cabang
seni. Oleh karena itu, dalam pembahasan kita yang membatasi
diri pada seni rupa, ini akan lebih baik jika dimulai dengan
definisi-definisi umum yang berlaku bagi setiap cabang seni.
Adalah Schopenhauer yang pertama sekali menyatakan bahwa setiap
seni itu dapat dipersesuaikan dengan kondisi yang ada di dalam
musik. Pernyataan ini mengandung kebenaran penting, tak heran
kalau kemudian sering diungkap ulang meski di antaranya banyak
juga yang salah pengertian.
Yang menjadi pusat pemikiran Schopenhauer adalah kualitas abstrak
di dalam musik. Di dalam musik, dan hampir hanya di dalam musik;
seniman dapat berhubungan secara langsung dengan audiens-nya,
tanpa harus ada intervensi medium komunikasi yang biasanya dipergunakan
kalangan umum untuk tujuan lain. Seorang arsitek mengekspresikan
dirinya lewat bangunan yang di kalangan umum lebih tampak fungsi
praktisnya. Seorang penyair mesti menggunakan kata-kata yang
juga telah terberi makna oleh percakapan umum sehari-hari. Seorang
pelukis selalu mengekspresikan dirinya lewat penggambaran semesta
yang juga sama-sama terlihat dan berlaku bagi umum. Maka hanya
seorang komposerlah yang begitu bebas menciptakan karya berdasarkan
kesadarannya sendiri, tanpa terganggu tujuan lain selain demi
pencapaian kenikmatan. Padahal sebetulnya semua seniman itu
mempunyai tujuan yang sama, yaitu pencapaian gairah penikmatan;
dan secara sederhananya seni tiu tak lain adalah suatu usaha
untuk menciptakan bentuk-bentuk untuk mencapai penikmatan. Bentuk-bentuk
itulah yang membangkitkan rasa keindahan kita, dan rasa keindahan
itu baru akan terpenuhi jika kita bisa mengapresiasi keutuhan
atau harmoni hubungan bentuk-bentuk yang kita amati itu.
2.
Rasa Indah
Setiap
teori seni mestilah bertolak dari anggapan bahwa: orang ..............
BERSAMBUNG