JAMBOEL.DA.RU SELAMAT DATANG DAN SEMOGA ANDA PUAS JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU SERTA SARAN DAN KRITIKNYA |
![]() |
|
|
|
|
KUMPULAN PUISIKU
KASIHKU
|
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Cerita
ini sesungguhnya pernah terjadi. Dalam masa kebebasan ini sudah
sepantasnya bila hal apapun bisa diangkat dan dikisahkan kembali.
Apalagi sejarah memang sudah betul-betul berubah, seakan kopi yang
sudah mendingin namun masih manis untuk diseruput sebagai teman
berbincang, sejarah pun mirip dengan itu. Tapi sejarah bisa lebih
manis dan juga bisa lebih pahit dari kopi, karena sejarah bisa
mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan masa kini. Sejarah mengulas
banyak inti dari kisah masa lalu yang bisa jadi berupa penyesalan
atau pelajaran yang tak terlupakan rasanya buat orang yang pernah
mengalami dan memahami. Begitu juga sejarah yang dimiliki oleh para
aktivis Timor Lorosae. Dahulu, perjuangan yang dilakukan oleh para
aktivis Timor Lorosae memang sangat konsisten. Seperti halnya
perjuangan kemerdekaan di setiap tempat di bumi persada ini, semua
pihak dari orangtua hingga bocah turut terlibat di dalam perjuangan
itu. Tak hanya para suami, kaum istri dan anak pun diajak untuk
terlibat dalam perjuangan. Tak jarang, perjuangan itu sampai
membentuk organisasi di setiap daerah di Indonesia. Itu aku ketahui
karena aku juga pernah melibatkan diri dalam perjuangan semacam itu,
walau berbeda, namun aku tetap menaruh simpati terhadap perjuangan
yang mereka lakukan. Apalagi bila perjuangan yang dilakukan karena
misi kemanusiaan dan pembebasan terhadap berbagai bentuk penindasan
dan ketidakadilan. Singkat saja kisahnya, suatu ketika aku berniat
bertemu dengan seorang kawan, yang juga seorang aktivis Timor
Lorosae. Jelek-jelek begini sudah aku katakan kalau aku punya juga
banyak kawan pergerakan. Namanya Dominggus. Tujuanku ke rumahnya
mulanya juga hanya untuk berbincang sebentar – selain tentu saja
untuk menambah bahan tulisan buat majalah di organisasiku tentang
sejarah Timor Lorosae. Ya, untuk jadi wartawan seseorang harus
melatihnya sejak masa studi. Tentu saja wartawan di pergerakan lebih
mengarah pada usaha pergerakan sosial ketimbang bicara tentang
profesi. Aku sudah siap dengan bentuk berita profil atau sejarah
atau kisah perjuangan secara praktek pada para kawan yang terlibat
langsung dalam perjuangan itu. Namun, siapa yang menyangka bila
kedatanganku itu akhirnya disambut oleh seorang wanita dengan wajah
yang beku. Beku tapi cantik. Hebat,
Dominggus punya adik yang cantik di rumahnya – semoga Dominggus
mengakuinya sebagai adik karena setahuku dia sudah punya calon istri.
Masak dia mau dua, serakah sekali bila itu benar terjadi. Sungguh,
gadis yang benar-benar manis khas orang Portugis. Tapi kulitnya
tidak seperti kulit orang Portugis – aku suka putih yang agak
kekuningan. Barangkali juga dia memang darah campuran dengan orang
Tetum. Bajunya berenda, roknya panjang hingga melewati betis,
warnanya merah menyala. Tak usah dia pakai warna merah pun, gadis
ini sudah nampak cantik. Kata-kataku barusan ingin melompat karena
keingintahuan yang menyala-nyala ketika Dominggus cepat menyorongkan
jarinya di depan mulut: “Ssst, diam. Sudah tahu aku tingkah-lakumu.
Jangan macam-macam dengan pertanyaanmu, itu mamanya. Mereka memang
sedang bersembunyi disini. Dia dan mamanya barusan dari Jakarta.
Suaminya masih dipenjara karena gerakan Timor Leste,” kata
Dominggus. Seketika niatku surut dan berujung pada rasa malu tak
terhingga. Bayangan tentang para tentara menghadapi ratusan orang
sipil terkapar karena tembakan segera terhidang di depan mata.
Sekarang, aku baru mengerti duduk persoalannya. Untungnya, ibu atau
“mama” yang bijak itu kemudian memandangku bukan dengan tatapan
yang gelisah. Kedatanganku disambutnya dengan tatapan akrab dan
tidak khawatir. Barangkali karena jaminannya adalah Dominggus. Atau
gayaku meyakinkan sebagai seorang aktivis. Kusut, kumal, percaya
diri dengan tas lusuh dan berat. Yang jelas, dia begitu percaya pada
Dominggus karena Dominggus pemimpin gerakan mahasiswa Timtim di
daerah ini. Temannya Dominggus berarti temannya juga. Karena itu
enteng saja dia menyapaku. “Kamu
asli mana?” “Nusantara,”
jawabku kalem. Dia berkerut kening karena ucapanku. Cepat-cepat aku
meralat, segera menyusulnya dengan menyebutkan asal-usulku. Seorang
asli Sumatra, kelahiran Jakarta, yang kebetulan berkuliah di kota
ini melalui ujian perguruan tinggi negeri. Percakapan mengalir
lancar kembali antara Dominggus dan mama Dorothy. Tampak gurat
ketuaan tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan di wajahnya.
Dari gurat itu, ada juga sisa kelelahan masih menggantung. Terkadang
nafasnya agak dihembuskan saat wanita tua ini bercerita tentang
suaminya. Pada suatu ketika, si anak yang berpapasan dan membukakan
aku pintu tadi, muncul dan ikut duduk di hadapanku. “Ini
anakku, anak muda. Laurena,” kata mama Dorothy. Si anak
mengangsurkan tangannya yang berdesir hangat mengalir ke kepalan
tanganku. Tapi aku jengah juga menyadari kedukaan keluarga ini.
Apalagi sejak tadi ada saja sebutir-dua butir airmata mengalir dari
pelupuk matanya yang berkerut dan agak membentuk sebuah kantong
kecil. Matanya berkaca dan agak memutih. Rambutnya yang putih mirip
bunga-bunga pohon jambu. Dorothy berbicara dan membuatku terhanyut
tentang kisah perlawanan suaminya sejak dulu. Alfonz, suaminya,
adalah kepala pergerakan di wilayah mereka tinggal. Sebagai istri,
Dorothy pun ikut dalam gerakan itu. Namun sebagai istri dia tak
berani terlihat verbal karena harus melindungi kedua anak
perempuannya. Seorang anaknya laki-laki sudah lama ikut dalam
pergerakan dan dia tidak perlu menjaganya karena anaknya merasa
perhatian yang berlebihan justru dapat menjadi beban. “Saya
baru dari menjenguk suami di penjara. Tapi tak sempat bertemu.
Mereka kejam, tak diperbolehkannya saya melihat suami saya walau pun
sekejap,” desah Dorothy lemah. Perempuan ini mengaku tak aktif
lagi di pergerakan, tapi kegiatannya yang bertugas sebagai relawan
hak-hak perempuan pun dipandang sebagai aktivitas terlarang. Namun
Dorothy tak yakin kalau larangan dia menjenguk suami kemarin karena
persoalan itu. Pasti karena tujuan utamanya memang untuk menahan
suami lebih lama dan melumpuhkan gerakan yang telah mereka lakukan
sejak lama. Yang lebih tragis, Laurena bahkan ingin menemui papanya
setelah sekian tahun ingin bertemu dengannya. Sejak dia bersekolah
di sekolah lanjutan pertama, hanya satu dua kali setahun dilihatnya
sang papa. Setelah itu, papanya kembali menghilang. Berjuang.
Kedatangannya menemani mamanya ke Jakarta justru untuk bertemu
sekaligus untuk mengabarkan dan minta ijin. Laurena berniat menikah
dengan pujaan hatinya. Namun tampaknya petugas tak mau mengerti
sehingga terpaksa perjalanan mereka sia-sia. Menurut petugas, mereka
bukan tak diperbolehkan bertemu. Hanya saja, pertemuan itu diminta
untuk ditunda beberapa waktu lagi. Padahal untuk menunggu lama tak
mungkin karena mereka tak ada kerabat di kota itu. Terpaksa mereka
akan pulang. Dorothy bercerita juga tentang kisah-kisah dia sebagai
pejuang gerakan wanita. “Itu
adalah gerakan yang sama sekali tidak menyebarkan niat untuk
memisahkan diri. Ini bukan sebuah gerakan politik,” katanya. Kalau
dipikir, semua niat Dorothy memang tak sepantasnya ditentang. Karena
yang dibicarakan oleh Dorothy justru adalah soal adat-budaya pada
suku Timor yang patriarkhis --- terjadi juga di setiap suku di
Nusantara, pada Batak atau Jawa misalnya. Namun anggapan negatif
memang sudah cenderung dipasang oleh pihak penguasa sehingga mereka
salah dalam menilai aktivitas Dorothy. “Karena
peristiwa itu, suami saya pun makin tak bisa tunduk. Mulanya saya
ingin agar Alfonz mengurangi kekerasan jiwanya supaya mereka tak
bertindak keras pada suami saya. Namun tindakan tak menentang yang
dilakukan Alfonz tetap saja tak membawa hasil. Suami saya masih saja
dikasari, apapun yang saya lakukan di Timor selalu mengundang protes,”
katanya. Dorothy juga menceritakan bahwa gerakan yang dia lakukan
bersama para kaum ibu di Timor bahkan didukung oleh jaringan
internasional. Persoalannya, menurutku, bisa jadi pihak penguasa
khawatir gerakan gender ini bisa membocorkan banyak informasi
tentang tindakan biadab yang sudah mereka lakukan sejak lama di bumi
Lorosae. “Mereka
cuma merasa khawatir, itu saja sudah cukup jadi alasan mereka
menekan. Bukankah sejak dulu mereka menekan sekalipun kadang
persoalanya nyaris tanpa alasan,” ujarku. “Tapi
gerakan kami itu bicara soal gerakan gender di lingkup internasional,”
kata Dorothy. “apa
mereka tahu?” “Mereka tak perlu tahu dan tak mau tahu,” kataku
meyakinkan. Aku segera menatap Dominggus. Dominggus memegang tangan
mama Dorothy yang mulai sesenggukan. Aku ikut merengkuh tangan yang
mulai berkeriput itu. “Sudahlah,
Ma. Istirahatlah dulu dengan Lauren,” kataku seperti barusan
dibaptis menjadi anaknya sendiri. Aku begitu terkesima dan iba
dengan perjalanan jauh mereka. Namun cerita semacam ini sudah sering
kudengar dan kerap mengundang keperihan bagi setiap orang yang
mengalaminya. Beberapa hari setelah peristiwa itu, aku tak melihat
lagi mama Dorothy dan Lauren di rumah Dominggus. Menurut Dominggus,
mereka pasti akan pulang. Namun untuk sementara waktu masih di kota
ini dan dipindahkan lagi ke tempat lain agar tak mudah terlacak oleh
para informan dan militer. Dominggus menyebutkan tempat mereka.
Namun aku mengerti bagaimanapun mereka akan merasa lebih aman bila
tak ditemui oleh orang lain. Aku adalah seorang aktivis yang membuat
majalah tentang kisah mereka. Namun hanya kusebutkan saja nama
inisial mereka. Tempat dan tujuan juga kusamarkan. Kusuguhkan sebuah
profil tak jelas namun sangat kentara mengangkat persoalan tekanan
politik yang terjadi pada sebuah keluarga di Timur Lorosae. Yang
cukup mengagetkanku justru beberapa bulan setelah peristiwa kudengar
akhirnya suami Dorothy telah wafat karena tekanan bathin yang
dideritanya. Dorothy tetap saja berkeras dalam aktivitasnya soal
gender. Baru kemudian aku tahu, perjuangan gerakan itu ternyata tak
sekedar bicara gender namun membahas juga persoalan kekerasan yang
dilakukan oleh para tentara terhadap kaum perempuan di Timor Lorosae.
Tak hanya yang dibunuh, ditinggalkan oleh keluarga dan anak-anaknya
namun juga yang mengalami pemerkosaan diam-diam. Hanya Dorothy yang
kuketahui ceritanya. Lauren, seorang putra dan putri Dorothy lainnya
tak kuketahui bagaimana kisah mereka selanjutnya. Apakah Lauren jadi
menikah atau batal karena restu bapaknya belum didapatkan atau tetap
menikah hanya atas restu sang mama. Yang jelas, perjuangan mereka
akhirnya berakhir setelah Timor Lorosae merdeka. Oleh Dominggus, aku
dikabari salam kalau Dorothy sangat mengharapkan kedatanganku ke
negaranya yang baru berdiri itu. Dia ingin aku tetap berjuang
tentang kemanusiaan bagaimanapun bentuk dan caranya. Dominggus, yang
kini sudah punya anak itu pun, bilang kalau aku sebaiknya cepat saja
menikah dan jangan jadi lajang melulu. “Tapi jangan harapkan
kebaikan Dorothy mengundangmu kesana karena akan menjadikanmu
sebagai menantu. Lauren tak mengharapkanmu, dia sudah menikah dan
punya anak usia setahun. Kau bagaimana, bujang lapuk, masak kau
harus menunggu bayi Lauren besar dan menikah dengannya?” kata
Dominggus, tertawa mengejek. Aku pura-pura meringis. Dalam bathinku,
kuangankan tentang negeri Timor Lorosae dapat kukunjungi suatu saat.
Barangkali saja ada wanita cantik berwajah portugal dengan kulit
kekuningan akan dapat kukenal disana. wassalam |
Kanal Utama | Depan | Berita | Artikel | Konsultasi | Belanja | Mail | Milis | |
Info | Tentang kami | Kontak | Iklan | |
copy
right by jamboel.da.ru
sugestion and critic please send mail to me : totok_79@hotmail.com and guestiee@belantara.com