Topik Pekan Ini

Saudara Sekemanusiaan

Mari kita ikuti

Tirakatan Budaya
Menutup Abad Gelap

di
Taman Budaya Surakarta

31 Desember 2000
pkl. 20.00
s/d
1 Januari 2001
pkl. 01.00


 

Tirakatan Budaya Menutup Abad Gelap adalah sebuah acara kebudayaan yang dilandasi keprihatinan serta semacam keinginan untuk bisa keluar dari kegelapan yang melanda kita.
Jauh sekali dari niat muluk, arogan, ataupun bertuah "sakti" bahwa tirakatan ini bisa "sim salabim" merubah segala-galanya. Tidak. Niat ini sekadar membuat tempat untuk saling bertutur-sapa dengan sejuk, saling melepas jubah-jubah kepongahan, dan tak menjadi apa-apa kecuali menjadi manusia.
Mengambil tempat di pelataran lahan kosong di belakang pendopo TBS, Tirakatan Menutup Abad Gelap diharapkan bisa melibatkan berbagai kalangan seni (rupa, tari, musik, karawitan, pedalangan, sastra, teater), rohaniawan/agamawan, cendekiawan, dan masyarakat umum.
Dilaksanakan pada 31 Desember 2000, mulai pukul 20.00 s/d pukul 01.00 tanggal 1 Januari 2001.
Pun pada dasarnya tanpa panitia formal kecuali titik-titik koordinasi antara lain TBS (Murtijono, Arifin, dan Staf), Herry Dim (hdim@melsa.net.id), Pak De No, Weye Haryanto (weye@n2art.com) , Leak (leak@solonet.co.id), Rendra dan Ken Zuraida.

Cara bagi yang Hendak Ikut
Tak rumit, tinggal mengontak alamat-alamat di atas sambil menyatakan SAYA IKUT, akan datang di TBS tanggal (sebutkan tanggalnya), dan akan menampilkan karya senirupa, puisi, tari, musik, pidato, atau lainnya (pilih salah satu).
Program ini bersifat swadaya dan berdasarkan panggilan nurani masing-masing, oleh karena itu segala pembiayaan ditanggung oleh masing-masing. Jika kemudian ada dapur umum, misalnya, itu pun mestilah inisiatif orang per orang.


Silakan menyimak teks pengantar
Tirakatan Menutup Abad Gelap pada bagian lain
situs ini: KLIK.
Selamat mengikuti.


GAMMA Nomor: 40-2 - 28-11-2000
Carut-Marut Seni Rupa
Demi memuluskan akal bulusnya, AGA Fine Arts
dan PT Balai Lelang Batavia bahkan rela "menyogok".
Sayang gagal total.

TUBAGUS Andre, kurator Galeri Nasional, beberapa kali dihubungi AGA Fine Arts dan Balai Lelang Batavia untuk diajak bekerja sama. Tapi, ajakan itu ditolaknya. Meski demikian, Balai Lelang Batavia tetap mendesak. Lewat sebuah surat yang diteken Adelia Rangkuti, mereka mencoba mengimingi Andre hadiah sebuah lukisan "Sketsa Gedung St. Carolus" karya Van Gogh untuk disumbangkan kepada Galeri Nasional.
Andre tetap menolak. Apalagi, setelah ditelitinya, lukisan Van Gogh yang ditawarkan itu ternyata palsu. Terakhir, J. Syahdam, pemilik Aga Fine Arts, malah menawarkan sumbangan uang sebanyak 2,5 persen dari hasil penjualan bersih kepada Galeri Nasional. Tawaran itu pun ditolak Andre.
Berikut petikan wawancaranya dengan Gamma.

Banyak yang menuding bahwa lukisan-lukisan yang akan dipamerkan dan dilelang PT Balai Lelang Batavia palsu. Menurut Anda?
Memang, pihak J. Syahdam melalui Aga Fine Arts meminta dukungan dari Ga
leri Nasional untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut. Mereka juga mencari dukungan ke tingkat lebih tinggi, yaitu Dirjen Kebudayaan, yang kemudian memberikan kata sambutan. Mereka juga menghubungi Museum Nasional serta berbagai lembaga kebudayaan lain. Tapi, memang ada beberapa pihak yang dengan spontan mendukung karena mereka dijanjikan mendapat semacam sumbangan dari hasil penjualan. Katanya, gagasan idealnya adalah untuk menyumbang bagi kebudayaan. Tapi, di Galeri Nasional kami memang agak lebih berhati-hati. Setelah pihak penyelenggara pameran berkunjung, kami memang berkesempatan mempelajari beberapa karya yang mau dipamerkan. Kami mendapatkan kondisi lukisan tersebut dalam keadaan tidak terawat. Lalu, dalam kapasitas saya sebagai konservator swasta di Primastoria, kami mendapatkan order untuk merawat lukisan-lukisan tersebut. Di sanalah saya bisa mengamati bahwa ada beberapa hal yang meragukan. Akhirnya, secara institusional, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan galeri, kami menolak memberikan dukungan terhadap kegiatan mereka.
Lalu?
Kemudian mereka menggunakan strategi lain. Mereka menawarkan sumbangan sebuah karya Van Gogh berjudul "Sketsa Gedung St. Carolus" kepada Galeri Nasional. Surat penawaran itu ditandatangani ketua panitia, Adelia Rangkuti. Tapi, setelah mempelajari karya itu, para kurator kami meragukan keasliannya. Dan kami pun tetap menolak. Tapi, mereka masih memburu terus. "Okelah, kalau tidak mau lukisannya, bagaimana dengan hasil penjualan sebesar dua setengah persen," begitu kata mereka. Nah, saya lalu berpikir, apa dasar sumbangan ini, apakah karena ada kaitannya dengan dukungan yang akan kita berikan? Tampaknya itu memang mengarah ke sana. Wah, saya pikir ini jebakan juga. Terlepas dari adanya niat baik mereka, saya merasa disogok. Sebab, prosedur menyerahkan hibah, memberikan sumbangan, dan memberikan dukungan memang berbeda.
Sebelumnya sudah mengenal J. Syahdam?
Saya tidak mengenal dia, meski pernah bertemu sekali. Katanya, dia senang dengan koleksi-koleksi tua. Tapi, dia sendiri merasa memiliki seorang konsultan, yaitu Pak Sulebar M. Sukarman, seorang anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Saya tidak tahu apakah Pak Sulebar ini terlibat dalam soal kepanitiaan atau dia yang menjamin lukisan itu. Yang jelas, dia juga harus bertanggung jawab dalam soal keaslian. Soalnya, kasus seperti ini justru membuat carut-marut seni rupa kita.
Kembali ke soal keaslian, apa dasar penilaian Anda?
Di situ saya melihat ada media yang di atas kertas. Saya duga itu direproduksi. Sebab, karya aslinya mestinya di atas kanvas. Kemudian dari unsur-unsur ketuaan. Itu memang karya tua. Tapi, tanda tangannya tidak menunjukkan demikian. Jadi, bisa saja itu memang karya tua, tetapi namanya sudah berubah. Terus dari tampilan teknis. Misalnya, apa iya seorang Modigliani membuat sebuah lukisan dalam versi yang sama sampai begitu banyak. Padahal, seorang maestro seperti dia jarang sekali membuat sebuah versi yang sama. Jadi, dari hal-hal teknis memang banyak yang aneh. Misalnya, ada karya-karya, kalau enggak salah Renoir dan Monet, yang dibuat di atas kertas. Terus di samping-sampingnya itu ada seperti cat-cat baru dan kertas-kertas yang ditempel, serta pinggirnya disatukan.


(MAR dan Wiratmadinata)


GAMMA Nomor: 40-2 - 28-11-2000
Kampungan dalam Kepalsuan
Ada yang menilai lucu, tapi ada yang cemas karena membawa nama institusi dan tokoh nasional. Perlu penegakan hukum.

HERRY DIM Pelukis di Bandung: terus terang, saya sangat terkejut ketika pertama mengetahui akan adanya pameran, sekitar Agustus lalu. Saya melihat repronya melalui sebuah layar komputer di Galeri Nasional Jakarta. Saya terkejut sekaligus ragu. Kok, ada orang Indonesia memiliki karya maestro dunia sampai sebanyak itu? Hati saya terus terusik. Betul enggak lukisan itu? Asli atau enggak? Apa betul orang Indonesia bisa mengumpulkan lukisan maestro dunia sebanyak itu? Saya tak menemukan jejak sejarah sampai ke arah sana. Maksud saya, kebiasaan mengoleksi lukisan adalah hal yang baru di Indonesia. Padahal, lukisan yang dipamerkan umurnya sudah ratusan tahun dan dibuatnya waktu kita masih dijajah. Saya tak menemukan titik hubung antara nama besar pelukis dan kolektor tersebut. Cara yang digunakan juga tidak rasional dan kampungan. Apalagi, dengan pakai kata-kata hasilnya akan disumbangkan. Kalau itu benar karya maestro, tak perlu seperti itu, dijual ke mana saja pasti akan laku. Kalau tak laku di sini, bawalah ke luar negeri. Saya jamin pasti laku, bahkan akan berebut untuk membeli dengan harga amat tinggi. Niat kolektor atau panitia lelang akan menyumbangkan sebagian hasilnya, menurut saya, adalah upaya legitimasi saja. Artinya, panitia kurang PD (percaya diri). Saya lihat ada rencana untuk menipu, tapi skenario yang digunakan amat kampungan. Dari dua hal itu saya yakin betul, lukisan itu pasti, pasti, dan pasti palsu.
Saya makin cemas karena setahu saya acara ini mendapat rekomendasi dari Direktorat Kebudayaan dan Yayasan Museum Adam Malik. Bisa jadi organisasi itu terbuai karena kata-kata "hasilnya akan disumbangkan". Sebenarnya, saya pernah bicara dengan Tubagus Andre, kurator di Galeri Nasional, agar hati-hati dengan tawaran kerja sama acara lelang itu. Kalau dilakukan perorangan, berarti kriminal ditanggung sendiri. Tapi, kalau penipuan itu melibatkan institusi, saya khawatir wajah negeri ini makin carut-marut di mata internasional karena mata dunia akan terarah ke Indonesia ketika acara berlangsung.
Pemalsuan itu semata-mata bermotif cari duit. Di dunia seni banyak spekulan, ada pasar spekulan, yang memanfaatkan masyarakat kita yang belum apresiatif. Lagi pula, orang kita umumnya membeli lukisan karena gengsi. Saya pikir, bagaimanapun, harus ada jarak kritis ketika kita membeli lukisan.
Saya beberapa kali diminta melegimitasi keaslian lukisan Hendra Gunawan dan Popo yang ternyata palsu. Saya hampir saja terkecoh. Bagi saya, pemalsuan itu dosa besar yang tak termaafkan.

DIDIER HAMEL Kurator Duta Fine Arts: pelelangan itu lucu. Salah tempat jika dilakukan di sini. Mereka, kan, pelukis kelas dunia semua. Tempat yang representatif dan memenuhi standar internasional itu di New York, Paris, atau London. Saya tak bisa bilang asli atau palsu kalau tak melihat. Cuma saya merasa lucu kalau lukisan itu dilelang di sini. Harusnya di tempat yang seluruh dunia bisa datang menyaksikan lelang lukisan Picasso dan pelukis besar lainnya. Seluruh dunia pasti banyak yang tertarik. Saya kasihan pada mereka seperti orang lugu yang tidak mengerti tentang lukisan. Kalau melihat dari katalog, saya tidak percaya bahwa itu karya asli pelukis dunia, misalnya Picasso. Sangat berbeda goresan lukisannya dengan yang saya pelajari dari para pelukis dan berbeda dengan katalognya Picasso yang saya punya. Sepertinya, lukisan dalam katalog itu dikopi, tapi tak mirip aslinya. Jadi, menurut saya, bukan palsu karena tak mirip sama sekali, tapi ngawur, seperti menjual Kijang dengan harga Mercy. Pasti tidak akan ada yang beli. Saya pikir hanya orang mabuk yang mau membelinya. Saya kasihan sekali pada mereka. Pengakuan J. Syahdam bahwa koleksinya itu hasil berburu 20 tahun ke berbagai pelosok kampung, menurut saya, boleh-boleh saja. Tapi, itu tak masuk akal. Boleh dia bilang begitu, tapi di kampung mana dia dapat? Kok, kayak mencari harta karun saja. Agar bisa membedakan asli atau palsu, itu tidak mudah. Ia harus terbiasa dengan lukisan, sehingga bisa menjiwai. Juga perlu waktu puluhan tahun, sehingga feeling akan bisa mengatakannya. Di samping itu, ada lisensi internasional, misalnya dari The Committe Marc Chaggal, yang menjamin keaslian lukisan itu. Biasanya, itu ada di setiap pelelangan. Seandainya pelelangan itu dilakukan di Prancis dan ditemukan lukisan yang dipalsukan serta dilaporkan pada polisi, polisi akan menutup tempat pelelangan tersebut. Saya tidak tahu hukum di Indonesia.

OEI HONG DJIEN Kolektor Lukisan: saya baru dengar rencana lelang lukisan itu, tapi saya tidak begitu percaya, bahkan lelang itu terasa aneh. Tapi, saya tak bisa berkomentar soal asli atau palsu lukisan yang dipamerkan itu. Bagi saya, memutuskan membeli atau tidak lukisan tak cukup melihat nama pelukis saja, tetapi lebih pada rasa. Karya itu hidup, bisa bicara. Perlu melatih diri dengan karya pelukis secara mendalam, baru akan bisa melihat karakter, rasa, dan nuansanya. Juga diperlukan waktu, biaya, tenaga, dan konsentrasi yang tidak kecil untuk belajar. Ketika saya yakin bahwa lukisan itu asli dan bisa bicara, saya biasanya langsung beli. Kalau ragu, biasanya tidak beli. Sangat tidak enak kalau belakangan dikatakan orang bahwa lukisan itu palsu. Saya sempat tiga kali membeli lukisan palsu ketika masih dalam proses belajar. Saya rasa setiap orang mengalami hal yang sama saat proses belajar. Sejalan perjalanan waktu, akan diketahui dengan pasti apakah lukisan itu palsu atau tidak. Saya hanya mengoleksi karya pelukis Indonesia saja. Tapi, karena saya tekuni daya tangkap dan sensitivitasnya, saya makin tajam. Perasaan ini juga bisa muncul akibat karakter pelukisnya sendiri. Dengan pengamatan yang cukup lama, kita akan mengetahui karakter pelukisnya. Ini beda dengan karya pelukis palsu karena mereka tak memiliki arah yang tegas dan selalu terombang-ambing, hanya meniru. Terasa, kok. Jadi, tak bisa menilai hanya berdasarkan rasio. Untuk menghindari kemungkinan karya palsu, lakukanlah cross check langsung pada pelukisnya. Jika pelukisnya sudah meninggal, lebih baik tanya keluarga pelukis atau orang yang intens mempelajari karya seorang pelukis. Sertifikat, bagi saya, tak terlalu penting. Kini, banyak sekali karya pelukis dipalsukan. Bahkan, karya Hendra Gunawan dipalsukan dan dijual keliling. Makanya, jangan membeli berdasarkan nama saja, melainkan karya. Maraknya pemalsuan tidak lepas dari orang yang berkecimpung di dunia perdagangan lukisan. Jika orang hanya berpikir untung, biasanya ia akan melakukan pemalsuan. Namun, tak sedikit para pedagang dan pemburu lukisan yang bertanggung jawab. Anehnya, di Indonesia aparat keamanan tak pernah mengambil tindakan serius dan tegas kepada mereka yang melakukan pemalsuan lukisan, sehingga pemalsu makin merajalela. Padahal, penegakan hukumnya sangat mudah, cukup pengakuan pelukis atau proses laboratorium.

Hariyadi, Rakhmat Baihaqi, Wiratmadinata, Paulus Winarto (Bandung), dan Syamsul Anam (Bali).

Editorial
Dari Redaksi

Topik Pekan Ini
Apa & Siapa
Galeri
Opini & Debat
Surat Pembaca
Kamus Seni
Agenda
Apresiasi

Link Seni

Kirim Wacana

Arsip

Pengunjung
Rumah Wacana

Sejak Diluncurkan
di Akhir Abad 20
[Desember 2000]