Cerita
Islami
|
Kejujuran Abdul Qadir Jailani
Dahulu ketika Abdul Qadir Jailani masih kecil, bertepatan dengan hari
Arafah, ia keluar mengikuti lembu yang membajak di ladang. Tiba-tiba lembu
itu menoleh kepadanya, seraya berkata, "Hai, Abdul Qadir, engkau tidak
dijadikan sebagai orang yang penghidupannya bercocok tanam dan tukang bajak
sawah seperti ini."
Mendengar ucapan lembu itu, Abdul Qadir menjadi ketakutan, dan segera ia
kembali ke rumah. Lalu naik di atas loteng rumahnya, dan di sana ia melihat
orang-orang yang sedang wuquf di Arafah. Lalu, ia pun pergi menemui ibunya
seraya berkata, "Hai Ibu, serahkanlah aku kepada Allah, dan izinkanlah
aku akan pergi ke Baghdad untuk belajar dan berziarah kepada orang-orang
saleh."
Ibunya berkata, "Mengapa engkau berkata demikian, dan apa sebabnya?"
Abdul Qadir menjawab dengan mengutarakan semua yang terjadi itu, sehingga
ibunya menangis karena terharu dari keterangan itu. Lalu, ia menunjukkan
kepada Abdul Qadir harta warisan dari ayahnya, berupa uang sebanyak delapan
puluh dinar. Empat puluh untuknya dan empat puluh lagi untuk saudaranya.
Kemudian, ibu Abdul Qadir membuatkan saku dalam bajunya di bawah ketiaknya,
untuk tempat uang yang dibawanya itu. Kemudian, ia mengizinkannya berangkat,
dan berpesan kepadanya agar selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam
segala hal. Akhirnya, dia pun pergi dan memberi ucapan selamat tinggal
kepadanya.
Ibunya berkata, "Hai anakku, berangkatlah kamu, dan kau telah
kutitipkan kepada Allah. Maka mungkin wajah ini tidak lagi akan kulihat,
hingga hari kiamat nanti."
Kemudian, dia berangkat bersama-sama dengan kafilah yang menuju Baghdad.
Ketika baru meninggalkan Hamdan, tiba-tiba rombongan kafilah itu telah
dikepung enam puluh orang berkendaraan kuda, lalu mereka merampok semua
yang ada pada kafilah, kecuali hanya Abdul Qadir yang tidak diganggu.
Ketika salah seorang dari mereka berlalu di depannya, ia bertanya, "Hai
orang fakir, kau mempunyai apa?"
Abdul Qadir menjawab, "Empat puluh dirham."
Perampok itu bertanya, "Di mana?"
Abdul Qadir menjawab, "Terjahit di dalam saku di bawah ketiakku."
Karena perampok itu mengira bahwa Abdul Qadir itu mengejek, ia pun tidak
digeledahnya, dan ditinggalkannya begitu saja.
Akhirnya datanglah perampok yang lain dan bertanya, "Hai orang fakir,
kau mempunyai apa?"
Abdul Qadir menjawab, "Empat puluh dirham."
Perampok itu bertanya, "Di mana?"
Abdul Qadir menjawab, "Terjahit di dalam saku di bawah ketiakku."
Perampok ini pun meninggalkan Abdul Qadir. Kemudian, ketika
perampok-perampok itu sampai pimpinannya, dan semua hasil barang
rampasannya telah diserahkan kepada pimpinan, lalu pemimpin itu bertanya
kepada anak buahnya, "Apakah sudah beres semua?"
Dua orang anak buahnya menjawab, "Tadi di sana ada seorang anak yang
berpakaian jelek, dan kami tanya, ia mempunyai uang empat puluh dirham. Dan
kami tidak mengira bahwa dia mempunyai uang sebanyak itu, karena kami
melihat keadaannya yang demikian rupa."
Pemimpin perampok itu bertanya, "Sekarang di mana dia itu?"
Jawab kedua anak buahnya, "Di sana!""Panggil dia ke mari,"
sahut pemimpin perampok itu. Kemudian, kedua anak buahnya pergi dan membawa
Abdul Qadir ke hadapan pemimpinnya di atas bukit yang mereka sedang membagi
hasil rampasan itu. Lalu, pemimpin rampok itu bertanya kepada Abdul Qadir,
"Wahai anak muda, apa yang kaum bawa?"
Jawab Abdul Qadir, "Empat puluh dirham."
Pemimpin perampok itu bertanya, "Di manakah itu?"
Abdul Qadir menjawab, "Terjahit di dalam saku di bawah ketiakku."
Kemudian dia diperiksa, dan memang ada uang empat puluh dirham. Mereka
bertanya, "Mengapa engkau mengaku berterus terang?"Jawab Abdul
Qadir, "Karena, ibuku berpesan supaya selalu berkata benar dan jujur,
dan aku tidak akan menyalahi janjiku kepadanya."
Mendengar jawaban Abdul Qadir yang begitu polos dan jelas itu, tiba-tiba
pemimpin perampok itu menagis dan berkata, "Engkau tidak mengkhianati
janjimu kepada ibumu, sedang kami semua ini sudah bertahun-tahun menyalahi
dan melanggar larangan Allah. Maka, sejak hari ini kami bertobat kepada
Allah."
Akhirnya, kawanan perampok itu bertobat semuanya, lalu mereka berkata,
"Engkau pimpinan kami dalam perampokan, maka kamu juga pimpinan kami
dalam bertobat."Kemudian, rampasan itu dikembalikan kepada orang-orang
kafilah itu semuanya.
Sumber: 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto
Beri Tahu Teman Anda!
Jun 06, 03 | 4:00 am
Menanyakan Takdir
Ada seseorang, sebut saja namanya Fulan, datang menemui Ali bin Abi Thalib
r.a. Fulan bermaksud menanyakan hal takdir kepada Ali. Ia mengemukakan
pertanyaannya itu sampai empat kali, tetapi Ali tidak menggubris si penanya.
Rupanya Ali mendiamkan saja pertanyaan Fulan yg semacam itu.
Meskipun mendapat perlakuan seperti itu dari Ali, Fulan tidak patah
semangat. Ia terus saja mencecar Ali dengan pertanyaannya. Dan, akhirnya ia
berhasil. keluarlah suara Ali.
"Allah adalah pencipta seluruh makhluk. Ia tentu pula yang telah
menciptakanmu. Nah, sekarang jawablah, 'Dengan kehendak siapakah Ia
menciptakanmu? Dengan kehendakmu atau dengan kehendak-Nya'?"
Fulan menjawab, "Tentu saja dengan kehendak Dia."
"Oke, kalau begitu sekarang jawab lagi, 'Setelah Ia menciptakanmu,
Allah pulalah yang telah menghidupkanmu. Dengan kehendak siapakah hal itu'?"
"Sesuai dengan kehendak-Nya."
"Lalu, Ia mematikanmu. Dengan kehendak-Nya atau dengan kehendakmu hal
itu terjadi?"
"Juga dengan kehendak-Nya."
"Setelah itu Allah membangkitkan pada hari kiamat, atas kehendak siapa?"
"Tentu dengan kehendak Allah."
"Sesudah itu engkau dinilai. Dengan kehendak-Nya atau dengan
kehendakmu Ia menilaimu?"
Fulan terus menjawab, "Juga dengan kehendak-Nya."
Maka, akhirnya Ali berkata, "Kalau begitu, sekarang engkau pergilah!
Engkau tidak mempunyai masalah lagi sekarang."
Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka |
|
|