SEJARAH ISLAM
INDONESIA
Perang
Diponegoro
(1825-1830)
Sebelas November 1785, keluarga
kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono
III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai
Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada
cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan
memusnahkan Belanda.
Antawirya dibesarkan di
Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia
belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga
memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat.
Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat
atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian
membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton
yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model
Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya
hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni
saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".
Antawirya kemudian bergelar
Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat
disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia
menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah
menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai
putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III
meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun,
diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan
dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan
bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin
menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah
adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas
inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3
tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.
Saran-saran Diponegoro tak
digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah
berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di
Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah
tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro
minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk
memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan
Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah
mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana,
ia juga mengorganisasikan pasukan.
Pertempuran pun pecah. Upaya
damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran
Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro.
Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan
bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der
Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang
tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di
Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di
bawah komando Mulyosentiko.
Dalam pertikaian ini, dua
kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada
Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat
menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang,
pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara
Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di
pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin
pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati
Ario Sumodilogo.
Markas Prambanan diduduki.
Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah
Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan
rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di
Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran
Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van
Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam
pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua
pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran
Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.
Murdoningrat dan Panular
kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert.
Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro
sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro
dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel
Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro
tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan
Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton
Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro,
adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.
Belanda mengerahkan seluruh
kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk
sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk
mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah
tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro
tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember
1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di
Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui
tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro
disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom,
Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin)
datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding
dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara
militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut
agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri
yang merdeka bersendikan agama Islam."
De Kock melaksanakan tipu
muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan
pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei
1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi
ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya,
di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad
Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
Pergolakan rakyat pimpinan
Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik
warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial.
Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam
paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan
ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario
Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.n
|