Perang Aceh
(1873-1903)
Awalnya adalah "Tractat
London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris
menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya,
"Tractat 1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai
Barat Sumatera". Dengan demikian Aceh terlindung dari
tangan-tangan Belanda.
Kini Belanda mengincar Aceh.
Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib
Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi.
Intinya, Aceh sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan
Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan
Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel,
Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur.
Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang
untuk berunding dengan Residen Riau, Desember 1872.
Sebulan di Riau duta tersebut
pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui Singapura.
Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan
Konsul Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk
menuduh Aceh berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada
perangnya untuk menggempur Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga.
Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut 5.000 peti
mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh
T. Chik Kutakarang.
Tanggal 1 April 1873, F.N.
Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung
Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5
April, perang pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal
"Citadel van Antwerpen" terkena 12 tembakan meriam.
Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan "dalam"
-istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus
meneriakkan "La ilaha illallah"-semakin gigih.
Tanggal 14 April, Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda
mundur. Sebanyak 45 orang pasukan Belanda tewas, 405 lain
luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke kapal.
Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.
Tanggal 16 Nopember 1873, 60
kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh.
Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira
dokter, juga "3565 orang hukuman dan 246 perempuan".
Mereka membawa pula 206 pucuk meriam dan 22 mortir, dilengkapi
pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit untuk menyusuri
sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang,
dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.
Sebelumnya, Belanda juga telah
menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang
membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam
serangan ke Aceh. Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut
berangkat ke Aceh bersama Perwira Paku Alam, Raden Mas Panji
Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda mendarat
di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan
Tuanku Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor
Verpijck.
Panglima Polim
mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia
dibantu 800 tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan
sekitar 1000 rakyat Peusangan. Namun, 6 Januari 1874, Masjid
Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan Panglima Polim
meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye.
Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera.
Panglima Polim dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat
Muhammad Daudsyah -putra sultan yang baru berusia enam tahun--
sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874, Jenderal van
Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.
Namun, di luar Banda Aceh,
perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman, utusan
Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar
sebagai seorang Keling. Ia memimpin perlawanan yang
menimbulkan banyak korban di kalangan Belanda. Belanda
memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont
dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan
rakyat Aceh. Habib Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah
dengan kapal "Curacau" pada 23 Nopember 1878, dan
dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman, Belanda juga
mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.
Di Aceh Barat, Teuku Umar dan
istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di Tiro, Tengku
Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh
Saman menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku
Umar sempat menyeberang ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar
Teuku Umar Johan Pahlawan.
Tiga tahun kemudian, Teuku Umar
bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama Sultan
dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran
di Pulo Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas.
Teuku Umar mundur ke Aceh Barat. Ia tewas pada 11 Februari
1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur J.B. Van Heutz
memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan
penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam
untuk menarik simpati rakyat Aceh.
Sultan dan Panglima Polim
membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut
hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan
terdesak, di Aceh Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh
atau Teungku Tapa, berhasil mengorganisasikan 10 ribu pasukan.
Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan 500 orang.
Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.
Pertempuran demi pertempuran
terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya
menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van
Daaelen menyisir Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut
Tawar. Tidak ada hasil. Belanda kemudian bersiasat dengan
menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan kemudian istri
lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap.
Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah
Belanda mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan.
Tanggal 6 September 1903, Panglima Polim juga menyerah setelah
istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya' Dhien juga dapat
diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal
pada 1906.
Perlawanan rakyat masih terus
berlangsung. Namun Belanda telah menguasai keadaan.n
|