Kairo
(969-1517)
Islam menyentuh wilayah Mesir
pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada
Gubernur Mukaukis -yang berada di bawah kekuasaan
Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir,
Maria.
Pada 639 Masehi, ketika Islam
di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin
Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin
Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti
menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi
wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga
Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu
provinsi seperti semula.
Mesir baru menjadi pusat
kekuasaan -dan juga peradaban Muslim-baru pada akhir Abad 10.
Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad,
untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi'ah. Ia
menamai kekhalifahan itu Fathimiah -dari nama putri Rasul yang
menurunkan para pemimpin Syi'ah, Fatimah. Pada masa
kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya,
Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota .
Di dataran tepi Sungai Nil itu
kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar
(dari "Al-Zahra", nama panggilan Fatimah) yang
dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah
yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang,
yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini.
Muiz dan para penggantinya,
Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat
tertarik pada ilmu pengetahuan. Peradaban berkembang pesat.
Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn
sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga
mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan
buku sebagaimana di Baghdad.
Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat
1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi
dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham
menemukan penjelasan fenomena "melihat". Sebelum itu,
orang-orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena
adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang dilihat.
Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari
mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke
mata.
Gangguan politik terus-menerus
dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot.
Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi
mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga
pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah,
yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
Salahuddin tidak menghancurkan
Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama
antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari
Syiah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana
rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial
lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad
diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh
kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak
(Mamluk).
Di Istana, saat itu terjadi
persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang
baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh
militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah,
Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah. Namun
Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan
Ayyubiyah, yang sempat diangkatnya.
Di saat Aybak menyebar teror
itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan
diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan
Ali -anak Aybak-mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz.
Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan laju
penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut,
Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan
pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi
peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia
mengangkat keturunan Abbasiyah -yang telah dihancurkan Hulagu
di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan
universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat
peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar
1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk
sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding
London di saat yang sama.
Ibnu Batutah tak hanya
mengagumi 'rihlah', tempat studi keagamaan yang ada hampir di
setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang
sangat rapi dan "gratis". Sedangkan Ibnu Khaldun
menyebut: "mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang
paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir."
Pusat peradaban ini nyaris
hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke
Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan
Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat
kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol.
Pada ujung abad 15,
perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui
Laut Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat
berdagang ke Asia. Pada 1498, mereka "menemukan"
Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan
laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu
Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk
tersebut.n
|