Menu Penutup:
Senarai: Kereta apiku
Renungan: Masa Depan di Tangan Anda
Artikel: Ukhuwah Islamiyah
Artikel: Peran Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Artikel: Berislam di Negeri Sakura
Resensi: Teacher Efectiveness Training
Produk: Micro Pump
Lepas: Cermin Bagi Penulis
Lepas: Oscar Award for Best Actor-Actress
Lepas: Gegar Budaya

 
 
Senarai :

KERETA APIKU

" Naik kereta api .... tut .... tut .... tut ...."

Kuangkat mataku dari koran pagi yang baru saja kubaca. Tampak beberapa bocah bermain di depan kamarku. Sempat terpikir di benakku mengapa lagu itu yang mereka nyanyikan. Namun segera pikiranku kembali hanyut dalam berita-berita yang kubaca.

Kuseruput kopi pahit yang kubuat dengan menggunakan pemanas kecil yang harganya tak sampai sepuluh ribu. Pemanas ini merupakan barang yang cukup populer di kalangan anak kost. Tak sampai sepuluh menit, dengan menggunakan pemanas ini secangkir kopi pahit akan siap tersedia. Tapi hanya kopi pahit, karena krisis moneter yang melanda negeri ini ternyata telah mengimbas ke dalam kamarku. Bahkan juga ke dalam kamar setiap anak kost. Bulan lalu, kami - aku dan tetangga-tetangga sebelah kamarku - terpaksa menghentikan langganan koran yang telah kami lakukan dua tahun terakhir ini, sejak aku mulai berdinas di kamar mungil ini sebagai anak kost. Walau demikian, naluriku untuk membaca tak pernah terhenti sehingga sesekali aku tetap membeli koran, terutama kalau ada berita penting yang kudengar seperti pada hari ini.

" Sebuah bus terseret sejauh 50 meter karena mencoba menyelonong lintasan kereta api ". Headline koran hari ini ramai membicarakan kecelakaan lalu lintas yang merenggut puluhan nyawa manusia itu. Pikiranku kembali melayang. Kali ini ke Stasiun Jatinegara saat aku terakhir kali menggunakan kereta api tujuan Pasar Turi Surabaya. Saat itu aku masih tinggal di Jakarta, dan bepergian ke Bojonegoro - sebuah kota kecil di Jawa Timur - merupakan kebiasaan rutin keluarga kami sekali setiap tahun. Tapi bukan hari lebaran karena membayangkan berjubelnya penumpang saja, ibuku sudah merasa enggak enak badan. Kami selalu naik kereta api Gaya Baru Malam dengan ongkos 'hanya' sembilan ribu rupiah, tidak sampai satu dollar kalau dihitung dengan kurs sekarang. Dengan menambah bayaran lima ratus perak seorang, kami dapat memastikan untuk memperoleh tempat duduk di dalamnya. Menjelang magrib kereta mulai berangkat. Biasanya tak sampai satu jam mataku telah terpejam. Goyangan kereta itu bagaikan ayunan yang sanggup meninabobokanku. Dan begitu kereta berhenti - betapa seringnya kereta api terhenti - segera aku terbangun. Dalam sekejap, puluhan pedagang asongan memasuki gerbongku. Aku teringat betapa orang-orang yang tergolek di gang bahkan juga di bawah kursiku menggeliat oleh kegaduhan yang tiba-tiba menyergap.

"Bukan, bukan itu yang ingin kuceritakan. Cerita itu hanyalah sebuah episode rutin yang tak perlu diceritakan. Semua orang telah mengetahuinya.", pikiranku menerjang. O, ya, kini aku ingat. Aku ingin menceritakan betapa berkuasanya kereta api itu. Setiap bertemu dengan kendaraan lain di persimpangan manapun, kereta itu selalu menjadi pemenang. Perjalanan kendaraan lain - betapapun pentingnya dan berkuasanya orang yang berada di dalamnya - akan segera dihentikan. Siapa saja yang berani menyelonong dengan tak segan-segan akan ditabraknya. Mang Amat yang pedagang sayur, ataupun Udin yang mahasiswa ditabraknya karena mencoba melintasi jalur perjalanannya. Untungnya belum ada pejabat tinggi yang tewas karena tertabrak kereta api. Makanya sampai saat ini tidak ada yang mampu menggugat eksistensi kereta api ini.

Kembali kuperhatikan koranku. Di bawah berita utama tertulis jajak pendapat yang dilakukan wartawan harian ini terhadap masyarakat umum. "Saya mohon kereta api ini jangan sampai dihapus", seru seorang pegawai negeri rendahan. "Kereta api ini satu-satunya alat transportasi murah yang mampu mengangkut kami", seorang pedagang kecil angkat bicara. Pendeknya komentar di koran terlihat senada. Semua mendukung keberadaan kereta api karena dinilai telah sangat membantu usahanya, telah sangat membantu kehidupannya. Tidak ada yang memprotes bahwa dengan kekuasaannya, kereta api itu telah merenggut sekian banyak nyawa manusia yang tidak berdosa. Mungkin berdosa, tapi dosanya kecil. Satu-satunya dosa yang menyebabkan nyawa mereka terenggut hanyalah mereka mencoba menghalangi laju kereta api itu, mereka berusaha memperoleh persamaan hak untuk melintasi persimpangan.

Dalam berita yang sama, seorang pejabat bicara, "Kereta api telah menolong berjuta-juta rakyat kecil. Kita tidak akan menghilangkan keberadaan kereta api, bahkan kita akan mencegah terjadinya kecelakaan dengan menutup pintu lintasan kereta api selamanya. Tidak akan ada lagi kendaraan yang melalui lintasan kereta api." Semua mengamininya. Tidak ada lagi yang peduli tentang hak orang-orang dan kendaraan-kendaraan lain untuk melintas. Semua terbius dengan jargon 'untuk kepentingan rakyat kecil' Bahkan tidak ada yang mempertanyakan apakah kereta api itu telah menolong rakyat kecil atau justru mengeksploitasinya. Dengan pelayanan seadanya haruskah rakyat berharap banyak padanya. Tidakkah rakyat menjadi sangat bergantung padanya hanya karena tidak dimunculkannya alternatif lain.

Esoknya di tempat yang sama dengan suasana yang sama kembali kuseruput kopi pahitku sisa kemarin. Masih terdengar bocah kecil menyanyikan lagu yang sama. Kembali kubuka koran pagiku. Ada dua berita penting menarik perhatianku. Yang pertama tekad pejabat Perumka untuk meningkatkan pelayanannya. Yang kedua Presiden mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan VII. Aku hanya berharap.

" Naik kereta api .. tut.. tut.. tut ...

Si .. apa hendak turuuuuut ...

Ke Bandung ... Surabaya ...

Bolehlah naik dengan percuma ...

Ayo ... kawanku lekas naik ...

Kretaku ... tak brenti lama ...

Sekeloa, Maret 1998

Abdur Rahim

* perasaan seorang mahasiswa membaca dukungan masyarakat terhadap Golkar dalam mass media.

(c) Copyright 2001 Abdur Rahim