Menu Penutup:
Senarai: Kereta apiku
Renungan: Masa Depan di Tangan Anda
Artikel: Ukhuwah Islamiyah
Artikel: Peran Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Artikel: Berislam di Negeri Sakura
Resensi: Teacher Efectiveness Training
Produk: Micro Pump
Lepas: Cermin Bagi Penulis
Lepas: Oscar Award for Best Actor-Actress
Lepas: Gegar Budaya

 
 
Berislam di Jepang

(ditulis untuk Majalah Al Izzah)


Entah mengapa, manusia sering merasakan pentingnya atau bahkan keberadaan sesuatu justru pada saat sesuatu itu tidak ada. Contoh ringan adalah ibu-ibu rumah tangga yang baru menyadari pentingnya seorang PRT pada saat mereka mudik ke kampung halamannya untuk merayakan lebaran. Pada saat itu barulah mereka kerepotan mengurusi 'tetek bengek' urusan rumah tangga sambil mengharap-harap kedatangan sang pembantu. Mungkin itu pula sebabnya sering kita tidak merasakan curahan ni'mat Allah yang mengucur begitu derasnya, ambillah contoh udara yang bagi kita terasakan sebagai "emang dari sononya" - take it for granted. Mungkin bagi yang pernah 'nanjak ke pegunungan di mana lapisan udara telah menipis, barulah bisa menyadari bahwa ternyata ada yang namanya udara dan ternyata tidak di semua tempat kita bisa memperoleh udara secara gratis.

Begitulah kondisi berislam di negeri dengan mayoritas penduduknya non muslim, seperti Jepang. Barulah terasakan bahwa ada yang namanya Islam dengan segala sistem nilainya, dengan segala aturannya, dengan segala kulturnya. Bagi sebagian orang mungkin mereka merasakannya sebagai lepas dari kungkungan. Misalnya minuman keras. Walaupun di Indonesia (rasanya) tidak ada hukuman bagi peminum minuman keras, namun mereka tetap akan merasakan adanya sanksi sosial dari lingkungannya, sehingga untuk meminum minuman keras di Indonesia, perlu dibayar dengan pengorbanan yang cukup besar. Berbeda dengan di negara non muslim, di mana sama sekali tidak ada hambatan untuk melepaskan hasratnya yang terkekang itu. Satu-satunya yang menghalanginya hanyalah nuraninya, yang sayangnya terkadang tidak berfungsi dengan baik.

Bagi sebagian yang lain, terkadang hilangnya nuansa Islami ini menimbulkan rasa rindu akan kehadirannya. Bayangkan jika tinggal di Jakarta, di mana dapat dikatakan tidak ada sepetak pun tanah di mana tidak terdengar suara pengeras suara dari masjid. Bahkan di waktu subuh biasanya dalam satu rumah, suara adzan akan terdengar bersahut-sahutan saking dekatnya jarak satu masjid dengan yang lain. Mungkin saking rindunya, tidak heran pada saat mendengar suara pedagang ubi keliling yang menjajakan dagangannya dengan suara yang mendayu, terdengar seolah bagai suara adzan - terutama pada awal-awal kedatangan ke Jepang. Apalagi saat itu kebetulan pas masuk waktu shalat.

Jepang, dengan penduduknya yang menurut Factbook-nya CIA, 84 % memeluk agama Budha dan Shinto ternyata telah kehilangan nafas keberagamaannya, terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Banyak kalangan muda terdidik, manakala ditanya agamanya, mereka akan menjawab tidak beragama. Dan merupakan hal yang lumrah jika seseorang dilahirkan secara Budha, menikah ala Kristen dan meninggal menurut tata cara Shinto. Singkatnya agama seolah hanya merupakan kegiatan ceremony belaka bagi mereka. Walaupun mungkin alam bawah sadar mereka masih mengakui adanya Tuhan, terbukti pada even-even tertentu - misalnya saat tahun baru - mereka masih mau mengunjungi kuilnya sekedar untuk berdoa.

Tanpa adanya aturan Tuhan terhadap kehidupan kesehariannya, masyarakat Jepang mengandalkan tata cara pergaulannya pada norma sosial. Memang ada banyak sisi positif pada cara mereka hidup, ambillah contoh kebiasaan memberi salam saat bertemu dengan konnichiwa1 atau ohayou gozaimasu2 nya, kebiasaan memberi kado atau omiyage3, menepati waktu, hingga semangat pantang menyerah. Bahkan banyak sinetron televisi yang mengambil tema semangat pantang menyerah ini, tentunya disesuaikan dengan karakter masyarakat Jepang yang materialis, sehingga semangat ini lebih ditujukan kepada semangat dalam bekerja. Namun sisi-sisi negatifnya pun tak dapat diabaikan, seperti pornografi yang begitu menggejala dan kebiasaan mabuk-mabukan yang telah membudaya. Bahkan merupakan kebiasaan di Jepang, seminggu sekali mereka mengadakan nomikai4, semacam pesta minum di antara rekan sekedar untuk mengobrol dan melepas kepenatan. Dan biasanya mereka akan sangat senang apabila orang asing yang hadir juga turut mencicipi bir kalengan atau sake yang telah disiapkan.

Terpapar dengan kondisi seperti ini, tentunya mau tidak mau akan ada sedikit pergeseran dalam kadar keislaman seseorang. Kadar pergeseran ini banyak ditentukan oleh pondasi awal keislaman orang itu dan juga lingkungan pergaulannya. Kebutuhan akan hal ini, untungnya telah diantisipasi oleh 'as-sabiqun al-awwalun', generasi awal penyebar dakwah di bumi Jepang. Oleh karena itu kini telah bertabur berbagai komunitas muslim di Jepang. Untuk masyarakat Indonesia saja, selain KMII (Keluarga Masyarakat Islam Indonesia) dan KAMMI-Jp (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia - Jepang) yang lingkupnya 'nasional', juga banyak lokaliti-lokaliti baik berbentuk pengajian kampus ataupun pengajian lokal trainee (termasuk pekerja) yang terus menyebarkan syiar Islam. Gerakan ini minimalnya bertujuan untuk menjaga standar keislaman masyarakat Islam Indonesia di Jepang, sehingga tidak sampai turun secara drastis.

Mungkin tidak seperti negara non muslim lainnya, masyarakat Jepang terkesan tidak acuh terhadap agama. Ini bisa dilihat misalnya dari jumlah pemeluk Kristen yang hanya 0.7 %, apalagi muslim (lagi-lagi menurut Factbook-nya CIA), padahal mereka begitu gigih menyebarkan agamanya. Begitu mudahnya kita menjumpai orang yang mengajak ke gereja pada saat keluar dari stasiun kereta, atau nyanyian lagu-lagu gereja yang diperdengarkan sekelompok orang di taman, di Ahad sore yang cerah. Ketidakpedulian orang Jepang ini - untungnya - menyebabkan kebebasan menjalankan agama cukup terjamin, minimal kita bisa shalat di sembarang tempat, entah di taman atau di stasiun tanpa takut diusir polisi. Tentu apabila tidak terbiasa memang akan mengurangi rasa khusyu'. Bahkan orang Jepang ternyata juga akan sangat toleran, manakala mereka mengetahui kita beragama Islam dan adanya aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi, misalnya tentang makanan halal. Mereka akan berusaha mencarikan makanan halal tersebut, jika diadakan pesta dalam suatu komunitas. Selebihnya, mereka tetap akan cuek dengan hal yang berkaitan dengan agama.

Lugunya masyarakat Jepang terhadap Islam sangat terasa pada saat penulis pernah ditanya seorang supir angkutan di Jepang, "Kenapa orang Islam tidak makan babi, buta wa kamisama desuka?"5 Jika yang bertanya orang Indonesia, mungkin bisa langsung diklepak, namun karena yang bertanya orang Jepang, kita hanya bisa mengurut data, miris, melihat rendahnya pengetahuan masyarakat Jepang tentang Islam.

Namun peristiwa WTC 911 kemarin cukup memberikan dampak terhadap kepedulian masyarakat Jepang terhadap agama, khususnya Islam. Di satu sisi dengan adanya peristiwa tersebut, masyarakat Jepang menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai Islam. Beragam acara TV membahas tentang Islam, termasuk liputan kegiatan keislaman di Jepang; berbagai buku-buku mengenai Islam pun bertebaran di toko buku. Singkatnya masyarakat Jepang mulai membuka mata terhadap Islam, entah sisi positif atau sisi negatifnya. Memang kebanyakan mereka tertarik tentang isyu fundamentalisme dalam Islam atau isyu jihad dan terorisme. Namun ini bisa jadi merupakan langkah awal ketertarikan masyarakat Jepang terhadap Islam. Sementara itu di sisi lain, pemerintah Jepang pun mulai memperketat pengawasannya. Pada saat terdengar isyu rencana demo menentang penyerangan AS ke Afghanistan misalnya, polisi-polisi Jepang pun mulai bertebaran, memantau atau mungkin ingin mengetahui sikap kaum muslimin di Jepang.

Belakangan ini, di kalangan sebagian muslim Indonesia, wacana yang muncul bukan lagi sekedar bagaimana menjaga kualitas keislaman masyarakat muslim Indonesia di Jepang, tapi juga bagaimana menyampaikan syiar Islam kepada masyarakat Jepang itu sendiri. Karena bisa jadi nanti kitalah (baca: muslim di Jepang) yang akan dituntut, manakala di akhirat ternyata Tanaka-san mengatakan tidak mengetahui tentang Islam.

Note:

  1. konnichiwa: selamat siang
  2. ohayou gozaimasu: selamat pagi
  3. omiyage: oleh-oleh
  4. nomikai: pesta minum
  5. buta wa kamisama desuka ? : apakah babi itu dewa/Tuhan ?


(c) Copyright 2002 Abdur Rahim