Menu Penutup:
Senarai: Kereta apiku
Renungan: Masa Depan di Tangan Anda
Artikel: Ukhuwah Islamiyah
Artikel: Peran Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Artikel: Berislam di Negeri Sakura
Resensi: Teacher Efectiveness Training
Produk: Micro Pump
Lepas: Cermin Bagi Penulis
Lepas: Oscar Award for Best Actor-Actress
Lepas: Gegar Budaya

 
 
Lepas : (PK Jaktim)

Gegar Budaya

Sunyi .... itulah yang dia rasakan saat pertama kali menjejakkan kaki di bumi Jepang. Jauh-jauh hari sejak masih tinggal di Indonesia memang ia telah sering mendengar, bahwa gempa bumi kerap menyerang kota-kota di Jepang. Gempa Kobe di tahun 1995 - salah satu yang terbesar dan menjadi buah bibir dalam rentang yang lama - juga masih lekat dalam benaknya. Tapi guncangan yang kini dia rasakan tetap terasa dahsyat dan aneh. Dahsyat hingga mampu mengguncang batinnya, dan aneh karena kedahsyatan ini muncul dalam kesendirian, bukan dalam hiruk-pikuk keramaian bencana alam.

Siapapun yang pernah mengalami 'mutasi' akan mengetahui apa yang disebut 'jeda tarbiyah'. Masa penantian yang lamanya bervariasi. Ada yang cukup dua minggu, ada yang satu bulan, dua bulan, enam bulan. Bahkan ada yang tidak mendapatkan link, hingga ikhwah lain menemukannya sebagai seorang yang hanif dan 'menarik' untuk direkrut. Masa penantian ini jamaknya terasa lama dan kalau tidak pintar-pintar disikapi bisa menyebabkan seseorang menjadi futur, apalagi di daerah dengan lingkungan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Memang kalau difikir-fikir agak aneh juga, di era informasi, dengan kemudahan sarana telekomunikasi, masih diperlukan waktu yang lama untuk memberitahukan informasi mutasi. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, minimal beberapa tahun yang lalu.

Demikianlah ikhwah kita yang satu ini akhirnya menemukan linknya setelah menanti selama kurang lebih dua bulan. Liqo pertama bersama ikhwah Jepang dilakukannya di kota tetangga, yaitu Chiba. Dengan jarak tempuh hampir dua jam dan ongkos kereta sekitar 1200 yen pulang pergi, pupuslah segala penantian. Ada kelegaan, juga tanda tanya.

Liqo di Jepang ternyata tidak berbeda dengan di Indonesia, diawali dengan iftitah dan diakhiri dengan ikhtitam. :) Jadi teringat canda seorang ikhwah di Indonesia saat dia berujar, "Ana fikir kalau di luar negeri tidurnya beda, ternyata sama juga - merem." Secara umum memang sama, tapi tetap ada sedikit perbedaan di sana sini. Misalnya dari segi frekuensi atau juga lamanya liqo. Di Jepang sudah dianggap bagus kalau liqo dilakukan rutin dua pekan sekali - bukan setiap pekan. Bahkan untuk ikhwah yang letaknya berjauhan - terutama di luar Tokyo - liqo diadakan cukup sebulan sekali. Tapi sekali liqo bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Entah apa saja yang dibicarakan, yang jelas ada juga dong keinginan melepas kerinduan karena lama tidak bertemu. Berbeda dengan di Indonesia yang chance ketemunya sangat beragam, entah dalam liqo, dalam ta'lim, dalam demo atau dalam kesempatan lainnya, di Jepang sering liqo merupakan satu-satunya kesempatan untuk bertemu.

Waktu dan tempat pelaksanaan liqo di Jepang juga terkesan 'nyeleneh' - seperti nyelenehnya waktu shalat di Jepang (bayangkan di musim panas jam setengah tiga sudah masuk waktu subuh !). Pernah di suatu musim panas yang tidak kalah dengan panasnya Jakarta, liqo dilakukan di sebuah taman lewat tengah malam. Angin semilir menambah kekhusyuan dengan diterangi lampu taman. Tidak disarankan memang, dan yappari (seperti telah diduga, red) hasilnya ada yang masuk angin.

Aktivitas lain di Jepang - di luar kegiatan utama (kuliah/kerja) - ternyata juga berjalan dengan tempo yang relatif lambat, terutama dibandingkan dengan di Indonesia. Kalau di Indonesia bisa dibilang aktivitas dakwah (dalam pengertiannya yang sempit) berjalan harian - senin ngisi ta'lim, selasa ngisi halaqoh, rabu rapat DPRa, kamis rapat DPC, jum'at liqo, dst. Di Jepang bisa dibilang aktivitas dakwah (juga dalam pengertiannya yang sempit) berjalan mingguan. Minggu pertama ta'lim, minggu kedua liqo, minggu ketiga ngisi halaqoh, dst. Terkesan santai memang.

Tapi jangan salah, walaupun terkesan 'alon-alon' dalam beraktivitas, bisa dibilang ikhwah di Jepang cukup membaur - bahkan sering mewarnai - dalam pergaulannya dengan komunitas masyarakat muslim di Jepang, baik masyarakat Indonesia maupun dari negara lain. Bahkan pernah kita (baca: muslim Indonesia) meng-arrange demo bersama mendukung perjuangan Palestina. Yah, li likulli marhalatin muqtadhayatuhaa(setiap fase ada konsekuensinya), dan setiap tempat memang punya tantangannya masing-masing. Enggak nyambung ya. :)

(seperti dikisahkan oleh pelaku)

Tokyo, 6 Juli 2002

Abdur Rahim

(c) Copyright 2002 Abdur Rahim