Menu Penutup:
Senarai: Kereta apiku
Renungan: Masa Depan di Tangan Anda
Artikel: Ukhuwah Islamiyah
Artikel: Peran Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Artikel: Berislam di Negeri Sakura
Resensi: Teacher Efectiveness Training
Produk: Micro Pump
Lepas: Cermin Bagi Penulis
Lepas: Oscar Award for Best Actor-Actress
Lepas: Gegar Budaya

 
 
Lepas : (milis KAMMI-Jp, PMIJ, Todai Muslim)

Oscar Awards for Best Actor and Actress

Hidup adalah sebuah peran, banyak orang mengatakannya, termasuk Ust. Agim (Abdullah Gymnastiar, red) dalam jaulahnya ke Tokyo belum lama ini. Dalam kalimat itu tersirat makna untuk bersabar saat menjalani peran-peran susah, keikhlasan saat kehilangan sebuah peran, rendah hati menjalani peran gemerlap; .......... yup itu hanyalah sebuah peran, sewaktu-waktu kita akan kembali ke dunia nyata.

Namun sadar bahwa hidup adalah sebuah peran, tidakkah kemudian menjadikan kita berfikir bahwa kita adalah seorang aktor. Dan mengapa kita tidak kemudian memilih peran-peran yang kita inginkan - tidak sekedar pasif menerima sebuah peran. Kita bisa memilih 'sekedar' menjadi pemain figuran dalam sebuah film kolosal, yang kalau kita tidak berteriak-teriak sambil menunjuk sosok kita, orang-orang tidak tahu bahwa kita ada menyempil di sudut layar tivi - nyaris tak terlihat. Atau memilih untuk menjadi aktor laga dengan dada bidang dan otot penuh mengembang - yang terkadang hanya artifisial. Di saat lain mungkin kita cenderung memilih menjadi aktor watak - penuh ekspresi. Semuanya bukanlah hal mustahil. Walau tidak selalu dengan peran yang anda pilih, anda akan dianugerahi gelar aktor/artis terbaik dan menerima piala berikut segala keharuman yang selalu menyertai sebuah penghargaan. Menjalani sebuah peran dan menjadi aktor terbaik dalam peran itu adalah dua hal yang berbeda.

Peran apapun yang kita pilih, itu adalah pilihan kita. Dan kecuali anda penganut paham jabbariyah - yang beranggapan bahwa manusia hanyalah robot-robot yang bergerak menurut perintah - tentu anda sepakat bahwa manusia mempunyai pilihan dalam menjalani perannya di muka bumi. Manusia bukanlah sekedar seonggok daging yang kebetulan bisa bergerak, tapi dia memang sebuah sosok yang dianugerahi dengan berbagai kelebihan, termasuk motivasi dan keinginan - sesuatu yang entah kapan saintis bisa menirunya.

Banyak - atau tepatnya ada - pakar kepribadian yang beranggapan bahwa apa yang kita fikirkan tentang diri kita akan mempengaruhi pola kehidupan kita. Saat kita berfikir bahwa kita adalah "the loser", maka kita akan menjalani hidup tanpa semangat. Kekalahan demi kekalahan akan kita terima sebagai sebuah kewajaran ... "as I expected", demikian ungkapan pembelaan tanpa penyesalan yang segera muncul dalam benak. Demikian pula jika kita berfikir sebaliknya. Slogan "we are the champion" yang sering didengungkan anak-anak elektro di itb, atau hardikan "ayo kalian mampu" yang diteriakkan berulang-ulang dalam os-nya anak mesin sungguh nyata mampu membangkitkan semangat dalam diri kita dan memunculkan kemampuan yang sebelumnya hanya bersembunyi sebagai sebuah potensi - walau dalam kasus itu hanya sekedar kemampuan melakukan push-up dengan tangan terkepal. Mungkin sebagian dari kita mencibir, itu hanyalah jargon-jargon kosong dan slogan-slogan tanpa makna. Namun demikianlah adanya. Bukankah dalam imel beberapa waktu lalu juga ditulis tentang perusahaan Jepang yang membentuk kepribadian karyawannya dengan selalu mengulang-ulang motto perusahaan. Mungkin mirip dengan janji siswa yang kita lantunkan dengan penuh kebosanan dan kedongkolan dalam hari-hari upacara kita di masa silam - sebuah usaha yang sayangnya gagal ! Dalam sebuah buku pernah ditulis sebuah ungkapan "you are not thinking what you are, but you are what you are thinking" (ada yang salah? :)) Yang jelas maksudnya, saat kita berfikir, "sayang, saya punya sifat begini", sebenarnya saat itulah kita sedang berproses menanamkan atau semakin menghunjamkan sifat itu ke dalam diri kita. Akhirnya kegagalan dalam hidup, ditambah fikiran seperti itu seolah memberi sertifikasi akan sahnya sifat buruk itu berpadu dalam diri kita.

Kembali kepada peran yang kita jalani. Pernahkah anda berfikir bahwa anda adalah superman ? Mungkin anda jawab pernah waktu kecil. Yang jelas teman saya waktu kecil pernah berfikir bahwa ia adalah batman, kemudian dia meloncat dari ketinggian dan dia tetap mengalami cedera; walaupun kostum batman yang dikenakan masih lekat di badannya. Di sini pesannya adalah, saat kita memilih sebuah peran maka kita akan menjalani hidup kita dengan usaha peniruan skenario peran itu - walaupun sering gagal. Manakala peran itu adalah sosok seseorang, maka skenario yang berusaha kita jalani adalah biografi kehidupan orang itu atau 'kejagoan-kejagoan' orang itu yang lekat dalam benak kita. Loncatan batman, terbangnya superman, kekuatan obelix, kecerdikan chinmi, atau tembakan lucky luke yang lebih cepat dari bayangannya ........ momen-momen cemerlang dari sosok yang kita kagumi itulah yang lekat dalam benak (hmm kebanyakan baca komik, sumimasen deshita). Dan kalau kebetulan figur itu adalah sosok yang ingin kita perankan, maka momen-momen itulah yang kemudian ingin kita tiru.

Bagaimana kalau kita mulai berfikir untuk memilih sebuah peran yang kita sukai. Silakan diam sejenak, berfikir ..... atau tepatnya merenung, apa peran yang saya inginkan.

Sebagai sebuah wacana bagaimana kalau kita mencoba untuk menjalani peran sebagai Muhammad saw - suri tauladan orang beriman, atau Umar ra yang terkenal dengan ketegasannya, atau Usman ra dengan kedermawanannya atau Ali ra dengan kecerdasannya, atau sosok-sosok teladan lainnya yang terserak dalam sejarah kehidupan manusia. Peran yang terlalu mewah ? Bisa jadi ....... tapi berpura-pura menjadi - walaupun kemudian gagal - tidak ada salahnya.

Saya tidak memaksa (siapakah saya hingga mau memaksa, red), karena pemilihan peran - seperti saya tulis di atas - adalah hak prerogatif setiap manusia. Walaupun tentunya kita sadar bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. So, masih berharap menerima piala Oscar ? Well, good luck then.

Tokyo, 2 Juni 2002

Abdur Rahim

(c) Copyright 2002 Abdur Rahim