PERDEBATAN RAJA MILINDA
Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads
     

15. Kekuatan Mara 
"Walaupun Bhante mengatakan bahwa Sang Tathagata selalu mendapat makanan 
waktu pindapata(A.ii. 87), tetapi ketika memasuki desa Pancasala Beliau 
tidak menerima apa-apa karena adanya gangguan Mara.(S.i. 113 f; Dh.A.iii. 
257) Apakah kekuatan Mara lebih besar daripada kekuatan Sang Buddha, ataukah 
kekuatan kebatilan lebih kuat daripada kekuatan 
kebajikan?" 
"Raja yang Agung, walaupun apa yang Baginda katakan itu benar 
adanya, tetapi itu belum cukup kuat untuk menegaskan pernyataan Baginda. 
Umpamakan seorang penjaga gerbang  di suatu kerajaan yang besar. Dia mungkin 
mencegat orang yang akan membawakan hadiah untuk raja karena dia iri, tetapi 
toh sang raja tidak akan menjadi kalah berkuasa dibandingkan 
dengan penjaga gerbang itu. Ada empat cara menghalangi suatu pemberian: 
1. Menghalangi pemberian yang belum dimaksudkan untuk satu orang tertentu; 
2. Menghalangi pemberian yang sudah disisihkan untuk orang tertentu; 
3. Menghalangi pemberian yang sudah disiapkan untuk seseorang, dan 
4. Menghalangi rasa gembira yang timbul karena memberi seseorang. 
Dalam hal yang Baginda sebutkan, pemberian itu bukanlah dimaksudkan khusus 
untuk Sang Buddha, karena bila memang sudah ditujukan khusus, tak ada 
seorangpun yang dapat menghalanginya." 
"Ada empat hal, O Baginda, sehubungan dengan Tathagata dimana tak seorangpun 
dapat melakukan hal yang merugikan: 
1. pemberian makanan yang sudah dimaksudkan untuk Beliau; 
2. sinar yang mengelilingi Beliau sejauh sedepa; 
3. kemahatahuan Beliau; dan 
4. kehidupan Beliau. 
Hal-hal itu terbebas dari cacat dan tidak dapat diserang makhluk lain dan 
tidak dapat diganggu. Ketika Mara menguasai para perumah tangga di desa 
Pancasala, itu bagaikan perampok-perampok yang mengepung jalan besar sambil 
bersembunyi di tempat-tempat yang tidak dapat dicapai. Tetapi jika raja 
melihat mereka, menurut Baginda apakah mereka akan 
selamat?" 
"Tidak, Bhante. Raja mungkin menyuruh agar mereka dipotong hancur." 
"Begitu pula, O Baginda, jika Mara menciptakan penghalang bagi makanan yang 
telah dikhususkan untuk Sang Buddha, kepalanya akan hancur menjadi ribuan 
keping." 
16. Pengetahuan akan Kelakuan yang Salah 
"Disabdakan oleh Sang Buddha, "Siapa pun yang karena kebodohannya 
menghilangkan kehidupan makhluk lain, berarti dia menumpuk karma buruk yang 
besar.' Tetapi di dalam peraturan latihan untuk para bhikkhu, Beliau 
mengatakan, 'Tidak ada pelanggaran kalau dia tidak tahu.' (Vin.iii. 78; iv. 
49) Bagaimana mungkin kedua pernyataan ini benar?" 
"Ada pelanggaran-pelanggaran dimana tidak ada jalan keluarnya 
walaupun orang tidak tahu, dan ada pelanggaran-pelanggaran yang memiliki 
jalan keluar. (Bandingkan, Pacittiya 51 minum minuman keras adalah 
pelanggaran walaupun tidak diketahui; Pacittiya 62 - mempergunakan air yang 
mengandung mahluk hidup di dalamnya adalah pelanggaran bila telah diketahui 
sebelumnya) Pelanggaran yang kedualah yang dimaksudkan Sang 
Buddha ketika Beliau berkata bahwa tidak ada pelanggaran jika dia tidak tahu." 
17. Sang Buddha tidak memiliki sifat ingin memiliki 
"Sang Buddha mengatakan, "Sang Tathagata tidak berpikir bahwa 
Beliau seharusnya memimpin Sangha atau bahwa Sangha tergantung kepada 
Beliau. '(D. ii. 100; M.i. 459) Tetapi mengenai Buddha Metteyya Beliau 
mengatakan, 'Dia akan menjadi pemimpin suatu Sangha yang terdiri dari 
beberapa ribu seperti halnya Saya sekarang pemimpin Sangha beberapa 
ratus'."(D. iii. 76) 
"Oh, Baginda, suatu pengertian kadang-kadang sudah tercakup dalam satu 
bagian, sedangkan dalam bagian yang lain tidak. Bukan Sang Tathagata yang 
mencari pengikut, tetapi para pengikutlah yang mencari Beliau. 'Ini milikku' 
hanyalah merupakan pendapat umum, itu bukanlah kebenaran tertinggi. 
Kecintaan adalah bentuk pikiran yang sudah disingkirkan oleh Sang Tathagata. 
Beliau telah menyingkirkan sifat memiliki, Beliau telah terbebas dari 
pandangan salah 'Ini milikku '. 
Beliau hidup hanya untuk membantu orang lain. Seperti halnya awan besar yang 
membawa hujan, O Baginda; ia mencurahkan hujan dan memberikan makanan kepada 
rumput dan pohon, kepada ternak dan manusia, dan semua makhluk hidup 
bergantung kepadanya. Tetapi awan itu tidak memiliki perasaan rindu akan ide 
"Ini adalah milikku". Begitu juga Sang Tathagata 
mengajarkan kepada semua makhluk mengenai sifat-sifat baik dan 
mempertahankan mereka dalam kebajikan, dan semua makhluk bergantung kepada 
Beliau, tetapi Beliau tidak memiliki konsep kepemilikan karena Beliau telah 
meninggalkan semua pandangan-pandangan salah mengenai diri." 
18. Kesatuan Sangha 
"Bhante katakan bahwa Sangha Sang Tathagata tidak akan pernah bisa 
dipecahbelah (D. iii. 172). Tetapi Devadatta dapat membawa pergi lima ratus 
orang bhikkhu dari Sang Buddha" (Vin.ii. 198). 
"Perpecahan itu terjadi karena kekuatan memecah-belah. Seorang ibu pun dapat 
terpisah dari anaknya bilamana ada orang yang membuat keretakan. Tetapi 
bahwa Sangha Sang Tathagata tidak dapat dipecahkan itu dikatakan dalam 
pengertian khusus.Belum pemah terdengar bahwa pengikut 
Beliau dapat dipecah-belahkan oleh sesuatu yang dilakukan Sang Tathagata, 
atau oleh kata yang tidak baik, tindakan yang salah atau ketidakadilan dari 
Sang Tathagata sendiri. Dalam pengertian itulah pengikutnya tidak 
tergoyahkan." 
BAGIAN SEPULUH 

19. Dhamma-lah yang Terbaik 
"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Karena Dhamma-lah, O Vasettha, 
yang terbaik di 
dunia ini' ( D. iii. 93 ). Tetapi Bhante mengatakan bahwa 
seorang umat awam 
yang  saleh yang telah memasuki tingkat sotapana harus 
menghormat kepada 
seorang samanera, meskipun samanera itu belum mencapai tingkat 
spiritual 
yang sedemikian. Jika memang Dhamma-lah yang terbaik, maka 
kebiasaan seperti 
itu tidaklah tepat." 
"O Baginda raja, ada alasan bagi kebiasaan semacam itu. Ada 28 
sifat 
kepribadian dan 2 tanda luar yang membuat seorang pertapa patut 
dihormati. 
 1. Ia bersukacita dalam Dhamma yang luar biasa, 
 2. Ia mempunyai kontrol diri yang sangat tinggi, 
 3. Ia mempunyai tingkah laku yang baik, karena cara hidupnya 
dengan 
pindapatta, 
 4. Ia tidak minum minuman keras, 
 5. Ia mengendalikan indrianya, 
 6. Ia sabar, 
 7. Ia lembut, 
 8. Ia hidup sendiri, 
 9. Ia menikmati kesendirian, 
10. Ia bersukacita dalam meditasi, 
11. Ia memiliki rasa malu untuk berbuat salah, 
12. Ia memiliki rasa takut akan akibat perbuatan salah, 
13. Ia bersemangat, 
14. Ia tekun,                               : 
15. Ia menjalankan peraturan, 
16. Ia membaca kitab suci, 
17. Ia bertanya kepada yang mengerti tentang apa yang 
dipelajarinya 
18. Ia bersukacita dalam nilai-nilai luhur, 
19. Ia tidak berumah tangga dan karena itu terbebas dari 
kemelekatan 
duniawi, 
20. Ia melaksanakan peraturan. 
Dan dia mempunyai 2 tanda luar - yaitu kepala yang tercukur 
bersih dan 
berjubah kuning. Dalam latihan dan perkembangan seperti inilah 
seorang 
pertapa hidup. Dengan berlatih dan mengembangkan nilai-nilai 
luhur sebagai 
pertapa ia maju menuju tingkat Arahat. Karena itu, melihat 
samanera sebagai 
orang yang berkawan dengan mereka yang sangat patut 
dihormati, maka orang awam yang saleh berpikir bahwa benar dan 
patutlah 
tindakannya menghormat seorang pertapa meskipun mungkin ia 
hanyalah orang 
biasa. Apalagi, O Baginda, juga karena melihatnya sebagai orang 
yang 
memegang aturan vihara, maka seorang umat awam menghormati 
pertapa. 
Dan jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, hanya dua 
tujuan yang 
menantinya: ia harus masuk Sangha pada hari itu juga, atau ia 
harus mencapai 
parinibbana. Tidak tergoyahkan, O Baginda, keadaan meninggalkan 
kehidupan 
duniawi, dan hebat serta sangat mulia kondisi masuk dalam 
Sangha Sang Buddha." 
20. Cinta Kasih Sang Buddha 
"Bhante mengatakan bahwa Sang Tathagata melindungi makhluk 
hidup dari bahaya
dan memberkati mereka dengan kebaikan. Akan tetapi ketika Sang 
Buddha sedang 
membabarkan Dhamma pada para bhikkhu tentang kiasan api yang 
membara ( A. 
iv. 128 - 135 ), darah panas tersembur dari mulut 60 orang 
bhikkhu. Dengan 
pembabaran ajaran ini mereka mengalami hal yang mencelakakan 
dan tidak baik. 
Jadi pernyataan Bhante itu salah." 
"Apa yang terjadi pada diri mereka itu disebabkan oleh 
perbuatan mereka 
sendiri." 
"Tetapi, Bhante Nagasena, seandainya saja Sang Tathagata tidak 
membabarkan 
ajaran tersebut, apakah mereka akan muntah darah panas?" 
"Tidak. Ketika mereka menerima secara salah apa yang 
dibabarkan, maka api 
itu menyala dalam diri mereka." 
"Kalau begitu berarti Sang Tathagata-lah yang menjadi penyebab 
utama yang 
menghancurkan mereka. Seandainya ada seekor ular yang sedang 
melata di 
sarang semut, dan ada orang yang memerlukan tanah datang untuk 
mengambil 
tanah. Lalu sebagai akibatnya ular itu mati karena terpendam 
dan tidak dapat 
bernafas, tidakkah hal itu berarti bahwa sang ular mati 
karena ulah orang tersebut?" 
"Ya, Baginda. Tetapi ketika Sang Tathagata membabarkan ajaran, 
Beliau tidak 
melakukannya dengan kebencian. Beliau membabarkan dengan 
keadaan yang sama 
sekali bebas dari kedengkian. Mereka yang berlatih dengan benar 
akan 
mencapai penerangan, tetapi mereka yang salah, akan jatuh. 
Seperti halnya, O 
Baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka buah yang 
tangkainya 
kuat tetap bertahan tak terganggu, 
sedangkan yang tangkainya busuk akan jatuh ke tanah." 
"Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena 
ajaran tersebut?" 
"Dapatkah seorang tukang kayu yang membiarkan kayu tergeletak 
saja tanpa 
melakukan apapun mengharapkan kayu tersebut lurus dan dapat 
bermanfaat?" 
'Tidak, Yang Mulia." 
"Demikian juga, O Baginda, dengan hanya mengamati para muridnya 
saja Sang 
Tathagata tidak dapat membuka mata mereka yang sudah siap untuk 
melihat, 
Tetapi dengan menyingkirkan mereka.yang salah menangkap ajaran, 
Beliau 
menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan 
karena 
kesalahan diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat 
terjatuh." 

21. Kerendahan Hati Sang Buddha 
"Ini juga telah disabdakan oleh Sang Buddha: 
'Mengendalikan badan 
adalah baik, 
      Baik pula mengendalikan ucapan, 
      Mengendalikan pikiran adalah baik, 
      Baik pula mengendalikan segala hal.' 
(S.i.73; Dhp. v. 361) 
"Tetapi ketika Sang Tathagata duduk di antara 4 kelompok 
(bhikkhu, 
bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita) Beliau menunjukkan 
kepada 
Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di 
depan umum, 
yaitu alat 
vital pria yang tersembunyi dalam selaput tipis (M.ii.Sta. 92; 
Sn. 103). 
Jika Beliau melakukan hal itu,  berarti pernyataan yang pertama 
tersebut 
salah." 
"Sang Buddha memang menunjukkan pada Sela si Brahmana sesuatu 
yang tidak 
boleh dipertontonkan di depan umum. Tetapi hal itu Beliau 
lakukan dengan 
kekuatan kesaktian dalam bentuk bayangan; dan hanya Sela yang 
dapat 
melihatnya. Pada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata, 
Sang Guru 
menunjukkan gambar alat vital pria yang tersembunyi dalam 
selaput tipis tersebut untuk menyadarkannya terhadap kebenaran. 
Sang 
Tathagata, O Baginda, sangat pandai dalam hal sarana. 'Untuk 
mencemooh 
kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Bhante Nanda ke alam dewa 
untuk 
melihat wanita-wanita yang cantik di sana (Ja. ii. 92-94), dan 
dengan 
sehelai kain putih Beliau menyadarkan Bhante Culapanthaka 
terhadap 
kekotoran tubuh" (Ja. i. 116ff) 
22. Perkataan Sang Buddha yang Sempurna 
"Yang Mulia Sariputta siswa utama berkata, 'Sang Tathagata itu 
sempurna 
dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan dalam perkataan Sang 
Tathagata. 
Mengenai perkataanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati 
dengan tujuan 
agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.' ( D. iii. 217 
). Jadi 
mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan keras 
terhadap 
Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang bodoh?" (Vin. iii. 20) 
"Itu semua bukan dengan kekasaran, O Baginda raja, tetapi 
semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak 
merugikan 
dia, tentang sifat tingkah lakunya yang tolol dan ceroboh. Jika 
orang dalam 
kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat 
Kesunyataan 
Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha menggunakan 
kata-kata 
kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan mengingatkan orang 
lain semata-mata 
untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau, 
meskipun 
dengan nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan 
membuat mereka
rendah hati. Kata-kata 
Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar 
bermanfaat. Sama 
seperti kata-kata seorang ayah pada anaknya." 
23. Pohon yang Berbicara 
"Sang Tathagata bersabda: 
'Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar 
yang tidak 
dapat mendengarmu ini, bagaimana keadaan hari ini? Engkau yang 
aktif, pandai 
dan penuh dengan kehidupan, bagaimana kamu dapat berbicara 
kepada benda yang 
tidak mempunyai indria, pada pohon Palasa liar ini?' (Ja. iii. 
24) 
"Tetapi pada kesempatan lain Sang Tathagata berkata: 
'Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, "Aku, Bharadvaja, 
dapat 
berbicara juga. Dengarkanlah aku".' (Ja. iv. 210) 
"Jika, Yang Mulia Nagasena, sebatang pohon merupakan sesuatu 
yang tidak 
punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini pasti salah." 
"Ketika Sang Buddha menyebut 'pohon aspen', itu hanyalah. cara 
berbicara 
konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu 
yang tidak 
sadar, kata 'pohon' tersebut ditujukan bagi dewa yang bertempat 
tinggal di 
situ. Dan ini adalah suatu konvensi  yang sudah banyak dikenal. 
Seperti 
halnya, O Baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut 
'kereta-jagung' 
meskipun kereta tesebut tidak terbuat 
dari jagung, melainkan dari kayu. Sang Tathagata, ketika 
membabarkan Dhamma, 
menggunakan juga alat bantu cara percakapan sehari-hari." 
24. Santapan Terakhir 
"Dikatakan oleh para tetua yang berkumpul pada Konsili Buddhis 
Pertama, 
'Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang 
besi, 
demikian yang telah saya dengar, Sang Buddha jatuh sakit. 
Beliau merasakan 
rasa sakit sampai wafatnya.' ( D. ii. 128 ) Tetapi Sang Buddha 
juga 
bersabda, 'Dua persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai 
kebajikan 
yang sama dan jauh lebih tinggi nilainya dari pada yang lain: 
yaitu makanan 
yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai Penerangan 
Sempurna; dan 
makanan yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai 
Parinibbana.' (D. 
ii. 135) 
Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah 
makan 
persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir 
itu pasti 
salah." 
"Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena 
Sang 
Tathagata lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu 
maka Sang 
Buddha jatuh sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan 
karena 
bertepatan dengan waktu mangkatnya. Dua persembahan makanan ini 
merupakan 
jasa yang baik dan tidak tertandingi karena adanya pencapaian 
sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan urutan maju dan 
mundur, yang 
terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan tersebut." 
25. Pemujaan terhadap Relik 
"Sang Buddha bersabda, 'Jangan menghalangi dirimu sendiri, 
Ananda, dengan 
menghormati apa yang tersisa dari Sang Tathagata.' (D. ii. 
141). 
Tetapi pada kesempatan lain Beliau bersabda, 'Hormatilah relik 
dari mereka 
yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan 
pergi dari dunia 
ini ke surga.'(Vv. 75 v 8). 
Pernyataan manakah yang benar?" 
"Nasihat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O Baginda, 
melainkan 
hanya kepada para putra Sang Penakluk (para bhikkhu). 
Menghormati relik 
bukanlah tugas mereka. Memahami hakekat alami dari segala yang 
berbentuk, 
penalaran (memperhatikan ketidakkekalan dll.), meditasi 
pandangan terang, 
mengerti inti obyek meditasi, pengabdian kepada kesejahteraan 
spiritual 
mereka, itulah tugas-tugas bhikkhu. 
Seperti halnya, O Baginda, adalah merupakan urusan para 
pangeran untuk 
belajar seni perang dan hukum wilayah; sementara berternak, 
berdagang dan 
mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga." 
26. Kaki Sang Buddha Terluka 
"Bhante berkata bahwa bila Sang Buddha berjalan, bumi ini, 
meskipun tidak 
sadar, mengisi lubang-lubang yang kosong dan meratakan tanah 
yang akan 
Beliau pijak (DA. 45). Akan tetapi Bhante mengatakan bahwa ada 
pecahan batu 
karang yang melukai kakiNya.(Vin. ii. 93) Mengapa pecahan batu 
tersebut 
tidak minggir dari kakiNya?" 
"O Raja, pecahan batu karang itu tidak jatuh dengan sendirinya. 
Batu itu 
dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk 
menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai 
kaki Sang 
Buddha. Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudahnya meleset, 
seperti 
halnya air yang ditampung di dua tangan dapat dengan mudahnya 
mengalir 
melalui jari-jari." 
27. Pertapa yang Sebenarnya 
"Sang Buddha bersabda, 'Orang bisa benar-benar menjadi pertapa 
dengan cara 
menghancurkan banjir (nafsu indria, keinginan untuk lahir 
kembali, 
kepercayaan adanya diri dan kebodohan).' (A. ii. 238, Pug. 63). 
Tetapi 
Beliau juga bersabda, 'Orang dikenal sebagai seorang pertapa 
bila mempunyai empat sifat: sabar, sederhana dalam hal makan, 
besifat 
melepas, dan bebas dari kepemilikan.' (Ku. 5p 204). Nah, ke 
empat sifat ini 
juga terdapat pada orang-orang yang belum sempurna, pada 
orang-orang yang 
akar kekotoran batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga 
merupakan 
masalah yang bersisi dua." 
"Kedua pernyataan ini, O Baginda, memang dibuat oleh Sang
Buddha. Tetapi 
yang pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus, 
sedangkan yang 
kedua adalah tentang ciri-ciri pertapa pada umumnya.' 
28. Kesombongan Sang Buddha 
"Sang Buddha bersabda, 'Jika ada seseorang yang memuji Aku, 
ajaranKu atau 
Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian 
itu.' (D. i. 
3; M. i.140). Tetapi, begitu gembiranya Beliau ketika Sela si 
Brahmana 
memujinya sehingga Beliau membesar-besarkan nilai-nilai 
luhurnya sendiri dan 
bersabda, 'Aku, Sela, adalah seorang raja, raja 
dengan kebenaran tertinggi. Roda kebenaran yang mulia telah 
Kuputar - roda 
yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapapun.' (M. ii. 
Sta. 92; Sn.v. 
554). Ini juga merupakan masalah bersisi dua." 
"Kedua pernyataan itu, O Baginda, betul adanya. Tetapi 
pernyataan yang 
pertama dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti 
sifat hakiki 
ajaranNya. Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh 
keuntungan, atau 
kemasyuran. Juga tidak diucapkan dengan cara yang bercabang, 
atau untuk 
memperoleh pengikut. Itu dikatakan dengan penuh welas asih dan 
merupakan 
pengetahuan, yang menyebabkan 300 brahmana 
mencapai pengetahuan tentang kebenaran." 
29. Siapakah yang Patut Dihukum? 
"Sang Buddha bersabda, 'Janganlah melukai siapapun, hiduplah di 
dunia ini 
dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.' (Ja. iv. 71 v 9). 
Tetapi Beliau 
juga bersabda, 'Kendalikanlah orang yang patut dikendalikan dan 
doronglah 
semangat orang yang patut didorong.' (Ja. v. 116). Nah, 
mengendalikan 
berarti memotong tangan dan kaki, memasukkan dalam penjara, dan 
sebagainya. 
Jika pernyataan yang pertama itu benar, 
maka yang kedua tidak mungkin benar." 
"O, Baginda, tidak melukai siapapun adalah ajaran semua Buddha. 
Akan tetapi, 
yang kedua itu digunakan secara kiasan. Hal itu berarti 
mengendalikan 
pikiran yang resah, menyemangati pikiran yang malas; 
mengendalikan pikiran 
yang jahat, mendorong pikiran yang baik; mengendalikan 
perenungan yang tidak 
bijaksana, mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan 
latihan yang 
salah, mendorong latihan yang 
benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia harus 
didorong; si 
pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemahsyuran, pujian dan 
keuntungan] harus 
dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus yang 
semata-mata 
berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus 
didorong." 
"Sekarang Bhante telah sampai pada inti permasalahan saya. Lalu 
bagaimana, 
Yang Mulia Nagasena. seorang perampok harus diatasi?" 
"Begini. O Baginda: jika patut dimarahi maka biarlah dia 
dimarahi; jika 
patut didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan 
biarlah dia 
diasingkan, jika patut dihukum mati biarlah dia dihukum mati." 
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, apakah hukuman mati menjadi 
salah satu 
bagian dari Ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?"
"Tentu saja tidak, O Baginda raja. Siapapun yang dihukum mati, 
tidaklah 
menderita hukuman mati tersebut karena pendapat yang telah 
dikatakan oleh 
Sang Tathagata.Ia menderita karena perbuatan yang telah 
dilakukannya sendiri." 
30. Pengusiran Bhikkhu Sangha 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Aku tidak mempunyai 
kemarahan ataupun 
kekesalan hati'. (Sn. v. 19). Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia 
Sariputta 
dan Yang Mulia Moggallana beserta murid-murid mereka. (M. ii. 
Sta. 67) 
Tidakkah dengan kemarahan Beliau melakukan hal itu?" 
"Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak 
dengan kemarahan. 
Karena perbuatan yang mereka telah dilakukan sendirilah maka 
mereka diusir. 
Sama halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada orang 
yang 
tersandung dan jatuh. Adalah kesalahan orang itu sendiri maka 
ia jatuh. Demikian juga Sang Buddha tidak mempunyai sakit hati 
macam apapun. 
Ia menyuruh mereka pergi karena mengetahui, 'Adalah demi untuk 
kebaikan, 
kebahagiaan, pemurnian dan kebebasan mereka dari penderitaan." 
BAGIAN SEBELAS 
31. Terbunuhnya Yang Aria Moggallana 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Di antara para muridKu yang mempunyai 
kekuatan kesaktian, Moggallana adalah yang paling hebat'(A.i. 23). Akan 
tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan tongkat.(DhA. iii. 65f komentar 
Dhp. vv. 137 140). Mengapa kesaktiannya tidak berfungsi?" 
"Itu, O Baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau berada dalam 
kekuatan kamma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak dapat 
dibayangkanpun, satu hal mungkin lebih kuat dari yang lain. Dan di antara 
yang tidak dapat dibayangkan itu, kammalah yang terkuat. Tepatnya, akibat 
kammalah yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya. 
Tidak ada pengaruh lain pada manusia yang dapat menghalangi kamma yang telah 
saatnya berbuah. Ini tidak dapat dihindari. Sama halnya seperti orang yang 
telah terbukti bersalah karena melakukan tindakan kriminal akan dihukum. 
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sanak-saudaranya untuk mencegahnya." 
32. Kerahasiaan Vinaya 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan 
oleh Sang Tathagata bersinar terang kalau ditunjukkan, dan tidak akan 
bersinar kalau tidak diungkap' (A. i. 283). Nah, mengapa pembacaan 
Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para bhikkhu,(Vin. i. 115, 135) dan 
mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus untuk bhikkhu saja?" 
"O Raja, alasan mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi bhikkhu saja adalah 
karena begitulah  kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua adalah untuk 
menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk menghormati para bhikkhu. 
Seperti halnya, O Baginda, tradisi prajurit hanyalah diajarkan turun-temurun 
di antara para prajurit, demikian juga Patimokkha harus berada hanya di 
antara para bhikkhu juga. Vinaya itu patut dihormati dan sangat mendalam. 
Mereka yang telah mencapai penguasaan Vinaya  mungkin berpesan dengan 
sungguh-sungguh demikian ini, 
'Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam ini jatuh ke tangan mereka yang 
tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina dan mengutuknya, 
memperlakukannya dengan mencemoohkannya dan mencari-cari kesalahan di 
dalamnya'. Sama halnya seperti kekayaan raja yang sangat berharga tidak 
boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian juga latihan dan tradisi Sang 
Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai 
harganya bagi para bhikkhu. Dan itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha 
hanya dilakukan di antara para bhikkhu." 
33. Kebohongan yang Disengaja 
"Telah disabdakan olch Sang Buddha, 'Kebohongan yang disengaja adalah suatu 
pelanggaran yang berakibat bhikkhu dikeluarkan secara paksa' (Hn. iii. 
94ff). Tetapi Beliau juga bersabda, 'Kebohongan yang disengaja adalah 
pelanggaran 
ringan yang harus diakuii di hadapan bhikkhu lain' (Vin. iii. 59, 66; Vinn. 
iv. 2). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?" 
"Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa yang 
akan Baginda berikan padanya?" 
"Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan mendenda 
si penyerang." 
"Tetapi jika ada orang yang memukul Baginda, hukuman apa yang akan Baginda 
berikan padanya?" 
"Kami akan memotong tangan dan kakinya, menbeset kulit kepalanya, menyita 
seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai 7 turunan." 
"Demikian juga, O Baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat 
tergantung dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang 
pencapaian keadaan di luar kemampuan manusia biasa, seperti misalnya 
pencapaian jhana, kekuatan kesaktian atau pencapaian Sang Jalan, adalah 
pelanggaran yang berakibat si bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi 
kebohongan dengan sengaja tentang masalah-masalah lainnya hanya merupakan 
pelanggaran yang berakibat harus mengakuinya." 
34. Penyelidikan Bodhisatta 
"Disabdakan oleh Sang Buddha dalam ajaranNya tentang hukum alam, 'Semenjak 
dahulu kala, orang tua Bodhisatta, para murid utama bagi Sang Bodhisatta 
dsb. telah ditentukan terlebih dahulu' (D. ii. 17-20). 
Tetapi disabdakan juga, 'Ketika masih di surga Tusita, Sang Bodhisatta 
melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah tiba waktu yang tepat baginya 
untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya, negaranya, keluarganya, ibunya, 
waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan waktu untuk meninggalkan 
kehidupan duniawi' (Ja. i. 48; DA. 428). Jika orangtuanya telah ditentukan 
sebelumnya, mengapa Sang Bodhisatta perlu 
mempertimbangkan hal-hal tersebut'?" 
"Kedua pernyataan itu, O Baginda, adalah benar. Berkenaan dengan delapan hal 
itu, masa depan harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang 
untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya, 
seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum dia melewati 
jalan itu, seorang sais kereta harus menyelidiki 
arungan sebelum menyeberanginya, seorang pemandu harus mempelajari daratan 
yang belum pernah dia lihat sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan sisa 
usia pasiennya sebelum mulai merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa 
jembatan sebelum ia berjalan melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu waktu 
sebelum mulai makan, dan seorang Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya 
sebelum ia dilahirkan." 
35. Bunuh diri 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Seorang bhikkhu tidak boleh mencoba 
untuk bunuh diri [terjun dari ngarai]; siapapun yang melakukan hal seperti 
itu akan ditindak sesuai dengan aturan yang ada' (Vin. iii. 74, 82) Tetapi 
sebaliknya Bhante katakan bahwa dalam topik apapun yang ditujukan pada para 
bhikkhu, dengan berbagai perumpamaan Sang Buddha selalu mendorong mereka 
untuk mengusahakan lenyapnya kelahiran, 
usia tua, penyakit dan kematian. Dan pada siapapun yang melakukan hal itu, 
Beliau memberikan pujian yang tinggi." 
"O Baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk 
hidup, maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai tujuan 
adalah bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir nafsu 
indria, bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari 
kepercayaan adanya diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan hujan 
yang luar biasa, seorang Arahat mengisi 
pikiran mereka dengan rasa puas, dan ia membimbing orang yang tersesat. 
Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang Buddha bersabda, 
'Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.' Dan apa alasan Sang Buddha 
mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian? 
Karena tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh 
lingkaran kelahiran, maka Sang Buddha yang begitu besar welas asihnya 
terhadap makhluk hidup mendorong mereka, lewat banyak cara dan banyak 
perumpamaan, agar membebaskan diri dari lingkaran kelahiran." 
36. Perlindungan dari Cinta Kasih 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sebelas keuntungan ini boleh diharapkan 
oleh orang yang telah berlatih dan mempunyai kebiasaan memberikan metta ( 
Cinta Kasih ) terhadap semua makhluk: 
1. Ia tidur dalam kedamaian; 
2. Ia bangun dalam kedamaian; 
3. Ia tidak bermimpi buruk; 
4. Ia disayangi oleh sesama manusia; 
5. Ia disayangi oleh makhluk yang bukan manusia; 
6. Ia dilindungi para dewa; 
7. Ia tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata; 
8. Pikirannya mudah terkonsentrasi; 
9. Airmukanya tenang; 
10. Ia mati dalam keadaan tidak bingung; 
11. Dan ia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak 
mencapai yang lebih tinggi lagi.' 
(A. v. 342, Ja. ii. 61; Vism. 311f) 
Kalau begitu mengapa si pemuda Sama yang hidup dengan penuh metta terluka 
oleh panah beracun yang dilepaskan oleh Raja Piliyakkha?" (Ja. vi. 76) 
"O Baginda, ke sebelas nilai luhur metta ini tergantung pada metta itu 
sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama 
memang berlatih meditasi metta setiap saat. Akan tetapi ketika ia sedang 
mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi. Pada saat itulah Raja 
Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya." 
37. Mengapa Devadatta Makmur? 
"Bhante mengatakan bahwa perbuatan baik akan membawa kelahiran di surga atau 
kelahiran sebagai manusia yang beruntung, serta bahwa perbuatan jahat 
membawa penderitaan atau kelahiran sebagai manusia yang tidak beruntung. 
Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan sifat-sifat jahat, sering terlahir 
dengan kedudukan yang lebih baik dibanding Sang 
Bodhisatta, yang penuh dengan sifat-sifat yang baik. (Ja. Nos. 122, 474, 
514, 516) 
"Begitulah, Yang Mulia Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga 
Brahmadatta, raja Benares, pada waktu itu Sang Bodhisatta adalah kasta yang 
tersingkir. Ini adalah salah satu kasus dimana Sang Bodhisatta lebih rendah 
dibandingkan dengan Devadatta, baik dari segi kelahiran maupun reputasi. 
"Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja yang berkuasa di dunia 
ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Dalam kasus itu, 
lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta. 
Demikian juga di banyak kasus lainnya." 
"Memang benar apa yang Baginda katakan itu." 
"Kalau begitu, berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang sama." 
Tidak, bukan demikian, O Baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja, tetapi 
tidak ada yang jahat terhadap Sang Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja, 
Devadatta melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan 
kepada para pertapa dan para brahmana sesuai dengan tekadnya. Tidak dapat 
dikatakan tentang siapapun, O Baginda, bahwa tanpa kemurahan hati, 
pengendalian diri, melaksanakan peraturan dan nilai-nilai luhur lain, maka 
ia dapat mencapai kemakmuran. Meskipun 
demikian, semua makhluk yang terhanyut dalam arus lingkaran kelahiran yang 
tidak berkesudahan selalu akan bertemu dengan pengalaman, baik yang 
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air yang 
mengalir di sungai selalu akan menemui benda yang bersih maupun yang tidak 
bersih. Tetapi perbandingan antara Sang Bodhisatta dan 
Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut panjangnya putaran kelahiran 
kembali yang tak terbayangkan, dan juga harus diingat bahwa Sang Bodhisatta 
berada dalam surga selama kurun waktu berkalpa-kalpa, sementara Devadatta 
mendidih di neraka." 

Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads