|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |
"Walaupun Bhante mengatakan bahwa Sang Tathagata selalu mendapat makanan waktu pindapata(A.ii. 87), tetapi ketika memasuki desa Pancasala Beliau tidak menerima apa-apa karena adanya gangguan Mara.(S.i. 113 f; Dh.A.iii. 257) Apakah kekuatan Mara lebih besar daripada kekuatan Sang Buddha, ataukah kekuatan kebatilan lebih kuat daripada kekuatan kebajikan?" "Raja yang Agung, walaupun apa yang Baginda katakan itu benar adanya, tetapi itu belum cukup kuat untuk menegaskan pernyataan Baginda. Umpamakan seorang penjaga gerbang di suatu kerajaan yang besar. Dia mungkin mencegat orang yang akan membawakan hadiah untuk raja karena dia iri, tetapi toh sang raja tidak akan menjadi kalah berkuasa dibandingkan dengan penjaga gerbang itu. Ada empat cara menghalangi suatu pemberian: 1. Menghalangi pemberian yang belum dimaksudkan untuk satu orang tertentu; 2. Menghalangi pemberian yang sudah disisihkan untuk orang tertentu; 3. Menghalangi pemberian yang sudah disiapkan untuk seseorang, dan 4. Menghalangi rasa gembira yang timbul karena memberi seseorang. Dalam hal yang Baginda sebutkan, pemberian itu bukanlah dimaksudkan khusus untuk Sang Buddha, karena bila memang sudah ditujukan khusus, tak ada seorangpun yang dapat menghalanginya." "Ada empat hal, O Baginda, sehubungan dengan Tathagata dimana tak seorangpun dapat melakukan hal yang merugikan: 1. pemberian makanan yang sudah dimaksudkan untuk Beliau; 2. sinar yang mengelilingi Beliau sejauh sedepa; 3. kemahatahuan Beliau; dan 4. kehidupan Beliau. Hal-hal itu terbebas dari cacat dan tidak dapat diserang makhluk lain dan tidak dapat diganggu. Ketika Mara menguasai para perumah tangga di desa Pancasala, itu bagaikan perampok-perampok yang mengepung jalan besar sambil bersembunyi di tempat-tempat yang tidak dapat dicapai. Tetapi jika raja melihat mereka, menurut Baginda apakah mereka akan selamat?" "Tidak, Bhante. Raja mungkin menyuruh agar mereka dipotong hancur." "Begitu pula, O Baginda, jika Mara menciptakan penghalang bagi makanan yang telah dikhususkan untuk Sang Buddha, kepalanya akan hancur menjadi ribuan keping." 16. Pengetahuan akan Kelakuan yang Salah "Disabdakan oleh Sang Buddha, "Siapa pun yang karena kebodohannya menghilangkan kehidupan makhluk lain, berarti dia menumpuk karma buruk yang besar.' Tetapi di dalam peraturan latihan untuk para bhikkhu, Beliau mengatakan, 'Tidak ada pelanggaran kalau dia tidak tahu.' (Vin.iii. 78; iv. 49) Bagaimana mungkin kedua pernyataan ini benar?" "Ada pelanggaran-pelanggaran dimana tidak ada jalan keluarnya walaupun orang tidak tahu, dan ada pelanggaran-pelanggaran yang memiliki jalan keluar. (Bandingkan, Pacittiya 51 minum minuman keras adalah pelanggaran walaupun tidak diketahui; Pacittiya 62 - mempergunakan air yang mengandung mahluk hidup di dalamnya adalah pelanggaran bila telah diketahui sebelumnya) Pelanggaran yang kedualah yang dimaksudkan Sang Buddha ketika Beliau berkata bahwa tidak ada pelanggaran jika dia tidak tahu." 17. Sang Buddha tidak memiliki sifat ingin memiliki "Sang Buddha mengatakan, "Sang Tathagata tidak berpikir bahwa Beliau seharusnya memimpin Sangha atau bahwa Sangha tergantung kepada Beliau. '(D. ii. 100; M.i. 459) Tetapi mengenai Buddha Metteyya Beliau mengatakan, 'Dia akan menjadi pemimpin suatu Sangha yang terdiri dari beberapa ribu seperti halnya Saya sekarang pemimpin Sangha beberapa ratus'."(D. iii. 76) "Oh, Baginda, suatu pengertian kadang-kadang sudah tercakup dalam satu bagian, sedangkan dalam bagian yang lain tidak. Bukan Sang Tathagata yang mencari pengikut, tetapi para pengikutlah yang mencari Beliau. 'Ini milikku' hanyalah merupakan pendapat umum, itu bukanlah kebenaran tertinggi. Kecintaan adalah bentuk pikiran yang sudah disingkirkan oleh Sang Tathagata. Beliau telah menyingkirkan sifat memiliki, Beliau telah terbebas dari pandangan salah 'Ini milikku '. Beliau hidup hanya untuk membantu orang lain. Seperti halnya awan besar yang membawa hujan, O Baginda; ia mencurahkan hujan dan memberikan makanan kepada rumput dan pohon, kepada ternak dan manusia, dan semua makhluk hidup bergantung kepadanya. Tetapi awan itu tidak memiliki perasaan rindu akan ide "Ini adalah milikku". Begitu juga Sang Tathagata mengajarkan kepada semua makhluk mengenai sifat-sifat baik dan mempertahankan mereka dalam kebajikan, dan semua makhluk bergantung kepada Beliau, tetapi Beliau tidak memiliki konsep kepemilikan karena Beliau telah meninggalkan semua pandangan-pandangan salah mengenai diri." |
"Bhante katakan bahwa Sangha Sang Tathagata tidak akan pernah bisa dipecahbelah (D. iii. 172). Tetapi Devadatta dapat membawa pergi lima ratus orang bhikkhu dari Sang Buddha" (Vin.ii. 198). "Perpecahan itu terjadi karena kekuatan memecah-belah. Seorang ibu pun dapat terpisah dari anaknya bilamana ada orang yang membuat keretakan. Tetapi bahwa Sangha Sang Tathagata tidak dapat dipecahkan itu dikatakan dalam pengertian khusus.Belum pemah terdengar bahwa pengikut Beliau dapat dipecah-belahkan oleh sesuatu yang dilakukan Sang Tathagata, atau oleh kata yang tidak baik, tindakan yang salah atau ketidakadilan dari Sang Tathagata sendiri. Dalam pengertian itulah pengikutnya tidak tergoyahkan." BAGIAN SEPULUH 19. Dhamma-lah yang Terbaik
|
"Ini juga telah disabdakan oleh Sang Buddha: 'Mengendalikan badan adalah baik, Baik pula mengendalikan ucapan, Mengendalikan pikiran adalah baik, Baik pula mengendalikan segala hal.' (S.i.73; Dhp. v. 361) "Tetapi ketika Sang Tathagata duduk di antara 4 kelompok (bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita) Beliau menunjukkan kepada Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di depan umum, yaitu alat vital pria yang tersembunyi dalam selaput tipis (M.ii.Sta. 92; Sn. 103). Jika Beliau melakukan hal itu, berarti pernyataan yang pertama tersebut salah." "Sang Buddha memang menunjukkan pada Sela si Brahmana sesuatu yang tidak boleh dipertontonkan di depan umum. Tetapi hal itu Beliau lakukan dengan kekuatan kesaktian dalam bentuk bayangan; dan hanya Sela yang dapat melihatnya. Pada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata, Sang Guru menunjukkan gambar alat vital pria yang tersembunyi dalam selaput tipis tersebut untuk menyadarkannya terhadap kebenaran. Sang Tathagata, O Baginda, sangat pandai dalam hal sarana. 'Untuk mencemooh kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Bhante Nanda ke alam dewa untuk melihat wanita-wanita yang cantik di sana (Ja. ii. 92-94), dan dengan sehelai kain putih Beliau menyadarkan Bhante Culapanthaka terhadap kekotoran tubuh" (Ja. i. 116ff) 22. Perkataan Sang Buddha yang Sempurna "Yang Mulia Sariputta siswa utama berkata, 'Sang Tathagata itu sempurna dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan dalam perkataan Sang Tathagata. Mengenai perkataanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati dengan tujuan agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.' ( D. iii. 217 ). Jadi mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan keras terhadap Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang bodoh?" (Vin. iii. 20) "Itu semua bukan dengan kekasaran, O Baginda raja, tetapi semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak merugikan dia, tentang sifat tingkah lakunya yang tolol dan ceroboh. Jika orang dalam kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat Kesunyataan Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha menggunakan kata-kata kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan mengingatkan orang lain semata-mata untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau, meskipun dengan nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan membuat mereka rendah hati. Kata-kata Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar bermanfaat. Sama seperti kata-kata seorang ayah pada anaknya." 23. Pohon yang Berbicara "Sang Tathagata bersabda: 'Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar yang tidak dapat mendengarmu ini, bagaimana keadaan hari ini? Engkau yang aktif, pandai dan penuh dengan kehidupan, bagaimana kamu dapat berbicara kepada benda yang tidak mempunyai indria, pada pohon Palasa liar ini?' (Ja. iii. 24) "Tetapi pada kesempatan lain Sang Tathagata berkata: 'Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, "Aku, Bharadvaja, dapat berbicara juga. Dengarkanlah aku".' (Ja. iv. 210) "Jika, Yang Mulia Nagasena, sebatang pohon merupakan sesuatu yang tidak punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini pasti salah." "Ketika Sang Buddha menyebut 'pohon aspen', itu hanyalah. cara berbicara konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu yang tidak sadar, kata 'pohon' tersebut ditujukan bagi dewa yang bertempat tinggal di situ. Dan ini adalah suatu konvensi yang sudah banyak dikenal. Seperti halnya, O Baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut 'kereta-jagung' meskipun kereta tesebut tidak terbuat dari jagung, melainkan dari kayu. Sang Tathagata, ketika membabarkan Dhamma, menggunakan juga alat bantu cara percakapan sehari-hari." |
"Dikatakan oleh para tetua yang berkumpul pada Konsili Buddhis Pertama, 'Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang besi, demikian yang telah saya dengar, Sang Buddha jatuh sakit. Beliau merasakan rasa sakit sampai wafatnya.' ( D. ii. 128 ) Tetapi Sang Buddha juga bersabda, 'Dua persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai kebajikan yang sama dan jauh lebih tinggi nilainya dari pada yang lain: yaitu makanan yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai Penerangan Sempurna; dan makanan yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai Parinibbana.' (D. ii. 135) Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah makan persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir itu pasti salah." "Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena Sang Tathagata lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu maka Sang Buddha jatuh sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan karena bertepatan dengan waktu mangkatnya. Dua persembahan makanan ini merupakan jasa yang baik dan tidak tertandingi karena adanya pencapaian sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan urutan maju dan mundur, yang terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan tersebut." 25. Pemujaan terhadap Relik "Sang Buddha bersabda, 'Jangan menghalangi dirimu sendiri, Ananda, dengan menghormati apa yang tersisa dari Sang Tathagata.' (D. ii. 141). Tetapi pada kesempatan lain Beliau bersabda, 'Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga.'(Vv. 75 v 8). Pernyataan manakah yang benar?" "Nasihat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O Baginda, melainkan hanya kepada para putra Sang Penakluk (para bhikkhu). Menghormati relik bukanlah tugas mereka. Memahami hakekat alami dari segala yang berbentuk, penalaran (memperhatikan ketidakkekalan dll.), meditasi pandangan terang, mengerti inti obyek meditasi, pengabdian kepada kesejahteraan spiritual mereka, itulah tugas-tugas bhikkhu. Seperti halnya, O Baginda, adalah merupakan urusan para pangeran untuk belajar seni perang dan hukum wilayah; sementara berternak, berdagang dan mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga." 26. Kaki Sang Buddha Terluka "Bhante berkata bahwa bila Sang Buddha berjalan, bumi ini, meskipun tidak sadar, mengisi lubang-lubang yang kosong dan meratakan tanah yang akan Beliau pijak (DA. 45). Akan tetapi Bhante mengatakan bahwa ada pecahan batu karang yang melukai kakiNya.(Vin. ii. 93) Mengapa pecahan batu tersebut tidak minggir dari kakiNya?" "O Raja, pecahan batu karang itu tidak jatuh dengan sendirinya. Batu itu dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai kaki Sang Buddha. Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudahnya meleset, seperti halnya air yang ditampung di dua tangan dapat dengan mudahnya mengalir melalui jari-jari." 27. Pertapa yang Sebenarnya "Sang Buddha bersabda, 'Orang bisa benar-benar menjadi pertapa dengan cara menghancurkan banjir (nafsu indria, keinginan untuk lahir kembali, kepercayaan adanya diri dan kebodohan).' (A. ii. 238, Pug. 63). Tetapi Beliau juga bersabda, 'Orang dikenal sebagai seorang pertapa bila mempunyai empat sifat: sabar, sederhana dalam hal makan, besifat melepas, dan bebas dari kepemilikan.' (Ku. 5p 204). Nah, ke empat sifat ini juga terdapat pada orang-orang yang belum sempurna, pada orang-orang yang akar kekotoran batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua." "Kedua pernyataan ini, O Baginda, memang dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi yang pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus, sedangkan yang kedua adalah tentang ciri-ciri pertapa pada umumnya.' |
"Sang Buddha bersabda, 'Jika ada seseorang yang memuji Aku, ajaranKu atau Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian itu.' (D. i. 3; M. i.140). Tetapi, begitu gembiranya Beliau ketika Sela si Brahmana memujinya sehingga Beliau membesar-besarkan nilai-nilai luhurnya sendiri dan bersabda, 'Aku, Sela, adalah seorang raja, raja dengan kebenaran tertinggi. Roda kebenaran yang mulia telah Kuputar - roda yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapapun.' (M. ii. Sta. 92; Sn.v. 554). Ini juga merupakan masalah bersisi dua." "Kedua pernyataan itu, O Baginda, betul adanya. Tetapi pernyataan yang pertama dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti sifat hakiki ajaranNya. Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh keuntungan, atau kemasyuran. Juga tidak diucapkan dengan cara yang bercabang, atau untuk memperoleh pengikut. Itu dikatakan dengan penuh welas asih dan merupakan pengetahuan, yang menyebabkan 300 brahmana mencapai pengetahuan tentang kebenaran." 29. Siapakah yang Patut Dihukum? "Sang Buddha bersabda, 'Janganlah melukai siapapun, hiduplah di dunia ini dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.' (Ja. iv. 71 v 9). Tetapi Beliau juga bersabda, 'Kendalikanlah orang yang patut dikendalikan dan doronglah semangat orang yang patut didorong.' (Ja. v. 116). Nah, mengendalikan berarti memotong tangan dan kaki, memasukkan dalam penjara, dan sebagainya. Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka yang kedua tidak mungkin benar." "O, Baginda, tidak melukai siapapun adalah ajaran semua Buddha. Akan tetapi, yang kedua itu digunakan secara kiasan. Hal itu berarti mengendalikan pikiran yang resah, menyemangati pikiran yang malas; mengendalikan pikiran yang jahat, mendorong pikiran yang baik; mengendalikan perenungan yang tidak bijaksana, mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan latihan yang salah, mendorong latihan yang benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia harus didorong; si pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemahsyuran, pujian dan keuntungan] harus dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus yang semata-mata berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus didorong." "Sekarang Bhante telah sampai pada inti permasalahan saya. Lalu bagaimana, Yang Mulia Nagasena. seorang perampok harus diatasi?" "Begini. O Baginda: jika patut dimarahi maka biarlah dia dimarahi; jika patut didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan biarlah dia diasingkan, jika patut dihukum mati biarlah dia dihukum mati." "Kalau begitu, Bhante Nagasena, apakah hukuman mati menjadi salah satu bagian dari Ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?" "Tentu saja tidak, O Baginda raja. Siapapun yang dihukum mati, tidaklah menderita hukuman mati tersebut karena pendapat yang telah dikatakan oleh Sang Tathagata.Ia menderita karena perbuatan yang telah dilakukannya sendiri." 30. Pengusiran Bhikkhu Sangha "Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Aku tidak mempunyai kemarahan ataupun kekesalan hati'. (Sn. v. 19). Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia Moggallana beserta murid-murid mereka. (M. ii. Sta. 67) Tidakkah dengan kemarahan Beliau melakukan hal itu?" "Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak dengan kemarahan. Karena perbuatan yang mereka telah dilakukan sendirilah maka mereka diusir. Sama halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada orang yang tersandung dan jatuh. Adalah kesalahan orang itu sendiri maka ia jatuh. Demikian juga Sang Buddha tidak mempunyai sakit hati macam apapun. Ia menyuruh mereka pergi karena mengetahui, 'Adalah demi untuk kebaikan, kebahagiaan, pemurnian dan kebebasan mereka dari penderitaan." BAGIAN SEBELAS 31. Terbunuhnya Yang Aria Moggallana "Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Di antara para muridKu yang mempunyai kekuatan kesaktian, Moggallana adalah yang paling hebat'(A.i. 23). Akan tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan tongkat.(DhA. iii. 65f komentar Dhp. vv. 137 140). Mengapa kesaktiannya tidak berfungsi?" "Itu, O Baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau berada dalam kekuatan kamma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak dapat dibayangkanpun, satu hal mungkin lebih kuat dari yang lain. Dan di antara yang tidak dapat dibayangkan itu, kammalah yang terkuat. Tepatnya, akibat kammalah yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya. Tidak ada pengaruh lain pada manusia yang dapat menghalangi kamma yang telah saatnya berbuah. Ini tidak dapat dihindari. Sama halnya seperti orang yang telah terbukti bersalah karena melakukan tindakan kriminal akan dihukum. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sanak-saudaranya untuk mencegahnya." |
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan oleh Sang Tathagata bersinar terang kalau ditunjukkan, dan tidak akan bersinar kalau tidak diungkap' (A. i. 283). Nah, mengapa pembacaan Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para bhikkhu,(Vin. i. 115, 135) dan mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus untuk bhikkhu saja?" "O Raja, alasan mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi bhikkhu saja adalah karena begitulah kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua adalah untuk menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk menghormati para bhikkhu. Seperti halnya, O Baginda, tradisi prajurit hanyalah diajarkan turun-temurun di antara para prajurit, demikian juga Patimokkha harus berada hanya di antara para bhikkhu juga. Vinaya itu patut dihormati dan sangat mendalam. Mereka yang telah mencapai penguasaan Vinaya mungkin berpesan dengan sungguh-sungguh demikian ini, 'Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam ini jatuh ke tangan mereka yang tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina dan mengutuknya, memperlakukannya dengan mencemoohkannya dan mencari-cari kesalahan di dalamnya'. Sama halnya seperti kekayaan raja yang sangat berharga tidak boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian juga latihan dan tradisi Sang Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi para bhikkhu. Dan itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha hanya dilakukan di antara para bhikkhu." 33. Kebohongan yang Disengaja "Telah disabdakan olch Sang Buddha, 'Kebohongan yang disengaja adalah suatu pelanggaran yang berakibat bhikkhu dikeluarkan secara paksa' (Hn. iii. 94ff). Tetapi Beliau juga bersabda, 'Kebohongan yang disengaja adalah pelanggaran ringan yang harus diakuii di hadapan bhikkhu lain' (Vin. iii. 59, 66; Vinn. iv. 2). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?" "Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa yang akan Baginda berikan padanya?" "Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan mendenda si penyerang." "Tetapi jika ada orang yang memukul Baginda, hukuman apa yang akan Baginda berikan padanya?" "Kami akan memotong tangan dan kakinya, menbeset kulit kepalanya, menyita seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai 7 turunan." "Demikian juga, O Baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat tergantung dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang pencapaian keadaan di luar kemampuan manusia biasa, seperti misalnya pencapaian jhana, kekuatan kesaktian atau pencapaian Sang Jalan, adalah pelanggaran yang berakibat si bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi kebohongan dengan sengaja tentang masalah-masalah lainnya hanya merupakan pelanggaran yang berakibat harus mengakuinya." 34. Penyelidikan Bodhisatta "Disabdakan oleh Sang Buddha dalam ajaranNya tentang hukum alam, 'Semenjak dahulu kala, orang tua Bodhisatta, para murid utama bagi Sang Bodhisatta dsb. telah ditentukan terlebih dahulu' (D. ii. 17-20). Tetapi disabdakan juga, 'Ketika masih di surga Tusita, Sang Bodhisatta melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah tiba waktu yang tepat baginya untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya, negaranya, keluarganya, ibunya, waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan waktu untuk meninggalkan kehidupan duniawi' (Ja. i. 48; DA. 428). Jika orangtuanya telah ditentukan sebelumnya, mengapa Sang Bodhisatta perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut'?" "Kedua pernyataan itu, O Baginda, adalah benar. Berkenaan dengan delapan hal itu, masa depan harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya, seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum dia melewati jalan itu, seorang sais kereta harus menyelidiki arungan sebelum menyeberanginya, seorang pemandu harus mempelajari daratan yang belum pernah dia lihat sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan sisa usia pasiennya sebelum mulai merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa jembatan sebelum ia berjalan melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu waktu sebelum mulai makan, dan seorang Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya sebelum ia dilahirkan." |
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Seorang bhikkhu tidak boleh mencoba untuk bunuh diri [terjun dari ngarai]; siapapun yang melakukan hal seperti itu akan ditindak sesuai dengan aturan yang ada' (Vin. iii. 74, 82) Tetapi sebaliknya Bhante katakan bahwa dalam topik apapun yang ditujukan pada para bhikkhu, dengan berbagai perumpamaan Sang Buddha selalu mendorong mereka untuk mengusahakan lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan pada siapapun yang melakukan hal itu, Beliau memberikan pujian yang tinggi." "O Baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk hidup, maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai tujuan adalah bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir nafsu indria, bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari kepercayaan adanya diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan hujan yang luar biasa, seorang Arahat mengisi pikiran mereka dengan rasa puas, dan ia membimbing orang yang tersesat. Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang Buddha bersabda, 'Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.' Dan apa alasan Sang Buddha mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian? Karena tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh lingkaran kelahiran, maka Sang Buddha yang begitu besar welas asihnya terhadap makhluk hidup mendorong mereka, lewat banyak cara dan banyak perumpamaan, agar membebaskan diri dari lingkaran kelahiran." 36. Perlindungan dari Cinta Kasih "Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sebelas keuntungan ini boleh diharapkan oleh orang yang telah berlatih dan mempunyai kebiasaan memberikan metta ( Cinta Kasih ) terhadap semua makhluk: 1. Ia tidur dalam kedamaian; 2. Ia bangun dalam kedamaian; 3. Ia tidak bermimpi buruk; 4. Ia disayangi oleh sesama manusia; 5. Ia disayangi oleh makhluk yang bukan manusia; 6. Ia dilindungi para dewa; 7. Ia tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata; 8. Pikirannya mudah terkonsentrasi; 9. Airmukanya tenang; 10. Ia mati dalam keadaan tidak bingung; 11. Dan ia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak mencapai yang lebih tinggi lagi.' (A. v. 342, Ja. ii. 61; Vism. 311f) Kalau begitu mengapa si pemuda Sama yang hidup dengan penuh metta terluka oleh panah beracun yang dilepaskan oleh Raja Piliyakkha?" (Ja. vi. 76) "O Baginda, ke sebelas nilai luhur metta ini tergantung pada metta itu sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama memang berlatih meditasi metta setiap saat. Akan tetapi ketika ia sedang mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi. Pada saat itulah Raja Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya." 37. Mengapa Devadatta Makmur? "Bhante mengatakan bahwa perbuatan baik akan membawa kelahiran di surga atau kelahiran sebagai manusia yang beruntung, serta bahwa perbuatan jahat membawa penderitaan atau kelahiran sebagai manusia yang tidak beruntung. Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan sifat-sifat jahat, sering terlahir dengan kedudukan yang lebih baik dibanding Sang Bodhisatta, yang penuh dengan sifat-sifat yang baik. (Ja. Nos. 122, 474, 514, 516) "Begitulah, Yang Mulia Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga Brahmadatta, raja Benares, pada waktu itu Sang Bodhisatta adalah kasta yang tersingkir. Ini adalah salah satu kasus dimana Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta, baik dari segi kelahiran maupun reputasi. "Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja yang berkuasa di dunia ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Dalam kasus itu, lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta. Demikian juga di banyak kasus lainnya." "Memang benar apa yang Baginda katakan itu." "Kalau begitu, berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang sama." Tidak, bukan demikian, O Baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja, tetapi tidak ada yang jahat terhadap Sang Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja, Devadatta melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan kepada para pertapa dan para brahmana sesuai dengan tekadnya. Tidak dapat dikatakan tentang siapapun, O Baginda, bahwa tanpa kemurahan hati, pengendalian diri, melaksanakan peraturan dan nilai-nilai luhur lain, maka ia dapat mencapai kemakmuran. Meskipun demikian, semua makhluk yang terhanyut dalam arus lingkaran kelahiran yang tidak berkesudahan selalu akan bertemu dengan pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air yang mengalir di sungai selalu akan menemui benda yang bersih maupun yang tidak bersih. Tetapi perbandingan antara Sang Bodhisatta dan Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut panjangnya putaran kelahiran kembali yang tak terbayangkan, dan juga harus diingat bahwa Sang Bodhisatta berada dalam surga selama kurun waktu berkalpa-kalpa, sementara Devadatta mendidih di neraka." |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |