PERDEBATAN RAJA MILINDA
Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads
     

38. Kelemahan Wanita 
"Dikatakan bahwa wanita akan selalu melakukan penyelewengan seksual bila ia 
mendapat kekasih yang sesuai (Ja. v. 435). Tetapi istri Mahasodha menolak 
melakukan tindakan yang salah, meskipun ia ditawari seribu keping emas" (Ja. 
vi. 367). 
"Amaradevi adalah wanita yang luhur. Dia takut dikecam di dunia ini. Dia 
takut menderita dalam api neraka. Dia juga mencintai suaminya. Dan dia 
memandang rendah pelanggaran susila dan menghargai nilai luhur. Karena semua 
alasan itulah maka kesempatan itu tidak tampak cocok baginya. Dan suaminya, 
Mahasodha, adalah laki-laki ideal. Maka bagi Amaradevi tidak ada orang yang 
dapat dibandingkan dengan Mahasodha. Jadi 
karena alasan ini pulalah maka Amaradevi tidak melakukan tindakan yang salah." 
39. Keberanian Ananda 
"Disabdakan oleh Sang Buddha bahwa para Arahat telah menyingkirkan segala 
rasa takut (Dhp. v. 351; Sn. 621). Akan tetapi ketika Dhanapalaka ( = 
Nalagiri ) si gajah mabuk akan menyerang Sang Buddha, lima ratus Arahat lari 
meninggalkan Ananda sendirian untuk melindungi Sang Buddha (Vin. ii. 194; 
Ja. v. 333f). Jika para Arahat sudah terbebas dari rasa takut, mengapa 
mereka lari?' 
"Mereka tidak lari karena rasa takut, O Baginda. Para Arahat sudah bebas 
dari rasa takut. Tetapi mereka minggir agar pengabdian Yang Mulia Ananda 
pada Sang Buddha dapat terwujud. Mereka menyadari bahwa jikalau mereka tidak 
minggir maka gajah itu tidak akan bisa mendekat. Bhante Ananda, yang pada 
waktu itu belun menjadi Arahat, tetap berada di samping Sang Buddha. Dengan 
demikian maka keberanian dan pengabdiannya 
terlihat. Oleh karena kejadian ini, banyak sekali orang yang terbebas dari 
belenggu kekotoran batin. Karena telah melihat manfaat-manfaat itulah, maka 
para Arahat minggir." 
40. Perubahan Hati Sang Buddha 
"Bhante mengatakan bahwa Sang Buddha itu mahatahu. Akan tetapi setelah Sang 
Buddha mengusir serombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Aria Sariputta 
dan Yang Aria Moggallana, orang-orang Sakya dari Catuma dan Brahma Sahampati 
menenteramkan Sang Buddha melalui perumpamaan-perumpamaan. Apakah Beliau 
tidak mengetahui tentang perumpamaan tersebut? (M. ii. Sta. 67). Jika tahu, 
mengapa Beliau perlu 
ditenteramkan?" 
"Sang Tathagata, O Baginda, adalah mahatahu. Akan tetapi toh Beliau tetap 
merasa ditenteramkan oleh perumpamaan-perumpamaan itu. Dengan memakai 
perumpamaanlah Beliau pertama kali membabarkan ajarannya, dan merasa damai 
karenanya. Dan karena diambil hatiNya itulah maka Beliau menyatakan 
restunya. Seperti halnya, O Baginda, ketika seorang samanera 
melayani gurunya dengan makanan yang diperoleh sang guru sendiri dari 
pindapatanya, demikianlah dia menyenangkan sang guru dan mengambil hatinya." 
BAGIAN DUA BELAS 
41. Mengenai Tempat Tinggal 
     "Disabdakan oleh Sang Buddha: 
     'Rasa takut lahir dari keintiman, 
     Debu berasal dari rumah yang didirikan. 
     Tidak berumah, bebas dari keintiman, 
     Inilah pemahaman orang bijak.' (8n.v. 207) 
    "Tetapi Beliau juga bersabda: 
    'Biarkanlah orang bijak membangun. tempat tinggal 
    dan menampung orang terpelajar di situ.' 
    (Vin. ii. 147;S.i. l00) 
"Jika pernyataan yang pertama diucapkan oleh Sang Buddha, maka yang kedua 
pasti salah." 
"Kedua pernyataaan itu memang diucapkan oleh Sang Tathagata, O Baginda, 
tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus berkenaan dengan 
sifat alami dari segala hal, dan berkenaan dengan apa yang patut diinginkan 
oleh seorang pertapa. Sedangkan pernyataan yang kedua dikatakan hanya 
mengenai dua persoalan. Pemberian berupa tempat 
tinggal telah mendapat pujian tinggi dari para Buddha karena mereka yang 
telah memberikan persembahan semacam itu akan terbebas dari kelahiran, usia 
tua, penyakit dan kematian. Dan yang kedua, jika ada tempat tinggal maka 
akan lebih mudah bagi mereka yang ingin mendengarkan Dhamma untuk 
mengunjungi para bhikkhu, dibandingkan jikalau para bhikkhu tinggal di 
hutan. Tetapi hal ini tidak lalu diikuti oleh keinginan para 
bhikkhu untuk mempunyai tempat tinggal." 
42. Kontrol atas Perut 
Sang Buddha bersabda, 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu 
pindapatta, milikilah kontrol atas perutmu.' (Dhp. v. 168) Tetapi Beliau 
juga bersabda,' Ada kalanya, Udayi, Aku makan semangkuk penuh atau bahkan 
lebih' (M. ii.7). Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua." 
"Kedua pernyataan ini benar, O Raja, tetapi pernyataan yang pertama 
mempunyai pengertian khusus dan tidak akan terbukti salah. Orang yang tidak 
mempunyai kontrol diri atas perutnya akan membunuh makhluk hidup atau 
mencuri demi perutnya. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Sang Buddha 
bersabda, 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu pindapatta, milikilah kontrol 
atas perutmu.' Sedangkan orang yang mempunyai kontrol 
diri mendapatkan pandangan terang terhadap Empat Kesunyatan Mulia, dan 
memenuhi kehidupan sebagai pertapa. Bukankah seekor beo biasa, O Baginda, 
melalui kontrol atas perutnya mengguncang Surga ke 33 dan membuat Sakka 
turun untuk melayaninya? (Ja. No. 429). Tetapi ketika 'Sang Buddha bersabda, 
'Ada kalanya, Udayi, Aku makan semangkuk penuh atau 
bahkan lebih', hal itu berhubungan dengan diri Beliau sendiri yang telah 
mencapai apa yang harus dicapai dengan kontrol diri. Dan seperti permata 
sempurna yang tidak lagi perlu digosok, Beliau tidak memerlukan latihan 
lagi." 
43. Orang Yang Terbaik 
"Sang Buddha bersabda, 'Aku, 0 para bhikkhu, adalah seorang 
Brahmana, tempat orang meminta tolong, yang selalu siap memberi; tubuh yang 
Kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter yang agung' 
(Iti. 101). Tetapi pada kesempatan lain Beliau bersabda, 'Di antara muridku, 
Bakkula-lah yang paling baik kesehatannya' (A.i.24). 
Telah diketahui bahwa Sang Buddha beberapa kali terkena penyakit sedangkan 
Bakkula selalu sehat. Jika pernyataan yang pertama benar, mengapa Sang 
Buddha kalah sehat dibandingkan Bakkula?" 
"Memang benar bahwa Bakkula melebihi Sang Buddha di bidang 
kesehatan, dan beberapa murid lain juga melebihi Beliau di bidang lain. Akan 
tetapi Sang Buddha melebihi mereka semua dalam hal nilai-nilai kemoralan 
(Sila), konsentrasi (Samadhi), dan kebijaksanaan (Panna). Dan mengenai 
hal-hal inilah Beliau bersabda, 'Aku, 0 para bhikkhu, adalah 
seorang Brahmana, tempat orang meminta tolong, yang selalu siap memberi; 
tubuh yang Kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter 
yang agung." 
"Sang Buddha, O Baginda, baik ketika sakit ataupun tidak; baik ketika sedang 
berlatih sebagai pertapa atau tidak - tak tertandingi oleh makhluk lain. Hal 
ini, O Baginda, disabdakan dalam Samyutta Nikaya, '0, para bhikkhu, dari 
semua makhluk: baik yang tidak berkaki atau yang mempunyai dua atau empat 
atau banyak kaki; yang mempunyai bentuk maupun yang tidak; yang sadar, atau 
yang tidak, atau yang bukan-sadar-dan-bukannya-tak-sadar; dari semuanya ini 
Sang Tathagata, 
Sang Arahat, Sang Yang Mencapai Penerangan Sempurna, diperhitungkan sebagai 
yang utama...."' (S.v.41) 
44. Jalan Kuno 
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang tidak 
diketahui sebelumnya' (S. iii. 66; S.i. 190). Tetapi Beliau juga bersabda, 
'Sekarang Aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh 
oleh para Buddha sebelumnya.' (=Jalan menuju Nibbana, S. ii. 105) Ini juga 
merupakan masalah yang bersisi dua." 
"Karena jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu telah 
lama hilang dan tidak diketahui oleh siapapun, baik manusia maupun dewa, 
maka Sang Buddha bersabda, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang tidak 
diketahui sebelumnya.' Dan meskipun jalan tersebut telah 
hancur, tidak lagi dapat dilalui dan hilang dari pandangan - tetapi Sang 
Tathagata, setelah memperoleh pengetahuan yang mendalam, melihat dengan mata 
kebijaksanaanNya bahwa itulah jalan yang juga digunakan oleh para Buddha 
sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha berkata, 'Sekarang, Aku 
telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para 
Buddha sebelumnya.' Sama seperti jika ada orang yang telah membuka rimba dan 
membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya meskipun ia tidak 
membuat tanah itu." 
45. Kelemahan Sang Bodhisatta 
Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Dalam kelahiran-kelahiranKu 
sebelumnnya ketika Aku terlahir sebagai manusia, Aku telah memiliki
kebiasaan tidak menyakiti makhluk hidup' (D. iii. 166). Tetapi ketika Beliau 
menjadi seorang pertapa yang bernama Lomasa Kassapa, Beliau menyuruh 
membunuh ratusan ternak untuk dipersembahkan sebagai korban.(Ja. iii. 30 ff, 
514 ff : Dalam cerita Jataka, Kassapa memerintahkan membawa banyak binatang 
untuk dibantai namun ketika semua binatang itu telah diikat pada tiang, ia 
sadar dan kemudian 
membebaskannya semua) Mengapa waktu itu Beliau tidak penuh welas asih?" 
"Persembahan itu, O Baginda raja, dilakukan ketika Lomasa Kassapa kehilangan 
ingatannya karena tergila-gila pada Putri Candavati; pada waktu itu dia 
tidak sadar pada apa yang diperbuatnya. Seperti halnya orang gila, yang 
kehilangan akal sehatnya, akan menapak di api, atau menangkap ular berbisa, 
atau berlari-lari telanjang bulat di jalanan. Begitulah, persis ketika Sang 
Boddhisatta sedang hilang ingatan maka 
Beliau melakukan persembahan korban itu. Nah, suatu kejahatan yang dilakukan 
orang gila tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran yang serius, begitu juga 
mengenai buah yang dihasilkan dalam kehidupannya yang akan datang. Misalkan 
saja, O Baginda, seseorang yang gila bersalah karena melakukan pelanggaran 
besar, hukuman apakah yang akan Baginda jatuhkan padanya?" 
"Hukuman apa yang patut bagi orang gila? Kami akan memerintahkan agar dia 
dipukuli dan kemudian membebaskannya, itu saja." 
"Demikian jugalah, O Baginda, sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh orang 
gila dapat dimaafkan (Vin. iii. 32, tidak ada pelanggaran bila pelakunya 
gila). Demikian juga dengan kasus Lomasa Kassapa. Setelah sadar kembali, dia 
meninggalkan kehidupan duniawi untuk kemudian terlahir di 
alam Brahma." 
46. Rasa Hormat pada Jubah 
"Bahkan ketika Sang Boddhisatta terlahir sebagai seekor gajah, Beliau 
mempunyai rasa hormat pada jubah kuning. (Ja..v. 49) Tetapi Bhante juga 
mengatakan, bahwa ketika Beliau terlahir sebagai seorang Brahmana muda yang 
bernama Jotipala; meskipun terlahir sebagai manusia dengan tanda-tanda 
khusus, Ia mencerca dan mencaci maki Buddha Kassapa, 
menyebutnya bhikkhu gundul yang tidak berguna.(M. ii. 47, Sta. 81) 
Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar adanya?" 
"O Baginda raja, kekasaran Sang Boddhisatta ketika menjadi Brahmana muda 
Jotipala itu disebabkan oleh karena kelahiran dan cara dia dibesarkan. Semua 
keluarganya adalah orang yang tak percaya, yang memuja Brahma. Dan mereka 
berpikir bahwa kaum Brahmana adalah manusia tingkat tertinggi. Seperti 
halnya, O Baginda, air yang sangat dinginpun akan menjadi hangat bila kena 
api, demikian juga Jotipala. Meskipun penuh 
dengan nilai-nilai luhur, tetapi karena dilahirkan dalam keluarga yang tidak 
percaya, ia menjadi seakan-akan buta dan mencerca Sang Tathagata. Walaupun 
demikian, ketika pergi menghadap Sang Buddha Kassapa, Jotipala menyadari 
nilai-nilai luhurnya dan menjadi muridnya yang setia." 
47. Kebajikan Si Pembuat Barang Tembikar 
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Selama tiga bulan penuh, tempat tinggal 
Ghatikara si pembuat barang tembikar tetap berada di alam terbuka, tetapi 
air hujan tidak akan turun di situ'(M. ii. 53). Tetapi dikatakan bahwa air 
hujan membasahi pondok Buddha Kassapa (M. ii. 54). 
Mengapa pondok Sang Buddha basah? Jika hujan turun di pondok Buddha Kassapa 
yang mempunyai banyak kebajikan, maka pastilah bohong jika dikatakan bahwa 
hujan tidak turun di pondok Ghatikara karena perbuatan baiknya." . 
"O Baginda, Ghatikara adalah orang baik yang penuh dengan 
nilai-nilai luhur dan kaya akan kebajikan. Dia merawat orangtuanya yang buta 
dengan segala kerendahan hati. Ketika Gathikara sedang pergi, karena yakin 
akan kemurahan Gathikara, beberapa bhikkhu mengambil sejumlah lalang dari 
atap rumahnya untuk memperbaiki pondok Buddha Kassapa. Waktu Gathikara 
kembali, dia tidak marah maupun kecewa. Dia 
bahkan merasa sangat gembira karena telah melakukan kebajikan yang besar 
dengan memberi sesuatu pada Sang Tathagata. Dia berpikir dengan amat 
gembira, 'Sang Tathagata menaruh kepercayaan yang besar kepadaku.' 
Begitu besar kebajikannya sehingga buahnya langsung dapat dipetik dalam 
kehidupannya waktu itu. Sebaliknya, Sang Tathagata tidak kekurangan 
kebajikan karena hujan membasahi pondok Beliau. Sang Tathagata telah 
mempertimbangkan, 'Biarlah orang-orang tidak mencari-cari kesalahan 
dengan mengatakan bahwa para Buddha menjalani kehidupan dengan menggunakan 
kekuatan kesaktiannya.' Maka dari itu hujan turun di pondok Beliau, sama 
seperti di tempat-tempat lain, kecuali pondok Gathikara." 
48. Raja atau Brahmana? 
"Sang Buddha bersabda, 'Aku, O para bhikkhu, adalah seorang 
Brahmana, tempat orang meminta tolong' (Iti. 101). Tetapi pada kesempatan 
lain Beliau bersabda, 'Sela, Aku adalah seorang raja' (Sn.v. 554). 
Nagasena jika Beliau adalah seorang raja, maka Beliau pasti berbohong ketika 
mengatakan bahwa diriNya adalah seorang Brahmana. Beliau pastilah seorang 
Khattiya (prajurit), atau seorang Brahmana. Tidak mungkin Beliau termasuk 
dalam dua golongan kasta." 
"Bukan karena kelahiranNya maka Beliau menyebut diriNya sebagai Brahmana, 
melainkan karena Beliau sudah bebas dari kegelapan batin, dan telah mencapai 
kepastian pengetahuan. Juga karena Beliaulah yang menjaga tradisi kuno dalam 
hal mengajar dan belajar luar kepala, dalam hal kontrol diri, dan dalam hal 
disiplin (Baca Dhp. Brahmanavagga). Dan seperti halnya seorang raja mengatur 
rakyatnya dengan hukum, Sang Buddha mengatur para muridNya dengan 
mengajarkan Dhamma, membawa sukacita bagi mereka yang hidup dengan benar, 
serta mencela mereka yang melanggar hukum yang mulia itu. Dan seperti halnya 
seorang raja yang memerintah dengan adil akan bertahan lama, demikian juga 
Sang Buddha dengan sifat-sifat kebenaranNya yang khusus membuat agamaNya 
bertahan lama.". 
49. Cara Hidup yang Benar 
"Bhante mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menerima persembahan makanan yang 
diberikan karena membacakan paritta (S.i. 167, Sn.v. 81). Tetapi ketika 
mengajar umat awam, Beliau pertama-tama biasanya berbicara tentang manfaat 
yang didapat dari berdana dan menerima persembahan yang diberikan (D.i. Sta. 
5). Jika yang pertama benar, mengapa Beliau menerima persembahan yang 
diperoleh karena membabarkan ajaran?" 
"Adalah kebiasaan Sang Tathagata untuk terlebih dahulu membabarkan tentang 
manfaat berdana, dengan tujuan untuk melembutkan hati orang-orang, sebelum 
mulai membabarkan tentang moralitas;(Sila) dan hal-hal yang lebih tinggi. 
Tetapi bukan karena itu lalu para bhikkhu bisa dituduh memberi isyarat 
menginginkan persembahan. Ada isyarat yang 
tidak layak, dan ada isyarat yang tidak salah. Dalam hal ini jika seorang
bhikkhu yang melakukan pindapatta berdiri di tempat yang tidak tepat atau 
memberi isyarat, itu merupakan isyarat yang salah (Vism. 28). 
Tetapi jika seorang bhikkhu berdiri di tempat yang layak dimana ada 
orang-orang yang ingin memberi dan dia berjalan terus ketika mereka tidak 
memberinya, ini tidak salah dan bukan berarti pengisyaratan. Makanan dari si 
pembajak tanah itu dipersembahkan sebagai usaha membuktikan kesalahan 
paritta yang diucapkan, dan karena itulah maka Sang Tathagata menolaknya. 
50. Keengganan Sang Buddha 
"Bhante mengatakan bahwa selama empat Asankheya kalpa dan 100.000 siklus 
dunia (kalpa) ini Sang Boddhisatta telah melatih keSempurnaan agar mencapai 
kemahatahuan. Akan tetapi ketika telah mencapai tahap mahatahu itu 
pikiranNya berubah tidak ingin mengajarkan Dhamma (Vin.i. 5; S.i. 136). 
Bagaikan seorang pemanah yang telah berlatih berhari-hari mungkin ragu-ragu 
ketika hari peperangan tiba, demikian juga Sang Buddha ragu-ragu untuk 
mengajarkan Dhamma. Apakah hal itu disebabkan oleh rasa takut, atau 
kurangnya kejernihan, atau kelemahan, atau karena Beliau tidak mahatahu 
sehingga keraguan itu timbul?" 
"Tidak, raja yang agung, hal itu bukan disebabkan oleh alasan-alasan 
tersebut. Karena sifat Dhamma yang mendalam, dan karena begitu kuatnya 
kemelekatan serta kegelapan batin para makhluklah maka Sang Buddha menjadi 
ragu-ragu dan mempertimbangkan kepada siapa Beliau harus mengajarkan Dhamma, 
serta bagaimana caranya agar mereka dapat mengerti. 
Seperti halnya, O Baginda, ketika seorang raja mengingat-ingat betapa 
banyaknya orang yang kehidupannya tergantung padanya - para pengawal, 
anggota istana, pedagang, prajurit, pesuruh, menteri dan para bangsawan - 
sang raja mungkin gelisah dan berpikir, 'Bagaimana saya dapat mendamaikan 
mereka semua?' Demikian juga, ketika Sang Tathagata 
mengingat bagaimana kuatnya kemelekatan dan kegelapan batin para makhluk, 
maka Beliau cenderung untuk tidak bertindak dari pada membabarkan ajaranNya. 
Dan juga memang sudah menjadi aturan alami bahwa Sang Buddha harus 
membabarkan Dhamma atas permohonan Brahma, karena pada saat itu semua 
orang adalah pemuja Brahma dan sangat bergantung pada Brahma. Maka dari itu, 
jika dewa yang begitu tinggi dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan 
Dhamma, maka seluruh alam dewa dan manusia cenderung akan begitu juga. 
Karena alasan itu jugalah maka sebelum membabarkan Dhamma, Sang Buddha 
menunggu agar diminta" 
51. Guru-guru Sang Buddha 
"Sang Buddha bersabda, 'Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada yang seperti 
Aku. Di dunia ini, dengan dewa-dewanya, tidak ada yang sama seperti Aku' 
(Vin.i. 8;M.i. 171). Tetapi Beliau juga berkata, 'Dengan cara inilah, O para 
bhikkhu, Alara si Kalama yang menjadi guruKu, menempatkan Aku, muridnya, 
pada tingkat yang sama seperti dirinya dan menghormati Aku dengan kehormatan 
tertinggi'(M.i. 165). Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua," 
"O Baginda, ketika Sang Buddha berbicara mengenai Alara si Kalama sebagai 
gurunya, Beliau mengacu pada saat Beliau masih menjadi Boddhisatta dan belum 
mencapai ke-Buddha-an. Alara si Kalama semata-mata hanyalah guru untuk 
kebijaksanaan duniawi. Adalah mengenai masalah-masalah yang luar biasa 
tingginya, seperti pengetahuan tentang Empat Kesunyatan Mulia dan 
Nibbana-lah maka Sang Buddha bersabda, 'Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada 
yang seperti Aku. Di dunia ini, dengan 
dewa-dewanya, tidak ada yang sama seperti Aku' ." 
BAGIAN TIGA BELAS 
52. Dua Buddha Tidak Dapat Muncul Bersama 
"Sang Buddha bersabda, 'Dalam dunia ini, tidak mungkin dua Buddha yang telah 
mencapai Penerangan Sempurna ada bersamaan.'(M. iii. 65; A. i. 27; Vbh. 336) 
Tetapi, Yang Mulia Nagasena, jika semua Tathagata mengajarkan ajaran yang 
sama mengapa mereka tidak boleh ada bersama? 
Jika ada dua Buddha, mereka akan dapat mengajar lebih santai dan dunia ini 
akan lebih mendapat penerangan." 
"O Baginda, seandainya ada dua Buddha muncul sekaligus, bumi ini tidak akan 
mampu menahan beban kebajikan mereka berdua. Bumi akan bergetar, bergoncang 
dan hancur. Misalnya, O Baginda, ada orang yang telah makan begitu banyak 
sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa di perutnya. Jika ia harus makan 
sebanyak itu lagi apakah ia akan merasa nyaman? 
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Jika ia makan lagi ia akan mati." 
"Demikian juga halnya, O Baginda raja, bumi ini tidak akan dapat tahan kalau 
terdapat satu Tathagata lagi. Sama halnya seperti orang yang tidak akan 
dapat tahan kalau harus makan lagi. Dan jika ada dua Buddha, maka akan 
timbul persengketaan di antara para pengikutnya. Lagipula, pernyataan bahwa 
Sang Buddha adalah yang utama dan tidak ada bandingannya akan menjadi salah." 
"Dengan baik sekali dilema ini telah dijelaskan. Bahkan orang yang tidak 
pandaipun akan merasa puas, apalagi orang yang bijaksana. Bagus sekali, Yang 
Mulia Nagasena, aku menerimanya seperti yang telah Bhante katakan." 
53. Persembahan bagi Sangha 
"Ketika Mahapajapati Gotami mempersembahkan jubah mandi bagi Sang Buddha, 
Beliau bersabda padanya, 'Berikanlah pada Sangha, Gotami. Jika kau berikan 
pada Sangha, Aku akan merasa dihormati. Demikian juga Sangha.' Apakah itu 
karena Sangha lebih penting dari pada Sang Buddha?" 
"O Baginda, bukan berarti bahwa persembahan bagi Sang Buddha tidak akan 
memberikan manfaat yang besar. Itu dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran 
Sangha sehingga pada waktunya nanti Sangha akan dijunjung tinggi. Seperti 
halnya, Baginda tuan, seorang ayah memuji anaknya di pengadilan kerajaan 
dengan pikiran, 'Jikalau ia mendapat nama baik di sini sekarang, maka dia 
akan dihormati juga setelah aku tiada.' Atau misalkan, O Baginda, seseorang 
mempersembahkan suatu hadiah pada raja, dan kemudian raja memberikan hadiah 
itu kepada orang lain - prajurit atau pesuruh. Apakah orang itu lalu menjadi 
lebih tinggi dibandingkan raja?" 
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Orang itu menerima gajinya dari sang raja, 
dan  rajalah yang menempatkannya pada kedudukan itu." 
"Demikian juga, O Baginda, Sangha tidak menjadi lebih tinggi 
dibandingkan Sang Tathagata hanya karena suatu persembahan. Dan tidak ada, 0 
raja, makhluk apapun yang lebih pantas menerima persembahan dari pada Sang 
Tathagata (M. iii. 253). Hal ini telah disabdakan oleh Sang Buddha sendiri: 
      'Ada satu maldaluk; O, para bhikkhu, yang dilahirkan di dunia 
ini demi kebaikan dan manfaat banyak pihak, 
      karena rasa welas asihnya pada dunia, serta 
      demi kebaikan dan manfaat para dewa dan manusia. 
      Dan siapakah makhluk itu? 
      Seorang Tathagata, seorang Arahat, Buddha Yang Utama."' 
(A. i. 20) 
54. Manfaat Hidup sebagai Pertapa 
"Sang Buddha bersabda, 'Aku akan memuji umat awam ataupun bhikkhu yang telah 
berlatih dengan benar dan mendapatkan cara yang benar' (M. ii. 197; A. i. 
69). Jika seorang umat awam, yang menikmati kenikmatan indria, hidup dengan 
istri serta anak-anaknya, menggunakan wewangian serta menerima emas dan 
perak, dapat mencapai tingkat Arahat, lalu apa gunanya menjadi seorang 
bhikkhu dengan kepala tercukur, makan tergantung pada pemberian umat, 
memenuhi 150 aturan dan menjalani tigabelas latihan pertapa? Bhikkhu menahan 
diri tidak ada hasilnya, bhikkhu meninggalkan keduniawian tidak ada gunanya, 
bhikkhu memperhatikan peraturan itu sia-sia belaka, dan bhikkhu mengucapkan 
tekad lainnyapun tidak ada 
artinya. Apa gunanya menyusahkan diri sendiri dengan kesulitan, jika dengan 
kenyamananpun kebahagiaan itu dapat dicapai?" 
"Memang benar adanya jika dikatakan bahwa orang yang berlatih dengan benar 
adalah orang yang terbaik, tak peduli apakah dia itu seorang bhikkhu ataupun 
umat awam. Jika seorang pertapa yang berpikir Aku adalah seorang pertapa 
tidak berlatih dengan benar, maka ia jauh dari kehidupan pertapa. Apalagi 
perumah tangga yang mengenakan pakaian umat awam! 
Tetapi walaupun demikian, keuntungan yang didapat sebagai seorang pertapa 
itu terlalu banyak untuk bisa diukur. Karena hanya mempunyai sedikit 
keinginan, maka ia mudah puas. Ia menjauhkan diri dari masyarakat. Dengan 
bersungguh hati, tidak berumahtangga, ia menjalani peraturan, ia teguh dan 
trampil dalam latihan menyingkirkan kekotoran batin. Karena itulah ia dapat 
dengan cepat menyelesaikan tugas yang 
dijalaninya. Seperti halnya, O Baginda, tombak Baginda, karena halus dan 
lurus ia dapat dengan cepat mencapai sasaran." 
55. Praktek Penahanan Diri 
"Ketika Sang Bodhisatta sedang mempraktekkan penahanan diri dengan begitu 
kerasnya, Beliau tidak dapat mencapai tujuannya. Maka kemudian Beliau 
meninggalkan praktek tersebut dan berpikir, 'Tak mungkinkah ada jalan lain 
menuju kebebasan?' (M. i. 246). Tetapi ketika menyuruh para 
muridnya, Beliau bersabda: 
     Ambillah tindakan, tinggalkan kehidupan duniawi, 
     Paksakanlah diri kalian dalam ajaranKu, 
     Dan hancurkanlah pasukan kematian 
     Bagaikan gajah menghancurkan rumah buluh'." 
(S. i. 156, Kvu. 203, Thag. 256) 
"Mengapa Sang Tathagata menyuruh para muridnya mengikuti latihan yang oleh 
Beliau sendiri telah ditinggalkan?" 
"Karena pada saat itu, O Baginda, dan masih sampai saat ini juga, hanya 
itulah satu-satunya jalan. Dan lewat jalan itulah Sang Bodhisatta mencapai 
ke-Buddha-an. Sang Bodhisatta, yang memaksakan dirinya dengan amat sangat, 
mengurangi makanan yang dimakannya sampai kemudian tidak makan sama sekali. 
Karena kurang makan, Beliau lalu menjadi lemah. Akan 
tetapi ketika Beliau kemudian mulai makan makanan padat, lewat pemaksaan 
diri jugalah Beliau mencapai ke-Buddha-an. Tidak ada yang salah dalam 
pemaksaan diri itu. Hanya karena kurang makananlah maka pemaksaan diri itu 
tidak membawa hasil. Ibarat orang yang karena sangat terburu-buru 
kemudian menjadi sangat lelah, lalu jatuh dan tidak dapat meneruskan lagi, 
bukanlah kesalahan bumi ini maka ia terjatuh. Kesalahannya terletak pada 
pemaksaan dirinya yang keterlaluan. Seperti halnya, O Baginda, bila ada 
orang yang memakai jubah tetapi tidak pemah mencucinya, kesalahannya tidak 
terletak pada airnya, melainkan pada orang itu. Itulah sebabnya Sang 
Tathagata mendorong dan memimpin para muridnya di sepanjang Jalan itu. 
Karena Jalan itu selalu siap, dan selalu benar." 
56. Kembali pada Kehidupan Awam 
"Apakah benar memperbolehkan umat awam masuk ke dalam Sangha sebelum mereka 
mencapai Sotappana Magga? Jika orang seperti itu lalu meninggalkan kehidupan 
kebhikkhuan, orang-orang mungkin akan berpikir bahwa agama tidak memberikan 
manfaat.' 
"Jika, O Baginda, ada kolam yang airnya sangat bersih dan ada orang yang 
ingin mandi pergi ke sana, tetapi kemudian dia berbalik pergi lagi tanpa 
mandi, apakah orang-orang akan menyalahkan orang itu tadi atau kolamnya?" 
"Mereka akan menyalahkan orang itu." 
"Demikian juga, O Baginda, Sang Tathagata telah membangun kolam yang penuh 
dengan ajaran Dhamma yang murni. Sang Buddha bcrpikir, 'Mereka yang 
mempunyai kekotoran batin tetapi pandai dapat menghilangkan kekotoran mereka 
di sini.' Tetapi jika ada orang yang kembali ke kehidupan awam tanpa 
membersihkan kekotoran batinnya, maka yang bersalah 
adalah orang itu. Tidak ada alasan untuk mencari kesalahan dalam Ajaran. 
Sebaliknya, mereka yang kembali pada kehidupan berumahtangga menunjukkan 5 
sifat khusus Ajaran Sang Penakluk. Mereka menunjukkan: 
1. betapa mulianya Ajaran itu, 
2. betapa murninya Ajaran itu, 
3. betapa Ajaran itu terbebas dari segala kejahatan, 
4. betapa sulitnya untuk menembus Dhamma, dan 
5. betapa banyaknya kontrol diri dalam kehidupan suci. 
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemuliaan kehidupan suci itu? Sama halnya, 
O Baginda, bila ada orang yang dilahirkan di kasta rendah, miskin dan tidak 
pandai. Jika ia mendapat kekayaan kerajaan yang agung, tidak lama kemudian 
ia akan terguling dan terlepas dari kemuliaan. Demikian juga orang yang 
tidak mempunyai kebijaksanaan dan hanya mempunyai sedikit kebajikan. Bila ia 
meninggalkan kehidupan duniawi, ia 
tidak akan mampu melaksanakan Ajaran Sang Penakluk dan akan kembali ke 
tingkat yang lebih rendah. 
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemurniannya? Seperti halnya, O Baginda, 
bila air jatuh pada bunga teratai, air itu akan bergulir dan tidak melekat 
pada teratai itu. Demikian juga mereka yang bersifat tidak murni, yang 
melekat pada pandangan salah. Ketika mereka masuk ke dalam agama Sang 
Penakluk, tidak lama kemudian mereka akan terlepas dari agama 
yang murni tanpa kesalahan itu, karena mereka tidak dapat melekat padanya. 
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kebebasannya dari segala tindakan jahat? 
Seperti samudera yang tidak mau menerima mayat dan dengan cepat 
menggulungnya ke pantai dan melemparnya ke tanah kering; demikian juga, O 
Raja, mereka yang berpikiran jahat dan malas tidak akan dapat bertahan 
di dalam Sangha dan berhubungan dengan para Arahat yang bebas dari noda. 
"Dan bagaimana mereka menunjukkan sulitnya menembus Dhamma? Seperti halnya, 
0 Baginda, seorang pemanah yang ceroboh dan tidak trampil tidak dapat 
mempertunjukkan keahliannya seperti misalnya membelah rambut, atau mungkin 
malahan meleset dari sasarannya; demikian juga mereka yang dungu dan bodoh, 
yang meninggalkan kehidupan duniawi tidak dapat memahami Empat Kesunyatan 
Mulia Sang Penakluk yang sangat halus. Karena tidak dapat memahaminya, 
mereka kembali ke tingkat yang lebih rendah." 
"Dan bagaimana mereka menunjukkan berbagai macam kontrol dalam kehidupan 
suci? Seperti halnya, O Baginda, seorang pengecut yang pergi ke medan 
perang. Ketika dikepung oleh musuhnya dari segala penjuru ia akan berbalik 
dan lari terbirit-birit, takut kehilangan kehidupannya; demikian juga 
siapapun yang tidak terkontrol, tidak tahu malu, tidak 
sabar dan plin-plan. Ketika meninggalkan kehidupan duniawi mereka tidak akan 
mampu melaksanakan berbagai macam peraturan dan akan kcmbali ke tingkat yang 
lebih rendah." 
57. Penguasaan Para Arahat 
"Bhante mengatakan bahwa para Arahat hanya mempunyai satu jenis perasaan 
yaitu perasaan fisik, bukan perasaan mental. Tetapi bagaimana hal ini bisa 
terjadi? Arahat tetap hidup dengan menggunakan tubuhnya. Apakah itu berarti 
bahwa ia tidak lagi punya kuasa atas tubuhnya? Bahkan burungpun merupakan 
penguasa sarang yang dipakainya sebagai tempat 
tinggal." 
"O Baginda, ada sepuluh kondisi dalam tubuh yang berada di luar kontrol 
Arahat: rasa dingin, rasa panas, rasa lapar, rasa haus, pembuangan kotoran, 
kencing, lelah, usia tua, sakit dan mati. Seperti halnya semua mahluk yang 
hidup di dunia ini tergantung pada dunia ini tetapi tidak mempunyai kuasa 
atasnya, demikian juga Arahat tergantung pada tubuhnya tetapi tidak 
mempunyai kontrol atasnya." 
"Mengapa, Yang Mulia Nagasena, orang biasa merasakan perasaan tubuh dan juga 
perasaan mental?" 
"Karena keadaan pikirannya yang tidak terlatih. Seperti halnya seekor sapi 
lapar yang diikat dengan tali rumput yang rapuh akan dengan mudahnya memutus 
tali itu dan lepas, demikian juga perasaan orang biasa menjadi resah karena 
rasa sakit, sehingga ia merasakan rasa sakit mental juga. Tetapi pikiran 
seorang Arahat telah terlatih dengan baik. Sehingga 
ketika tubuhnya terserang rasa sakit, dengan teguh ia memusatkan pikirannya 
pada pengertian ke-tidakkekalan. Pikirannya tidak terganggu dan ia tidak 
merasakan sakit mental. Sama seperti batang pohon yang kuat tidak tergerak 
oleh angin meskipun mungkin cabang-cabangnya akan berayun." 
58. Kejahatan Berat 
"Jika seorang awam telah melakukan kejahatan berat (Garuka Kamma) sebelum ia 
memasuki Sangha tetapi tidak menyadarinya, apakah ia akan dapat mencapai 
tingkat sotappana?" 
"Tidak, tidak dapat. Ini disebabkan karena dasar untuk pemahaman Dhamma 
dalam dirinya telah dihancurkan ." 
"Tetapi Bhante mengatakan bahwa bila orang menyadari dirinya telah melakukan 
pelanggaran, akan datang penyesalan yang menyebabkan adanya suatu penghalang 
dalam pikirannya. Akibatnya, ia tidak akan dapat memahami kesunyataan 
(A.iii. 165). Tetapi bila orang tidak menyadari bahwa dirinya telah 
melakukan pelanggaran, tidak akan ada penyesalan, dan ia akan tetap 
merasakan kedamaian dalam pikirannya." 
"Jika, O Baginda, ada orang yang telah minum racun tetapi ia tidak 
menyadarinya, apakah ia masih tetap akan mati?" 
"Ya, Yang Mulia." 
"Demikian juga, O Baginda, meskipun seseorang tidak sadar akan 
pelanggarannya, ia tetap tidak akan dapat memahami kesunyataan." 
"Yang Mulia Nagasena, itu pastilah kata-kata dari Sang Penakluk. 
Mencari-cari kesalahan dalam kata-kata itu akan sia-sia belaka. Kebenaran 
itu pasti seperti yang Bhante katakan dan aku menerimanya." 

Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads