Khusus

Sebuah Pengantar Tirakatan Budaya di Surakarta
Menutup Abad Gelap

Catatan Herry Dim

 

Pengantar

Di sebuah warung kecil di pinggir Wisma Seni Taman Budaya Surakarta, 2 Desember 2000, terjadi bincang-bincang warung kopi seusai buka puasa. Yang duduk bersama di sana adalah penulis catatan ini, Pak De No (demikian kami memanggil salah seorang sesepuh kota Solo ini), Mas Mugi yang penari, Mas Dede yang komposer, Ken Zuraida yang pemikir, Ine Arini yang penari, Weye Haryanto yang perupa, dan Rendra yang siapapun tentu sudah tahu.
Meski dalam buka puasa, itu kami makan masakan tengkleng yang alhamdulillah begitu enak dan nikmat, tapi tak lepas-lepas juga dari perihnya hati menyaksikan berbagai hal yang terjadi di pertiwi ini.
Atas keprihatinan itu pula, ada semacam keinginan untuk bisa keluar dari "kegelapan" yang menyesakan ini. Maka dicetuskanlah untuk membuat Tirakatan Menutup Abad Gelap.
Oh, jauh sekali dari niat muluk, arogan, ataupun bertuah "sakti" bahwa tirakatan ini bisa "sim salabim" merubah segala-galanya. Tidak. Niat ini sekadar membuat tempat untuk saling bertutur-sapa dengan sejuk, saling melepas jubah-jubah kepongahan, dan tak menjadi apa-apa kecuali menjadi manusia.
Maka esoknya, 3 Desember 2000, bertemulah kami dengan jumlah kerabat yang lebih besar. Setidaknya, kini dihadiri pula oleh ketua TBS, Mas Murtijono. Pembicaraan hingga tibanya waktu makan sahur, itu sepakat kepada gagasan sederhana di atas. Bahkan kebersahajaannya itu pula yang hendaknya menjadi "api semangat" penyelenggaraannya nanti.
Selebihnya, kegiatan ini akan dijadikan kegiatan sepenuhnya swadaya siapapun yang "terpanggil" untuk ikut serta. Artinya tanpa subsidi dari pihak manapun dan tanpa sponsor atas kepentingan siapapun.
Mengambil tempat di pelataran lahan kosong di belakang pendopo TBS, Tirakatan Menutup Abad Gelap diharapkan bisa melibatkan berbagai kalangan seni (rupa, tari, musik, karawitan, pedalangan, sastra, teater), rohaniawan/agamawan, cendekiawan, dan masyarakat umum.
Dilaksanakan pada 31 Desember 2000, mulai pukul 20.00 s/d pukul 01.00 tanggal 1 Januari 2001. Pun pada dasarnya tanpa panitia formal kecuali titik-titik koordinasi antara lain TBS (Murtijono, Arifin, dan Staf), Herry Dim (hdim@melsa.net.id), Pak De No, Weye Haryanto, Leak (leak@solonet.co.id), Rendra dan Ken Zuraida.
Berikut adalah "selintang-pukang" catatan "yang tidak bisa sepenuhnya" melatari gagasan Tirakatan Menutup Abad Gelap tersebut. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

hd

 

1

Catatan ini bermaksud untuk secara sungguh-sungguh mencoba mentafakuri atau syukur jika bisa memaknai arti perpindahan waktu: dari abad ke-20 yang baru saja kita lalui ke abad baru, abad ke-21, yang mulai pukul 00.01 pada 1 Januari 2001 ini kita masuki.
Untuk itu, catatan ini terlebih dahulu harus menyingkirkan pandangan skeptis yang menyatakan bahwa perpindahan waktu adalah hal alamiah yang terjadi seperti biasanya. Dari pandangan skeptis, tentu saja segala sesuatu yang terjadi di semesta ini adalah hal alamiah yang telah dan akan berjalan dengan sendirinya. Matahari terbit dari timur, air mengalir dari hulu ke hilir, rumput dan tanaman lainnya tumbuh dan mati, dst., adalah hal alamiah yang berjalan dengan sendirinya. Tapi pada kenyataannya tidaklah bergaris lurus sepertri itu. Ada sejumlah persoalan, misalnya, di balik menipis dan bolong-bolongnya lapisan ozon, sehingga matahari yang semula terbaca sebagai berkah bagi kehidupan bisa bergeser menjadi enerji dahsyat bagi penderitaan umat manusia di bumi. Pun air yang mengalir dari hulu tak sertamerta bergaris lurus dan langsung berakhir di sebuah muara; di tengah perjalanannya adalah kemungkinan memberikan kehidupan serta kemungkinan bencana bah yang menyengsarakan. Di antara bermanfaatnya matahari atau bocornya lapisan ozon serta betapa nikmatnya berkah air atau malah menjadi bah; ternyata ada sebuah ruang yang disebut peradaban serta kebudayaan manusia dalampada memperlakukan realitas alam tersebut.
Waktu, dalam pengertiannya sebagai deretan masa yang terukur dalam batas kemampuan manusia, maka pada gilirannya tidak lagi menjadi sesuatu yang berjalan dengan sendirinya, melainkan rangkaian masa yang berjalan bersama peradaban dan kebudayaan manusia. Dalam proses berjalanan-bersama itu pula maka waktu menjadi termaknai, sekaligus tidak lagi menjadi subjek yang berdiri sendiri melainkan berangkai dengan sejumlah subjek-subjek lainnya yang satu sama lain saling memberi makna.
Pucuk piramida Giza berdasarkan penemuan mutahir, misalnya, diperkirakan terarah dalam garis lurus dengan kedudukan bintang Mizar di rasi Ursa Major atau bintang Kochab di rasi Ursa Minor. Teori yang dikemukakan oleh seorang ahli Egyptologi, Kate Spence, lewat Journal of Nature, ini mengemukakan bila satu dari dua bintang itu muncul lurus di atas bintang lainnya, maka sebuah garis lurus bisa ditarik sebagai panduan arah utara-selatan. Persoalan di balik itu, bukan hanya mengacu kepada angka tahun 2476 SM sebagai waktu kemunculan bintang-bintang tersebut atau sekadar penunjuk arah utara-selatan; tapi di belakang itu adalah acuan kepercayaan yang dianut (arah utara-selatan menjadi hal penting dalam struktur kebudayaan Mesir Kuno), berangkai dengan kepercayaan adalah modus pemerintahan yang diberlangsungkan, selanjutnya adalah model perekonomian, perkembangan teknologi dan peradaban, serta penjumlahannya adalah sebuah kebudayaan manusia pada suatu kurun waktu tertentu itu. Itu sekadar contoh bahwa waktu tidaklah sekadar atau senilai sesuatu yang berjalan dengan sendirinya. Hanya dalam dimensi waktu pula maka kita membaca metamorfosa kehidupan semisal awalnya adalah Sidharta Gautama yang hidup bergelimpang kemewahan, kemudian memilih jalan hidup di tengah kegetiran manusia kebanyakan, mengambil satu titi-mangsa di bawah pohon bodhi (sebut saja menentukan titik nol), kemudian mengalami pencerahan dan menjadi sang Budha. Kesaksian atas pentingnya dimensi waktu ditunjukan dengan turunnya ayat Sang Waktu dalam agama Islam, sementara pola ibadat vertikalnya pun sepenuhnya berjalan-bersama sang waktu. Puncak pencapaian Zen pada Budhisme Zen adalah di titik "ning" yang terbebas dari waktu; adalah sebuah peniscayaan terhadap waktu sekaligus pengakuan absolut terhadap kehadiran waktu. Disaksikan oleh waktu pula 10 firman diturunkan kepada Musa dan ummatnya, di bukit Golgota Sang Jesus dari kepercayaan Kristiani menancapkan paku dan balok bersilang dalam grotesque yang agung demi terbangunnya kasih antar-manusia. "Segera," kata Crito saat-saat terakhir menunggui karibnya, Socrates, meminum racun dari cawan, "matahari tetaplah terbit di atas bukit.... Ia tetaplah sang waktu." Atau Galileo perlu mengurbankan jiwanya untuk merevisi teori Aristoteles tentang ruang dan waktu, atas dasar hitungan waktu berdasar eksperimen Gelileo pula maka Newton mengembangkan teori hukum gravitasi, hingga belakangan Stephen Hawking memasuki wilayah hitungan waktu yang demikian rumit bagi awam.
Jelaslah kiranya, bahwa di dalam peradaban manusia, sang waktu menjadi daerah yang termaknai, dan manusia dengan peradabannya itulah yang memberikan makna ke dalamnya. Dalam pada itu, munculah sebuah pertanyaan: pemaknaan apa yang telah kita berikan ke dalam sepanjang abad ke-20 itu?

2

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat dahulu apa yang dimaksud dengan peradaban dan kebudayaan itu. Seperti terlintas di atas, dalam hubungannya dengan sang waktu dan kesemestaan, peradaban dan kebudayaan tidak lagi terbaca sebagai hal apa adanya dan/atau berjalan dengan sendirinya. Selintas dan sekadar untuk mengingatkan saja: di dalam kehadiran (existential present)nya, hanya manusialah yang berkemungkinan membangun peradaban dan kebudayaan. Tidak terjadi pada existentialpresent-nya sebongkah atau sebutir batu, tidak juga pada sekoloni ayam atau kambing, serta tidak juga terjadi pada ragam species tumbuhan. Hanya pada manusia! Jika itu hanya terjadi pada manusia, maka pertanyaan lanjutannya: apa yang membedakan manusia dengan existentialpresent-nya yang non-human itu?
Akal budi!
Sebuah peradaban dan kebudayaan, pada akhirnya, dihadapkan pada persoalan: sejauh mana kehidupannya yang diberlangsungkan itu menghormati akal budi?
Maka, secara ringkas, akan tampaklah bahwa kita sepanjang abad yang lalu itu berada pada situasi kegelapan akal budi. Di dalam rentang waktu 1901 - 1945, siapapun telah mafhum bahwa kita masih berada di dalam situasi kolonialisme. Siapapun mengetahui pula bahwa hal yang mendasar di dalam praktek kolonialisme adalah praktek penistaan kemanusiaan, hak paling azas dalam konteks kesetaraan, hilang oleh adanya pola yang menindas dan yang tertindas. Dalam hierarki kemanusiaan seperti itu, puncak tertingginya adalah penistaan akal budi. Oleh karena itu pula, bangsa di manapun senantiasa mengatakan bahwa masa kolonial itu adalah masa gelap. Suatu masa dimana suatu bangsa ataupun dalam rincian orang per orangnya tak dapat menentukan nasibnya sendiri berdasar akal budinya sendiri.
Rasanya bukanlah tugas catatan ini untuk mengurai rentang sejarah, namun sekadar untuk mengingatkan saja bahwa sepanjang pasca-penjajahan hingga dua pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, kita ketahui belumlah sampai pada kenyataan pemuliaan akal budi. Bahkan sebaliknya, di sana-sini masih dipenuhi praktek penggelapan akal budi. Ringkasnya, abad ke-20 adalah abad gelap di dalam kehidupan kita.

3

Berikutnya, catatan ini bermaksud mendekatkan diri kepada kenyataan, sekaligus mencoba merapatkan hal-hal yang bersifat terlalu teoritik dengan praxis. Untuk itu, kita buka catatan berikut ini dengan sebuah sajak:

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

(Agus R. Sarjono, Sajak Palsu, 1998)

Sajak di atas, sungguh sebuah sajak yang mencerminkan realitas kita kemarin dan sisanya masih terasa di penghujung abad ini. Sebuah sajak yang memperlihatkan kejujuran penyairnya dalam memotret dan mengungkapkan realitas kita saat ini, di sini, di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Sebuah sajak yang lahir dan menjadi saksi zaman. Sejajar dengan ini patut pula bagi siapapun warga negeri ini untuk menyimak sajak "Malu Aku Jadi Orang Indonesia" karya Taufiq Ismail, "Kesaksian Akhir Abad" karya Rendra, serta sejumlah syair-syair lain yang ditulis para penyaksi zaman. Maka gambaran gelap, itu sesungguhnya telah dibisikan sejak lama dan bergenerasi-generasi.
Itulah kenyataan kita kemarin di masa kekuasaan kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan sisanya masih berakar kuat hingga penghujung abad ini. Akar-akar "keji" seperti terurai di dalam sajak di atas dan yang sifatnya merusak segala sendi kemanusiaan, itu sedang kita bongkar, dengan harapan bisa memberikan lahan bagi tumbuhnya benih-benih baru yang betul-betul berpihak kepada kebenaran, keadilan, menghormati wacana azasi kemanusiaan: akal budi.
Kehidupan kemarin yang masih berbayang, itu bisa kita sebut sebagai kehidupan maya, kehidupan gelap, kehidupan yang seolah-olah, kehidupan yang penuh kepalsuan, dan bahkan penuh tipu-muslihat.
Bisa kita lihat, misalnya, seolah-olah perekonomian kita ini pernah mengalami pertumbuhan sebesar 7% per tahun, mengalami swa-sembada beras, bahkan suatu saat pernah memberikan bantuan pangan bagi warga masyarakat Ethiopia. Atau dalam bentuknya yang lebih kasat-mata, bisa kita lihat begitu luar biasanya gedung-gedung menjulang di Jakarta, mobil-mobil mewah dan kemewahan lainnya berkelebatan di hadapan kita.
Tapi apakah benar semua itu bisa di-klaim sebagai "kita" yang artinya di belakang kata "kita" itu adalah 200.000.000 manusia?
Maka keseolah-olahan itu pun segera tampak jelas. Segala kemewahan dan "pertumbuhan yang konon" itu hanyalah dikuasai oleh segelintir orang saja. Sama sekali jauh dari "kita" yang berjumlah tak kurang dari 200.000.000 orang. Bahkan, lebih jauh lagi, jika benda-benda itu dikumpulkan seluruhnya lantas diuangkan, maka semuanya tak akan cukup pula untuk membayar seluruh utang atas nama negara yang bernama Republik Indonesia ini. Semakin jelas pula bahwa benda-benda gemerlap itu, sesungguhnya tak pernah dan bukanlah milik kita. Semua hanyalah benda-benda maya yang seolah-olah ada di tengah kehidupan kita.
Wajarlah kalau kemudian Papua minta pisah, karena yang ada di sana adalah hal-hal yang sebaliknya yaitu berupa kemiskinan dan keterbelakangan, demikian halnya saudara-saudara kita di Aceh yang relatif tak mengenyam pertumbuhan itu kecuali pemerasan bahkan berbagai penindasan.
Dan sesungguhnya pula, perillaku masa kekuasaan yang menindas itu sifatnya merata diderita oleh mayoritas yang berada di dalam kata "kita." Kemiskinan yang terjadi di Papua, tak jauh bedanya dengan saudara-saudara kita yang nyelip-nyelip di lobang-lobang tikus pinggir gedung menjulang di Jakarta dan kota-kota lainnya, tak beda dengan saudara-saudara kita yang hidup di pedesaan dikelilingi pesawahan subur tapi tiba-tiba kesulitan mendapatkan beras karena sawah-sawah itu ternyata milik segelintir orang tadi. Pun pembantaian yang terjadi di Aceh pada dasarnya mendapatkan analoginya dalam bentuk pembantaian "akal pikiran" dan dimensi kecerdasan manusia.
Dalam konteks melihat dunia yang seolah-olah dan gelap, itu tentu dengan tetap menyatakan bahwa pembantaian nyawa manusia adalah kekejian yang biadab; tapi mari kita baca pula bahwa pembantaian "akal pikiran" dan dimensi kecerdasan manusia itu pun adalah sama kejinya. Moral dan kepercayaan diri sebuah generasi, misalnya, bisa hancur lebur dan tumbuh menjadi drakula-drakula atau zombie-zombie yang sangat mengerikan.
Mari kita bermain logika yang amat sangat sederhana, sambil diingat pula bahwa yang berikut ini adalah satu contoh saja dan terdapat sederet panjang contoh lainnya bila dikehendaki.
Begini: Suatu ketika karena anak presiden, maka mereka dengan "sim salabim" bisa menjadi pengusaha yang luar biasa besar, memimpin berbagai organisasi penting, bahkan menjadi menteri. Kualifikasi kecerdasan apa yang saat itu diberlakukan? Segera kita tahu dan bahkan saat itu pun telah tersadari bahwa satu-satunya logika yang dipakai adalah "kekuasaan."
Apa akibatnya dalam konteks logika sederhana tadi? Maka tak kurang dari dua generasi manusia di negeri ini runtuh kepercayaannya kepada dunia ilmu dan pendidikan. "Ngapain sekolah susah-susah, tokh, yang dapet dia-dia juga," itu pernah menjadi wacana awam. Di balik itu, virus "maling" dan merebut kekuasaan dengan sendirinya menyelusup ke benak orang per orang. "Di negeri ini yang penting bukan menjadi orang pandai, tapi harus pinter-pinter ngatur strategi agar sampai di suatu pucuk kekuasaan, setelah sampai di sana maka apapun bisa diatur," itu wacana umum lainnya yang menyimpan kata "strategi" itu sebagai akal-akalan, muslihat, persekongkolan membangun kekuatan untuk kekuasaan; dan ujung-ujungnya meski tak berbentuk langsung pembunuhan tapi pada dasarnya membunuh harkat kemanusiaan, akal sehat, kecerdasan, akal budi, bersifat fasistis, menindas yang lain yang lebih lemah, serta sudah pasti: serakah!.
Loyalitas yang tumbuh dalam dimensi "kekuasaan" seperti itu, maka bukan kepada kemanusiaan dan akal budinya tapi loyalitas kepada sekongkolnya. Itu bahkan tercermin sekarang pada euforia pembuatan partai dan kelanjutan tindak-tanduknya, misalnya, orientasinya tidak kepada rakyat dan kemanusiaannya secara menyeluruh, melainkan perjuangan untuk massa partainya, bahkan hanya untuk pribadi-pribadinya saja dengan memanfaatkan massa partainya. Kata apa lagi yang paling tepat untuk itu selain kata kanibalistik. Dan kita tahu, kanibalistik itu adalah perilaku manusia yang purba dan sepurbawi-purbawinya.
Itulah dunia kita kemarin hingga di penghujung abad ke-20 ini. Maka kemerdekaan yang selalu diperingati setiap 17 Agustus itu pun sesungguhnya merupakan kemerdekaan yang seolah-olah. Berbagai hal membuktikan bahwa banyak perilaku penjajahan yang dilakukan oleh kita sendiri terhadap kita sendiri. Feodalisme tak juga hengkang melainkan hanya bergeser ke gaya berjas dan berdasi (manipulasi bentuk), titel kesarjanaan (dan bukan penghormatan kepada ilmu pengetahuan), raihan kekayaan (materialisme buta), pangkat ketentaraan (beserta watak militeristik), ketenaran (mistifikasi dan kultus individu), simulacrum (pembalik-balikan akal pikiran sehat lewat ideologi, buaian iklan, ataupun fatwa). Di sini pula peradaban kepura-puraan dan hipokrit dimulai dan tumbuh begitu subur. Maka tak hanya ethnic cleansing yang menakutkan itu; tapi di dini di sebuah negeri bernama Indonesia sudah sampai pada batas human being cleansing; pembantaian kemanusiaan.
Sesungguhnya tak ada lagi kemanusiaan, hampir tak ada tempat bagi akal budi untuk bersemi. Itulah abad yang kita lalui.

4

Kita percaya, sinar pencerahan itu tak sama sekali telah sirna. Jika demikian adanya, niscaya sudah sejak dini bangsa ini telah hancur sehancur-leburnya. Sinar itu, meski tinggal secercah kecil, niscaya masih dijaga oleh mereka yang berani tinggal di tempat sepi sambil melindungi sinar akal budi agar tak sama sekali padam. Adakalanya sinar kecil itu berubah menjadi lantunan lembut menelusup lewat tajug, mushala, atau masjid yang jauh dari keramaian, bersalin rupa menjadi kata-kata yang dikhabarkan oleh ketulusan penyair, sesekali menjadi citra-citra gambar di tangan juru gambar, dari kuil-kuil yang tersingkir bangunan bendawi terdengar sayup-sayup nyanyian yang bersatu dengan alam, ada pula yang menjadi serangkaian kata-kata panjang dalam kitab para filsuf yang jujur, sambil terbatuk-batuk para romo masih setia menyapa dunia lewat gereja-gereja, sedikit cendekia pun dengan setia mengingatkan agar waspada.
Sepanjang abad suara lirih itu terkalahkan oleh erangan megafon yang menyampaikan bobasme doktrin politik, suara jutaan knalpot, sorak-sorai di panggung gemerlap, terkepung buaian dan sihir iklan, ternodai letusan peluru dan darah yang sia-sia, terpinggirkan muslihat-muslihat dagang yang tak mengindahkan akal pikiran, oh, sebetulnya tak hentinya pula menjadi erangan rakyat kecil; sinar kecil itu tentu saja seperti terkalahkan sinar neon yang palsu, binar-binar papan dagang ribuan watt itu pun membuat banyak orang lupa diri, puluhan ribu watt lagi menjadi lampu sorot panggung-panggung hiburan, dan bermega-mega watt ada di rumah-rumah menjadi sinar kotak tv dengan jutaan mimpi.
Tapi, kita percaya, sinar kecil itu masih ada di hati kita masing-masing.
31 Desember 2000, malam, sinar-sinar ketulusan itu pula yang hendak kita pertemukan. Tentu masih akan berhadapan dengan seribu buaian panggung hiburan, dan berhadapan dengan sejuta alasan dan kepentingan. Oh, memang bukan demi kemeriahan, kita sekadar berkumpul dalam kumpulan kecil untuk saling mengabarkan, bahwa sinar itu masih ada.
Adakah sinar ini yang akan menjadi sinar pencerahan di abad mendatang? Sama sekali bukanlah kita penentunya. Ruang, waktu, dan manusia pengisi abad itulah yang akan memaknainya.***

Cibolerang, 7 Desember 2000
[bagian ke-dua dari rangkaian tulisan ini, Memasuki Pencerahan, sedang disusun dan akan disiarkan pada edisi berikutnya]

Editorial
Dari Redaksi

Topik Pekan Ini
Apa & Siapa
Galeri
Opini & Debat
Surat Pembaca
Kamus Seni
Agenda
Apresiasi

Link Seni

Kirim Wacana

Arsip

Pengunjung
Rumah Wacana

Sejak Diluncurkan
di Akhir Abad 20
[Desember 2000]