
Rupanya pepatah “Tak semudah membalikkan telapak kaki gajah” sudah tak relevan dipakai untuk menggambarkan perjuangan meraih sesuatu. Mau bukti? Lihat saja fenomena AFI. Di mana begitu mudahnya seorang menjadi bintang yang merupakan mahakarya dari sebuah proses yang sangat singkat, bahkan hampir tanpa perjuangan, tanpa festival, tanpa harus mengumpulkan ratusan piala atau tropi terlebih dahulu. Pokoknya popularitas yang mereka raih begitu mudah untuk diperoleh, Mereka tidak perlu memiliki vokal 7 oktav seperti Mariah Carey, atau suara yang menggetarkan seperti yang dimiliki oleh Josh Groban. Menurut dewan juri dalam program itu, suara mereka bagus-bagus, padahal menurut aku dan mungkin Anda setuju bahwa suara mereka biasa-biasa aja. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh aprian, bahwa mereka itu hanyalah produk dari Kapitalisme Humanis yang dikibarkan oleh Indosiar.
Tiba-tiba saja stasiun televisi berlogo ikan terbang itu meraih rating teratas dari semua Stasiun tv lain, alhasil semua TV stasiun ikut-ikutan mengemas sebuah program yaang mirip AFI itu, walaupun dibalut dan dikemasi dengan nama lain atau proses rekruitmen yang berbeda. RCTI lewat Indonesian Idol yang sepertinya lebih bisa menghasilkan bintang yang berkualitas dibandingkan AFI-nya Indosiar. TPI lewat KDI (Kris Dayan….eh maaf maksud saya Kontes Dangdut TPI ). Bukan hanya itu, selain pencarian bakat nyanyi, TV stasiun juga berlomba-lomba mengemas paket acara seperti MOKA, Indonesian Model, dan lain sebagainya. setelah kita sempat diwabahi oleh demam acara misteri-misterian, berita kriminal, dan reality show. Rupanya demam seperti ini tidak hanya melanda Indonesia, Di Malaysia, Kalau tidak salah, NTV-9 juga memiliki Akademi semacam AFI, entah apa sebutannya di sana, lihat saja situs mereka untuk lebih jelasnya. Di Singapura juga terdapat Singaporean Idol, entahlah kalau di negara Asean lainnya, seperti Thailand dan Filipina.
Bagi Anda yang dianugerahi bakat suara bagus, atau talenta lainnya. Acara semacam ini menjadi peluang emas bagi Anda untuk menjadi seorang bintang. Layaknya sebuah sebuah shorcut yang akan mempersingkat waktu dan perjalanan Anda menuju puncak ketenaran akibat adanya promosi yang besar-besaran yang dilakukan oleh pihak stasiun TV. Acara seperti ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang indah,.. eh maaf keingat ama Padi seh, maksud saya sesuatu yang awam, sebelumnya lewat Asia Bagus yang dipandu oleh Najib Ali dan Tomoko melahirkan diva Asia, sekelas Kris Dayanti dan Siti Nurhaliza.
Sungguh beruntung jalan nasib akademia tersebut. Selain memperoleh promosi gratisan, mereka juga bisa mencicipi tempaan dari orang-orang profesional, sekelas Mbak Bertha, Ari tulang, atau Didi Petet. Bahkan begitu beruntungnya, alumni AFI pertama, very dkk, memperoleh pengajar akting sekaliber Alex Komang, Mathias Mucus, Ria Irawan, Rahman Yacob, dan Eeng Saptohadi demi memantangkan akting mereka untuk bermain dalam sinetron Menuju Puncak. Gratisan lagi! Entah bagaimana dengan AFI 2, mungkin mereka langsung main film layar lebar.
Setelah akademia Veri, cowok asal Medan berhasil meraih predikat sebagai Akademia terfavorit (udah benar istilahnya?) pilihan pemirsa melalui pengiriman SMS dan premium call, kini ia disusul oleh akademia asal Semarang, Tia, yang baru saja dinobatkan pada malam Minggu, sekitar pukul 12 malam, tanggal 19 Juni 2004 (udah benar tanggalnya?). Kini mereka, termasuk alumni AFI yang tereliminasi (padahal itu khan ga ngaru ama popularitas mereka, emang seh cuman empat sampai lima akademia yang sempat kepake dalam beberapa produk iklan di TV) akan memasuki kompetisi dunia entertaimen yang konon katanya penuh dengan trik-trik rivalitas. Malah setelah AFI 1 dan AFI 2 sukses menaikkan rating dan mendatangkan profit, Indosiar kini mempersiapkan akademia AFI 3, untuk disulap dari orang biasa menjadi orang luar biasa, dari seorang Cinderella yang hanya seorang anak angkat namun diperlakukan seperti babu menjadi seorang putri yang anggun beralaskan sepatu kaca dan berkeretakan labu, ini buah sihir dari peri. Peri di sini layaknya Indosiar. Dan belum kasetnya sudah habis terjual, kini bersiap-siaplah kita akan melihat wajah-wajah mereka di layar tv lewat balutan Sinetron Menuju Puncak. Malah sekarang tidak hanya berasal dari lima kota besar, namun sudah diekspansi menjadi beberapa kota besar di Indonesia. Termasuk Makassar, my homeland, (wah kayaknya aq bakalan kena virus AFI nich, soalnya salah satu akademia yang lolos ke babak final adalah seorang penyanyi lokal favoritku, Tenri Ukke, liat aja ntar, vokalnya cukup promising deh, lagian dia kuliah di almamater aq). Oh yaa, memangnya Indosiar akan mengadakan AFI ini sampai yang keberapa seh? Sampai yang ke 2000, ke sejuta, khan tidak lucu kalau nanti akan ada akademia AFI 2.949.784. jangan-jangan nanti bakalan ada anak cucuk aq yang ngikutin AFI. Wah sepertinya ntar kalo aq udah punya anak ato cucu, aq bakalan masukin mereka ke sekolah vokal deh, itu kalo AFI nya ga keburu tutup, format acara kayak gitu tuh, cuman trend aja, suatu saat akan ditinggalkan koq. Ya ampun koq aq malah berbicara panjang lebar mengenai AFI, wah guawat nih, jangan2 aq udah ketular ama virus-nya AFI, ihhh, n'ga deh !!!. OK, untuk paragraf di bawah ini aku akan berusaha menghubungkan AFI dengan keadaan politik di negeri tercinta kita, INDONESIA .
Apakah ada hubungannya AFI dengan Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 mei nanti? Jawabnya, sangat jelas ada. Buktinya VCD yang diedarkan bersampulkan konser AFI nyatanya berisi Black campaign. Belum lagi kehadiran beberapa Calon Presiden RI dalam puncak acara final AFI 2. Bahkan mereka sempat bernyanyi dan dinilai oleh juri.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama (betul?). AFI memiliki kelemahan dalam proses diskulaifikasi, yang bekennya disebut terminasi upss, maksud saya eliminasi. Dieliminasinya seorang akademia bukanlah menjadi semacam tolok ukur, barometer, indikator, apapun namanya akan kualitas yang mereka miliki. Namun berdasarkan ukuran kuantitas, eh keinget ama Nisya nih, kenapa musti babi seh. Yaitu referensi masukan sms dan premium call.
Kehadiran tiga juri pada setiap malam eliminasi yang selalu memberikan komentar, analisa, kritikan, dan masukan terhadap performa akademia malam itu, yang justru bukanlah sebuah acuan bagi mereka untuk tereliminasi, sehingga semanis apapun komentar juri, atau sepahit apapun kritikan juri, toh itu bukan suatu alasan tereliminasi-tidaknya akademia tersebut. Yang dijadikan pedoman adalah jumlah sms dan premium call yang diperoleh akademia. Sehingga banyak akademia yang harus rela tereliminasi padahal mereka memperoleh respon atau apresiasi positif dari dewan juri. Alhasil objektivitas hampir tidak ada dalam penilaian lewat sms atau premium call. Karena pemirsa tidak terlalu peduli dengan indah tidaknya vokal mereka. Pemirsa justru tersugesti dengan profil akademia yang memperlihatkan kehidupan pribadi mereka. Lantas muncullah iba, kasihan, dan peduli yang akan merusak bahkan menyingkirkan objektivitas.
Nah lho, koq sampe skarang belum cerita mengenai calon presiden? Ia sabar, paragraf ini sudah membahas mengenai itu koq!. Saat ini kita tengah berada dalam putaran kampanye ke-lima capres dan cawapres yang nantinya bakalan dipilih secara langsung-selangsung-langsungnya. Ini sesuatu hal yang sangat baru di negara kita. Tetapi bukan sesuatu yang prematur untuk dilakukan, bahkan kita sudah terlambat memasuki alam demokarasi sejati ini. Para kandidat presiden dan cawapres harus berusaha berpromosi secara besar-besaran, entah melalui panflet, pin, iklan, banner, bahkan situs agar mereka memiliki peluang besar untuk menduduki kursi presiden (Kapan ya diganti dengan sofa presiden?) semakin mereka dikenal rakyat, semakin besar pula peluang mereka. Selain promosi seperti di atas, mereka melakukan safari, kunjungan ke pasar, berdebat di media visual, mengunjungi perguruan tinggi, membagikan kaos atau pin dan kalender (padahal tahun baru udah lama lewat), bahkan mereka tiba-tiba saja menjadi seorang penyanyi. Belum lagi beberapa oknum yang melakukan black campaign guna menjatuhkan reputasi capres atau cawapres tertentu, yang dianggapnya sebagai rival bahkan ancaman. Semuanya bertujuan mengebiri kebebasan memilih rakyat yang sudah terlanjur terpengaruh oleh janji-janji mereka, tersugesti dengan mulut manis mereka.
Lihat saja iklan di tv. Para capres dan cawapres itu, hanya menggembar-gemborkan budi baiknya. Tanpa pernah berusaha memberikan pengakuan bahwa mereka pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Alhasil, rakyat tidak akan pernah tahu, apakah mereka seperti domba, atau malah seperti musang, domba berbulu musang atau musang berbulu domba. Atau barangkali mereka betul-betul seekor domba atau musang. Ah itu sih tidak terlalu berbahaya, bagaimana jika mereka adalah raptor, anaconda, piranha, srigala yang siap menerkam mangsanya, dalam hal ini adalah rakyat.
Dengan demikian, sama halnya dengan akademia yang sampai malam final tidak tereliminasi dan berhasil membawa pulang mobil, yang sama sekali tidak ada jaminan buat mereka bahwa betul-betul memiliki kualitas dan kempetensi vocal. Belum tentu juga mereka memiliki picth control yang bagus dan tepat, penghayatan yang dalam, dan bahasa tubuh yang sesuai dengan tema lagunya, tidak bisa membawakan lagu sesuai style yg mereka miliki sendiri dan tentunya menggunakan teknik miking yang betul dan benar. Lho koq aq malah kayak juri-juri itu seh. Dan belum tentu juga yang terelimansi itu atau tersingkirkan atau terdepak itu tidak memiliki talenta, kualitas, dan serta kompetensi. Tidak ada jaminan sama sekali, capres dan cawapres yang terpilih nantinya akan memiliki performa yang bagus, skill yang memadai, mental yang kuat, mampu melakukan manuver indah, menguasai track lurus maupun tikungan, track basah maupun kering….loh..loh..loh koq kaya pembalap F1. Maksud saya, mereka belum tentu memiliki kredibilitas, kapasitas, kualitas yang lebih baik dari pada capres yang tereliminasi. Dalam artian kalah perhitungan perolehan suara.
Yang akan meraih jalan menuju kursi presiden nantinya, menuju Istana Merdeka, tentulah mereka yang punya signifikansi kuat, baik dalam bentuk materi maupun dukungan massa , baik terorganisir maupun tidak. Dan gencar dalam beriklan atau berpromosi. Selain itu dibumbuhi dengan main uang.
Di AFI, keluarga para akademia pun bergerilya agar orang lain mengirim sms yang memang murah itu, apalagi pihak Indosiar meng-agitasinya dengan uang puluhan juta, untuk dukungan buat sang anak, sang sepupu, sang cucu, sang kemenakan, sang calon menantu mereka. Ilustrasi inilah yang juga melanda proses pemilihan presiden nantinya. Mereka pun melakukan gerakan gerilya politik seperti ini, entah siapa yang ketularan siapa, yang jelas nilai kejujuran sepertinya sudah pudar. Para capres ramai-ramai mengunjungi pasar- entah mau belanja apa mereka di sana, mall, pondok pesantren untuk memperoleh dukungan sebesar-besarnya. Memang betul inilah jalur yang sebenarnya dalam berkampanye, dalam berdemokrasi, memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya (baca:voting). Tetapi yang harus kita waspadai, adalah bagaimana cara mereka memperoleh dukungan tersebut, halal atau haram, legal atau ilegal. Memang betul bahwa mungkin akan ada orang baik yang terpilih. Entah siapa, tetapi jangan lupa bahwa mungkin akan ada juga orang buruk yang akan terpilih, dan mungkin akan tak sedikit, mungkin pasti, tak sedikit orang baik yang yang tereliminasi.
Tetapi tentunya, dibalik perasasan pesimistis , takut, dan mungkin was-was, tentunya seharusnya kita memiliki sikap optimis, yakin, percaya, bahwa nuans,a demokrasi yang kita rasakan sekarang ini, pemilu presiden nantinya, betul-betul akan menghasilkan pemimpin yang jurur, arif, bijaksanya, berakhlak mulya, dan segudang sikap sifat baik lainnya, yang bermoral, yang membela rakyat. Seekor ayam tentu saja bukan hanya menghasilkan tahi yang busuk, yang jelek bentuknya, tetapi juga menghasilkan telur yang bulat putih perawakannya, enak dimakan, mungkin digoreng, yang mengandung protein, yang tentunya berguna buat kita semua. Apalagi bagi seorang Ade Rai yang membutuhkan 40 butir telur sehari.
:: KRONIK ::
Akademi Fantasi Presiden: Menuju Puncak Kekuasaan
Mengapa manusia harus menghancurkan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan?
Perang Dua Jendral: Wiranto Circle vs Klenik SBY
Partai Seks Komersil
Kado Ulang Tahunku
Spiderleo
Jazz, Santana dan Tentangmu
Malam Absurd
On store now, Limited Edition
Duhai Islamku
Kabarmu di Surga
KPI, Kontes Presiden Indonesia 
Spider-Man 2. Masihkah Klise? 