
Tak terasa kita sudah memasuki Gerbang KPI (Kontes Presiden Indonesia), sebelumnya ke lima capres dan cawapres ini harus melalui proses kualifikasi tingkat lokal baik melalui konvensi Golkar (baca:Wiranto), maupun dicalonkan oleh parpol masing-masing, Sampai di sini, para calon yang akan menjadi orang nomor satu di Indonesia itu, harus melewati tes-tes yang dilakukan oleh KPU, salah satu di antaranya harus terjungkir akibat tidak memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh KPU. yaitu Gusdur . Sebelum masa-masa ini, dua bulan lamanya kita disibukkan oleh Pemilu Legislatif, terutama KPU, partai-partai politik yang berjumlah 24, dan tentunya caleg, yang mungkin paling sibuk dan paling banyak berkorban materi dan tenaga. Dan kini, sudah di depan mata, tanggal 5 Juli nanti, kita akan melakukan pemilihan presiden secara langsung-selangsung-langsungnya. Sebuah pesta demokrasi yang paling bersejarah sejak pemilu pertama tahun 1955.
Memang, pada kenyataannya, baru kali ini kita memperoleh kesempatan untuk memilih pemimpin kita secara langsung. Bahkan, jangankan pemilihan presiden, pemilu legislatif saja, tercatat baru diadakan tiga kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, yaitu, 1955, 1999, dan 2004 yang boleh dikatakan relatif lebih demokratis. Selebihnya tidak lebih dari pesta demokrasi fatamorgana, semu, kamuflase, bahkan mungkin lebih nyata dari sebuah pesta prom.
Kita akan sangat diuntungkan tanggal 5 Juli mendatang, betpa tidak, karena kita akan betul-betul berada dalam posisi strategis. Rakyat tidak akan pernah lagi mau dibohongi, ditipu, ditelantarkan oleh capres dan cawapres itu. Sangat bertolak belakang dengan iklim demokrasi yang kita hirup di masa orde baru, dimana kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan wakil rakyat di MPR. Sejak ruhtuhnya dinasti Soeharto, kedaulatan rakyat direduksi oleh parlemen yang memunculkan politik dagang sapi.
Namun, cepat atau lambat, perlahan dan pasti, budaya kotor ini akan kita tinggalkan, pokoknya tinggal menunggu waktu. Padahal, di awal reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa, banyak kalangan yang menyepelehkan kemampuan rakyat untuk untuk memilih presidennya secara langsung, tanpa intervensi, bahkan intimidasi dari pemerintahan otoriter. Tidak ada lagi kekhawatiran bagi pns untuk memilih partai dan presiden buat pns. Dimana pada masa kejayaan Soeharto, merka diwajibkan memilih partai berlambang pohon beringin, kalau tidak, surat pemecatan sudah terlem rapi dan siap dilayangkan kepadanya. Kembali ke masa sekarang. Apa yang dihawatirkan kaum elit, gesekan antar grass root justru hingga kini belum sampai pada level yang serius. Minimnya pendidikan politik yang diserap oleh rakyat sempat juga ham[pir menjadi penghambat iklim demokrasi yang kita rasakan sekarang ini. Tak hanya itu, kondisi ekonomi kita yang makin mencapai titik kebangkrutan justru dikambing hitamkan akan menjadi penghalang praktek pemilu presiden secara langsung. Katanya, sebuah titian demokrasi baru bisa tercapai bila rakyat sampai pada tahap sejahtera. Namun harus diakui bahwa pemilu legislatif kemarin bisa membayar kontan segala perasaan pesimistis itu.
Bagaimana pemilu presiden? Bakal simetriskah? Seharusnya jika kita menjadikan kesuksesan proses pemilu legislatif sebagai referensi, mestinya pemilihan presiden bakalan sukses juga. Alasannya, pemilu kemaren talah memberikan banyak edukasi berharga bagi bangsa ini untuk belajar mengeja demokrasi. Disamping itu, fragmentasi kekuatan politik tidak serumit dengan pemilu legislatif yang terdapat 24 parpol yang mungkin masih mengandung bad sector. Lima pasangan capres pun tak hanya merupakan kombinasi partai politik, tetapi juga merupakan kombinasi dari organisasi massa .
Dari koalisi beberapa kekuatan ini, tentu di sisi lain membuat kekuatan terpolarisasi dan relatif lebih mudah untuk diatur. Namun dilain pihak, polarisasi kekuatan yang dulunya kecil kini menjadi besar. Mudah diatur memang, tapi jika sikap yang kurang dewasa terhadap proses ini ini yang lebih menonjol pasti beresistensi besar.
Bagaimanapun, sejatinya dalam menorehkan tinta emas dalam lembaran demokrasi Indonesia , kita tidak terjebak lagi dalam politik aliran. Tidak lagi karena sentimen keagamaan, kesukuan, ras, apalagi kepentingan sesaat dengan mengiorbankan pilar demokrasi. Tapi kita mesti mulai memasuki fae pemili rasional. Kita memilih karena program yang diusung, juga track record mereka selama ini. Sebab, paling tidak sepak terjang mereka dahulu akan memberikan kita sedikit ilustrasi bagaimana sang nakhoda bangsa memimpin kapal yang berisi 240 juta jiwa.
Tentu momentun 5 Juli bisa kita jadikan titik awal untuk mencapai peradaban baru di bumi Indonesia . Siapa pun yang menang harus kita sokong sekaligus mengawalnya. Yang kalah mestinya juga menunjukkan sikap yang sportif. (tak seperti apa yang dilakukan oleh Fransesco Totti). Mungkin alangkah bijaknya jika pemenang tak membusungkan dada dan yang kalah mesti menyokongnya.
.
:: KRONIK ::
Akademi Fantasi Presiden: Menuju Puncak Kekuasaan
Mengapa manusia harus menghancurkan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan?
Perang Dua Jendral: Wiranto Circle vs Klenik SBY
Partai Seks Komersil
Kado Ulang Tahunku
Spiderleo
Jazz, Santana dan Tentangmu
Malam Absurd
On store now, Limited Edition
Duhai Islamku
Kabarmu di Surga
KPI, Kontes Presiden Indonesia 
Spider-Man 2. Masihkah Klise? 