"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


BBM

Cermin: Monas Junior

Pukul dua lebih sekian menit, Didit berusia separuh abad itu terlihat masih digayuti kantuk meneguk kopi di ruang tamu rumah kontrakan tiga pintu. Seolah-olah tidak akan ada hari bisa menikmati secangkir kopi dingin ketika rumah benar-benar sepi dari dua cucunya yang mulai nakal. Ia sadar Ida isterinya sudah dari tadi pagi ke kebun. Dan aura malas si kakek bersarung dengan tali pinggang besar dilengkapi dompet-dompet kecil itu, tampak menempel erat pada mata kantuknya.

Baru saja akan merebahkan tubuh di sofa panjang, tiba-tiba saja ia berdiri. Secepat kilat menyambar gagang pintu yang berjarak empat meter dari tempat ia semula. Menarik, lalu bunyi bergedembaman tertinggal sampai ke luar.

Saat langkahnya bergegasan ke arah dapur, suara hardikan mengembalikan gedembaman tadi lebih keras.

"Ah, jangan gitu lah, Wak. Pakai tutup pintu pula, aku hanya singgah sebentar."

Suara Hari, kawan seusia yang paling tidak disukai Didit. Ia sadar betul dalam bahaya, tapi terlambat. Pintu depan dibuka Hari sambil mempertunjukkan muka tua-nya yang lelah dan kusam. Sesaat matanya menggerayangi ruang tamu, lalu menelisik lebih ke dalam dan mata itu menangkap kehadiran Didit sambil membawa rungutan terhebat dari tirai pintu tengah.

"Ada apa?" kata Didit.

"Cuma mampir. Kan sudah kubilang," ujar Hari acuh. Santai saja ia duduk lalu rebahkan tubuh di sofa yang tadi hampir saja memeluk Didit.

"Aku baru bangun. Lagian kenapa harus siang terik begini mampir."

Didit mendekati dan mempertontonkan ketidaksenangannya lebih tegas. Duduk di kursi seberang meja, ia perhatikan tindak-tanduk tamu tak sopan di depannya.

"Aku lagi pusing, Wak." Hari mendudukkan tubuh dengan sentakan. Sesaat ia pula yang mempertontonkan ketidaksenangannya ke wajah Didit.

"Masih yang kemarin. Soal BBM naik?"

"Yah, itu-itu lah."

"Kenapa dipersoalkan. Yang naik tidak bakal turun, percayalah. Dan relakan saja."

"Wak enak bicara begitu. Lah aku ini? Gaji penjaga sawit sebulan rasanya jauh dari pemenuhan kebutuhan. Mana anak-anak belum ngirim lagi."

Kening Didit berkerut. Wajahnya sedikit cemas. "Maksud?"

Hari tak menjawab. Ia berjalan memutari meja lalu berdiri di samping Didit. Tubuhnya bergerak-gerak teratur. Matanya demikian manja memandang ke arah muka pucat Didit. "Ada cadangan devisa ndak Wak?"

Nah ini! Pasti ini! Sial. Didit merutuk dalam hati. Namun; "Berapa?".

"60 saja. Ribu bukan juta. Dikit kok Wak."

Hati Didit rapuh, rontok, lalu menggelincir ke dalam dompet-dompet kecil tali pinggangnya. Ia terbayang panci di rumah kawannya ini belum mengepul dari pagi. Ia juga terharu menyadari betapa jauh jarak rumahnya dengan Hari. Apalagi tak terdengar deru kendaraan kawan seprofesinya itu. "Kapan?"

"Secepatnya, Wak. Begitu kiriman Rani tiba," sambar Hari. Tampak sekali ia takut kehilangan peluang ini. Matanya terbakar.

Didit mengeluarkan selembar lima puluh dan selembar sepuluh ribu, mengambang sesaat bersama munculnya bayang-bayang wajah Rani -cucu pertama Hari yang bekerja di kota-- kemudian mendarat di telapak tangan Hari bersamaan bunyi; "Terima kasih, Wak. Kau sahabat sejati. Aku pergi dulu."

Secepat petir, Hari telah berada di teras memasang sepatu kain, bersiap melesat lebih pesat.

"Nanti dulu, kawan." Didit mengejar.

"Apa?"

Didit berkernyit untuk ke sekian kali. "Buat apa? Kalau boleh tahu."

Hari tak menjawab, hanya saja ketika ia melesat masih terdengar samar-samar di telinga Didit, "Buat beli pulsa HP."

Rahangnya mengeras. Wajahnya legam dan mengepul asap kesal yang kental. Tapi sesaat. Sebab saat berikut ia telah berjalan ke dalam sambil menarik gagang pintu.

"Kelak, komunikasi jauh lebih murah dari nasi, Sobat," akunya dalam hati.***

Jambi, 12 Desember 2005