"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Kristal-kristal Gula

Cerpen: Monas Junior

      ''Jadi. Sudah habis perkataanmu?''
       ''Belum. Saya belum selesai. Bahkan sampai esok dan esok dan lusanya esok pun, saya tak akan kehabisan kata-kata, Bapak.''
       ''Tapi kenapa tadi kau membisu?''
       ''Saya hanya berpikir, betapa sulitnya seorang tua seperti Bapak memahami seorang muda seperti saya. Padahal, ah, saya tahu Bapak juga melalui masa-masa seperti saya sekarang. Muda dan penuh kelabilan.''
       ''Aku tidak setuju.''
       ''Pedulilah.'' Aku berdiri dan tanpa pamit lagi kuhamburkan kaki melewati pintu sambil membayangkan betapa kesalnya ia dengan ulahku. Sekali lagi aku tak peduli. Karena hari ini aku harus menyelesaikan beberapa dialog lagi di depan sidang skripsi, untuk kemudian menyusun dialog baru di depan ia, lelaki tua yang hobinya bersarung dan berkaos oblong lengkap dengan peci haji itu. Esok, ya, esok lagi seperti kemarinnya kemarin. Ah, pedulilah.
       Sembari memperhatikan kakiku yang teratur melangkah di atas trotoar, pikiranku menerawang ke lelaki itu, kejap kemudian ke kekakuan sikapnya.
       Sumpah, aku telah bertemu berbagai karakter manusia, tapi baru kali ini menemui sosok bertipikal sangat tidak kooperatif seperti beliau. Melihat tingkahnya yang keras itu, aku yakin negosiator ulungpun tak sanggup membuat kekakuannya goyah. Seorang tua, berumur, bau tanah, keriput, bungkuk! Bah, apalagi kelebihannya sehingga ia bersikap seolah-olah paling sempurna di dunia. Paling tinggi derajatnya, paling banyak hartanya, paling melimpah rekannya, paling tersebar jaringannya, paling… Hiat! Kutimpuk saja mukanya dengan sandal jepit. Biar terpekik, biar meringkik kesakitan, biar memar, biar bercarut, biar tambah merah saga mukanya. Dan biar ia membalas lemparkan sandal jepit ke mukaku. Setelah itu aku akan segera tertawa dalam sakit karena bisa menunjukkan pada semua orang, betapa lelaki yang menyebut dirinya manusia beretika itu telah berbuat lepas kontrol. Tak ada keseganan buat orang-orang yang terlepas emosinya. Apalagi berkelakuan brutal dan semena-mena!
       Lalu akupun bergembira dengan kemenangan telak ini. 1-0, pak tua… 1-0. Tapi, (aku mendengus, menendang kaleng minuman soda di trotoar) ini bukanlah sebuah kebijaksanaan, ini cuma emosi yang bakal memancing kerusakan belaka. Dan tentu saja aku tak akan melakukannya, sebab aku adalah seorang mahasiswa. Sekelompok orang dengan sistem pendidikan tertentu dibuat sedemikian hingga menjadi manusia-manusia berpikir analis sebelum bertindak. Meski, ingin sekali aku menimpuknya! Sumpah!
       Sebuah angkot kuning jurusan Terminal Baru-Kawat-Simpang Mayang-Rawasari tiba, aku menggapai, ia berhenti, lalu meluncurlah tubuhku menuju Rawasari, terminal pusat yang terletak di jantung kota Jambi untuk kemudian bersibuk-sibuk dengan urusan keduniaan lain.
       ***
       Pagi datang lagi. Kali ini ia tidak seceria kemarin saat tawanya menghangatkan tubuh, senyumnya mendinginkan hati, candaannya menghadirkan semangat.
       Entahlah, mungkin ia ikut bersedih mengingat hari ini adalah hitungan kesekian kalinya aku harus berjumpa dengan Bapak tua itu. Lelaki bersarung dan berpeci haji dengan tubuh gempal itu.
       Aku sudah di depan pintu kost tatkala pagi secara tiba-tiba membawa bergumpal-gumpal awan hitam di langit, kemudian dingin menyergap cepat. Sempat tertahan niatku kalau tidak mengingat betapa pentingnya hari ini, betapa mestinya aku menjumpai Bapak tua itu.
       ''Ah, pagi. Aku tahu kau berusaha menghalangiku. Tapi mengertilah sayang, sekarang waktu yang tepat untuk menyelesaikan segala, menegaskan persoalan diantara aku dan Bapak tua itu. Karena esok, aku... harus berjuang lagi.''
       Tampak pagi marah. Ia menyuruh gumpalan awan menyuarakan kemarahannya dengan guntur-guntur dan petir-petir dahsyat, saling bersahut, dan keras! ''Dengar!'' Petir-petir itu semakin keras suaranya, aku pun meninggikan suara.
       '' Saat ini aku tak memandang betapa dekatnya persahabatan kita, betapa kesalnya kau akan kekerasan kepalaku, betapa inginnya kau menyudahi kesusahanku dengan Bapak tua itu, betapa prihatinnya kau atas keadaanku yang menyedihkan ini, karena aku harus menyelesaikan segalanya hari ini, mungkin. Atau minimal esok, atau esoknya lagi. Sampai benar-benar mendapat titik temu antara aku dan Bapak tua itu, Pagi. Paham!''
       Dadaku naik turun, aku berbalik badan dan mengunci pintu. Kemudian setengah berlari aku sentuh-sentuh aspal sempit lorong ini. Sementara pagi, ia tak berkutik kini.
       Awan hitampun telah diusirnya pergi, menjauh dan terus menghilang di langit. Aku melirik ke atas, tampak wajahnya murung tapi mendoakan agar aku berhasil. ''Terima kasih, sobat...'' ujarku menggumam tanpa mengurangi kecepatan langkahku.
       ***
       Masih sama dengan kemarin, lelaki tua itu tengah duduk santai di naungan payung taman halaman depan, menghisap cerutu, asap memburu langit dan hampir saja membuat pagi terbatuk. Masih tenang sikapnya, sampai ketika aku menuju lelaki itu, barulah semua ketenangannya hilang lalu berganti kegelisahan. Wajahnya gusar dalam berdiri, matanya begitu berharap agar aku tak jadi mendekat, dan pulang seketika. Tapi tidak, aku malah menawarkan jarak agar semakin tipis.
       ''Kau lagi...'' Tak ada reaksi lain selain kekesalan, Bapak? (Hatiku mengiris dirinya sendiri.)
       ''Ya, aku lagi...'' Tolong, jangan bunuh aku, seperti kemarin, Bapak. Kumohon... (Aku merasa sakit.)
       Bapak tua itu segera duduk. Tampak sekali ia tak ingin memesrakan pantatnya dengan bangku beton yang diukir seperti kayu balok. Kemudian tangan kirinya mengepal keras di atas meja bundar-- juga seperti balok lebar, hingga kentara betul kemarahan yang ia tahan.
       ''Jadi...?''
      ''Seperti kemarin.''
       ''Masih belum paham juga?''
       ''Saya paham, tapi tolong pahami saya...'' Ia mendengus sambil sontak berdiri. Lalu keras dicampaknya cerutu yang masih tinggal separuh ke tanah.
       ''Kau ini mahluk apa sebenarnya! Satire-satire yang kulontarkan tak kau indahkan, bahkan sarkas-sarkas ku juga tak masuk ke pemahamanmu!''
       Mukanya merah, tubuhnya bergetar, dan keringat berlarian dari pori-porinya. Sementara nafasnya, seperti knalpot tersumbat. Bapak, untuk kesekian kalinya kau membunuhku. (Tak ada detak, hatiku telah mati.)
       Dengan lemas aku berdiri. Matanya kutatap sesaat untuk kemudian terpejam dalam tunduk lebih lama. Kudengar keluhnya, aku melenguh. Rumput Jepang di antara sepatu putihku membiarkan mataku menyentuh tubuhnya. ''Saya tahu, saya… Mmm, mungkin terlalu berani. Tapi…'' Aku mendengar ketakutan dari suaraku.
       ''Ini perkara hati, Bapak. Hati. Sesungguhnya ia adalah sebuah keajaiban.'' Entah darimana aku mendapat kekuatan hingga ketakutan itu hilang. Suaraku lebih tertata kini. Mungkin ini… ''Kekuatan hati. Meski berkali-kali ia mengalami pembunuhan, ia tetap saja tak bisa mati. Apalagi hati yang mencinta. Seperti kristal gula, ia cantik ketika beku dan tetap manis saat air meleburnya. Dan tak ada kekuatan yang bisa membunuhnya, tidak juga Bapak.'' Mataku telah sedemikian akrab dengan Rumput Jepang. Mereka seolah tersenyum memberi dukungan.
       ''Aku tak ingin jadi pembunuh. Malah aku ingin menghidupkannya dalam sebuah prosesi.'' Sesaat kulepas mataku dari si Rumput Jepang, lalu kusentuh tatap bola mata hitam lelaki berpeci di depanku. Ia telah melunak.
       ''Benarkah?''
       ''Ya… Namun mesti mengikuti prosedur.''
       ''Apakah saya tidak…'' Lelaki itu menggeleng pelan. Kemudian kembali duduk. Akupun mengikuti.
       ''Aku mencintainya, Pak. Sangat…'' Adakah Bapak meresapi kegurihan kalimat ini; 'aku mencintainya.. mencintai-nya'? (Hei, lihat. Dia menari-menari, tertawa-tawa, dan... tersipu-sipu menggemaskan. Duh, hatiku telah membunuh kematiannya.)
       Kembali lelaki berpeci dan bersarung merah garis-garis itu mendengus. Kelihatan sekali ia kehilangan kata-kata, atau tengah mencarinya. Entahlah. Yang jelas kini ia telah memunggungiku, dan bersiap untuk pergi.
       ''Ternyata Bapak tak setua usia Bapak,'' pelan aku bergumam. Sementara ia membalikkan badan cepat dengan lototan mata.
       ''Kau bicara apa?''
       ''Pertalian antara ketuaan, kemudaan, dengan kejujuran.'' Bapak itu mendekat, kemarahannya begitu panas menyentuh pipiku.
       ''Bagaimana itu?'' Seperti tadi, aku terpaksa merelakan kepalaku kembali mengintip Rumput Jepang yang genit di antara kaki.
       ''Masa muda ialah ketika manusia seringkali melakukan kebohongan demi kebohongan. Sedangkan masa tua, ialah ketika manusia menyadari segala kebohongannya di masa muda, dan tiba-tiba ia merasa bersalah. Saat itulah seringkali manusia spontan memusuhi kemudaan beserta seluruh ornamennya. Tetapi ia tak sadar, bahwa ia masih muda untuk usianya kini.'' Diantara Si Rumput Jepang, aku melihat tak sedikitpun perubahan dari bayang-bayang lelaki itu, tak lagi kurasa pipiku diterpa panas kemarahannya. Kini yang tinggal cuma selingan angin, dan teduhan awan--hingga seluruh bayang-bayang tubuh kami lenyap tersebab mentari telah diselimutinya.
       ''Dari bicaramu, aku mencium bau Nietzche.'' Setengah berbisik ia berkata. Kemudian balikkan badan dan saat itulah mataku baru beralih ke punggungnya.
       ''Filosofi gila dia, tak ada hubungannya dengan kita… Pulanglah.'' Sekejap saja, lelaki berpeci itu berjalan cepat menuju teras bertehel putih. Kesadaranku kembali, aku mengejarnya namun terlambat. Suara hardikan pintu itu, sudah cukup membuat niat untuk pergi-ku terwujud.
       ''Bapak! Bapak!'' aku bersikeras. Pintu terkuak lagi, ''Ada apa?!'' Bibirnya melongok bersamaan kepala.
       ''Kristal-kristal gula itu, sudah siap dileburkan…''
       ''Tapi, air tak cukup panas untuk melarutkan ia!'' jawabnya kasar. Dan pintu berdentam kembali. Aku tersudut pada kesendirian, pedih. Bapak, engkau menghancurkan sebuah impian, dan itu sungguh-sungguh menggenaskan. (Luka tadi bernanah sekarang. Pasti bermacam obat tak lagi dapat memperbaikinya.)
       Beringsut, kuseret langkah menuju gerbang. Sekilas kulempar senyum pada Rumput Jepang, mereka acuh saja, demikian juga siang yang memang tak pernah memperhatikanku. Seketika aku rindu pagi.
       ***
       Disket program, setumpuk tesis, pena, tiga buku literatur, tak lupa alas bedak bersamaan rekan-rekannya kutumpukkan ke dalam tas hitam yang sudah hampir menyerupai kecoklatan lumpur. Ketika baru saja menuju ruang tamu diambang kamar, pintu digedor orang dari luar. Tak keras betul, tapi cukup mengganggu cumbuanku dengan pagi. Dan aku menyambut gagangnya.
       ''Bapak…'' Entahlah, reaksi apa yang kutunjukkan sekarang saat tahu bahwa penggedor pintu itu, adalah lelaki berpeci yang berhari-hari ini acapkali mengisi perjuangan hatiku.
       Gugupkah, giriskah, malukah, marahkah, atau apakah? Tapi itu semua terjawab ketika ia setengah berbisik tegas melalui kata-kata tempias, dekat sekali dengan telingaku.
       Setelah ia selesai dan berlalu dengan mobilnya, aku putuskan untuk marah dan malu. Itu pula yang memaksa aku kembali mengunci diri di kamar, sembari menangis. Membasahi bantal putih dengan pulau-pulau dari mata air mataku.
       ''Semalam, setelah beberapa hari pertemuan kita. Barulah kutemukan kata-kata yang tepat. Mungkin beginilah; dunia memang telah berubah. Sampai-sampai persendian moral telah elastis benar sekarang. Tapi tak cukup mengubah etika, bahwa yang berhak meminang adalah lelaki, bukan perempuan. Ini akan kusampaikan juga pada Agus, anakku jika ia kembali dari perjalanan dinasnya. Semoga kau mengerti, Dwi.''
       Oh, tidak. Inikah pagi terburuk dari hari-hari kemarin, kemarinya kemarin. Atau untuk esok dan lusanya esok. Ataukah sebatas ini saja pagi bermakna. (Aneh, ia seperti telah matang dan dewasa sekarang. Hati itu, meski terluka, masih saja terlihat cantik.)***

Jambi, April 2003