"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Benar-benar gila

Oleh : Monas Junior


      Hujan menghujam bumi tanpa ampun. Rintik-rintik airnya membasahi tanah kering setelah panas terik tadi siang. Orang-orang yang tadi berlalu lalang di jalan protokol, terpaksa berlarian ke tepi-tepi bangunan terdekat untuk berteduh. Mereka tak ingin kepala mereka yang licin dengan minyak rambut dijamah sembarangan oleh air hujan. Satu-demi satu kendaraan roda dua juga menepi teratur memenuhi tempat-tempat beratap. Halte, emperan toko, kios kaki lima, bahkan tenda taruf milik toko seberang jalan itu kini telah dipadati oleh kendaraan bermacam merek.
      Sementara aku disini, di depan toko pakaian pertigaan simpang, memandang semua itu dengan hati sedikit dongkol. Bagaimana tidak, seharusnya dua puluh menit yang lalu aku sudah sampai ke kantor, dan memulai pekerjaan ku ditemani secangkir kopi hangat. Tapi, gara-gara hujan sialan ini, aku terpaksa terjebak di sini, merutuki diriku sendiri karena terlambat bangun siang. Lagi-lagi aku hanya bisa merutuk sendiri, sebab hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Tak ada lain.
Sambil menunggu hujan reda. Aku membeli semangkuk mie ayam hangat yang kebetulan ada di depan toko pakaian ini. Setelah memesan, aku duduk di samping pria berkumis tebal dengan pakaian seragam 'anggota'. Terus terang aku tidak punya niat apa-apa terhadap pria ini, soalnya kalau aku jalan dengan teman-temanku dan bertemu dengan sosok berseragam seperti sekarang ini, mereka, teman-temanku itu pasti membicarakan betapa bencinya mereka terhadap angkatan, betapa kecewanya terhadap orang-orang berseragam seperti pria di sampingku sekarang. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tidak punya perasaan semacam itu, sebab aku tidak memandang lembaga, atau unit, atau satuan, atau apalah yang mereka miliki, melainkan aku selalu menilai seseorang sebagai diri pribadinya sebagai manusia. Yang punya sikap angkuh, sombong, dan berbau pongah. Karena dalam pergaulan sehari-hari aku selalu menanamkan satu prinsip agar langgeng berteman dengan siapa saja, prinsip itu adalah 'Bagaimanapun buruknya mereka, toh mereka masih ciptaan yang kuasa. Dan mungkin mereka memang diciptakan untuk begitu....' Sekali lagi, mereka memang diciptakan untuk begitu.
      Pesanan ku tiba. Uap tipis terbang dari dalam mangkok yang kini tengah disodorkan Si mamang mie ayam ke tangan ku. Aku menyambut dengan kedua tangan, takut mangkuk itu jatuh ke tanah, sementara aku tak membawa cukup uang untuk membayar kerugian satu buah mangkuk pun!
      Mungkin karena dingin, atau memang aku lapar, tak terasa saja semangkuk mie ayam yang masih panas tadi, lenyap terbenam ke dalam lambungku. Masih tersisa panas kuah mie ayam itu di sela-sela tenggorokan dan lidahku. Aku segera membayar dengan selembar uang 5000 kepada Si mamang mie ayam, lalu ia membuka laci gerobaknya untuk kemudian mengembalikan 2500 kepadaku.
      Aku beranjak lagi ke tempat aku berdiri semula. Tapi, kini tempat itu telah ditempati seorang lelaki kurus dengan baju dan rambut kumal, seperti orang tak diurus. Dan satuhal yang membuat aku tertarik dari pemuda itu--umurnya kira-kira dua lima tahun-- ialah gaya berdirinya yang tegak seperti orang tengah sholat. Kedua tangan terlipat ke depan perut, matanya menyorot kebawah tanpa berkedip. Rambut panjang tergurai hingga menutupi sebagian dahinya. Persis seperti orang tengah sholat. Atau sekarang ia benar-benar lagi sholat? Ah, kalau benar demikian, rasanya patut diacungkan jempol kepada pemuda semacam dia. Mau melaksanakan sholat dimana saja dan dalam keadaan apa saja, tanpa menghiraukan hiruk pikuk suasana sekeliling. Aku saja, sedari subuh dua tahun lalu belum menyentuh sajadah sampai sekarang. Ada perasaan bersalah menyelinap dari rongga dadaku. ''Tuhan, betapa aku telah melupakan kewajiban ku sebagai umat hina dina. Pria sekumal ia saja mau melaksanakan kewajiban yang Engkau titahkan, sedangkan aku yang berpenampilan rapi ini acuh tak acuh dengan seruan sholat yang kau kumandangkan setiap awal pergantian waktu. Aku sungguh-sungguh manusia tak berguna! Tak bisa mensyukuri nikmat yang kau beri kepadaku. Aku orang munafik! Tuhan. Maafkan aku... Maafkan aku..... Yaa Kholik.'' Tanpa kusadari sebening air hangat mulai menjalar di pipiku bercampur baur dengan air hujan yang semakin deras.
      Untuk kesekian kalinya aku menatap haru kepada pemuda kumal itu. Ia masih dengan posisi tegak lurus, berkomat-kamit seperti melafalkan sesuatu, ayat barangkali. Tapi... setelah sekian menit, posisinya tidak berubah sama sekali. Layaknya orang sholat, setelah berdiri tentu rukuk, kemudian berdiri lagi, lalu sujud, duduk dan sujud lagi, kemudian berdiri lagi, begitu sampai rakaat terakhir. Tapi kenapa ia tidak rukuk-rukuk, tidak sujud-sujud? Kenapa?
      Pertanyaan ku barusan dijawab tawa lepas dari si pemuda. ''Ha.. ha... haa... Dunia-dunia, dimana-mana orang gila semakin bertambah saja....'' demikian ujar pemuda itu di sela-sela tawanya. Sesekali ia menggaruk-garuk kepalanya, lalu diam tanpa sebab!
      Aku tertegun mendapati semua ini. Ternyata orang yang kuacungkan jempol dalam hati itu adalah sosok manusia kurang secanting! Alias gila bin edan bin sinting! Bangsat, aku merasa tertipu oleh penilanku sendiri. Lagi-lagi seribu bangsat untuk pemuda sinting ini.
      ''Ada korek, bang?''
      ‘'A-ada.'' Gila. Orang gila ini minta korek sama aku. Terus terang aku tak dapat menutupi rasa gugup dan takutku terhadap orang semacam dia. Bagaimana tiba-tiba ia menyerangku. Atau melakukan sesuatu sesuka perutnya sebagai orang gila terhadap aku. Karena gugup, korek yang sudah kupegang, jatuh ke tanah.
      Pemuda itu mengambil korek di dekat kaki kananku. Masih dalam keadaan jongkok ia menyulut rokok kretek di mulutnya. Seketika asap mengepul menggapai-gapai daguku. Dan aku kembali gugup saat ia berdiri menatap mataku, ''Terimakasih, bang.'' Sambil menyerahkan kembali korekku. Cuma itu yang keluar dari mulutnya. Fiuhhh, lega. Cuma itu.
      Tunggu dulu. Apa ada orang gila bisa merokok, apalagi punya rokok sendiri? Kalau tidak salah rokok yang ada di sela jarinya itu termasuk rokok mahal. Dari sinilah timbul kecurigaan ku. Sebenarnya pemuda ini benar-benar gila, atau pura-pura gila. Karena zaman sekarang orang-orang banyak berlagak gila, apalagi kalau bukan untuk menghindari diri dari tuntutan dunia, yaitu kerja! Orang gila tidak perlu kerja. Orang gila tidak perlu berusaha. Orang gila tidak punya kewajiban. Dan orang gila bebas kemana-mana tanpa was-was di todong preman. Apakah pemuda ini termasuk golongan orang gila buatan seperti di atas?
      Dengan mata tajam, aku menyelidik ke dalam hitam bola matanya. Di sana tak ada tanda-tanda kalau ia punya cita-cita, tidak ada sama sekali. Yang ada hanyalah mata semu penuh ilusi, ilusi yang telah menjelma dalam kehidupan nyata si pemuda. Hingga ia tak dapat keluar dari mimpi-mimpi yang selalu berubah hari demi hari. Bagi orang gila, hidup adalah mimpi. Mimpi adalah hidup. Tiada hari tanpa mimpi. Itulah yang membedakan manusia normal dengan komunitas mereka. Sebab kadang-kadang kita bisa bermimpi, tapi ada kalanya harus menghadapi kenyataan di depan mata bahwa hidup bukanlah mimpi. Hidup untuk dijalani. Tapi bagaimanapun, menerima kenyataan lebih sulit ketimbang menciptakan kenyataan dalam mimpi. Dia pasti gila, tidak salah lagi. Tapi bagaimana kalau tidak.
      Penasaran ku membludak. Pemuda satu ini, orang gila atau bukan? ''Aku coba saja...'' Aku mengambil dua lembar uang ribuan kembalian dari mamang mie ayam tadi, untuk kemudian kudekati si pemuda. Tanpa bicara, aku serahkan uang dua ribu tersebut ke tangan sebelahnya yang tidak memegang rokok. ''Ambilah... Untuk beli rokok,'' ujarku takut-takut.
      Mata pemuda tersebut melotot. ''Apa ini,'' kertas lecek itu ditatap si pemuda. ''Uang?! Kamu pasti mau menyuruh aku untuk membeli barang haram itu lagi, kan. Pasti. Tapi aku tak mau! Aku tidak mau lagi membelikannya untuk kamu, cukup sekali saja kamu mangkat dari bumi ini karena barang terkutuk itu. Aku tak mau terulang kedua kali. Dengar!''
      Aku takjub mendapat reaksi dari si pemuda. Juga malu karena orang-orang yang berdiri di dekat kami menatap heran penuh selidik. ''Dengar!'' ia meraih kerah bajuku dengan keras! ''Ambil uang ini. Dan cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!! Pergiiiiii!!!'' Kata terakhirnya diikuti sebuah tendangan yang mendarat tepat di perutku. Dan aku berlari meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

      Aku tak peduli betapa deras hujan merajam kulit hitamku, tak peduli angin mengikis persendian bulu romaku. Aku tak pedulikan semua itu. Yang penting sekarang aku berlari meninggalkan semua kegilaan yang baru aku perbuat. Tapi, ada kepuasan dalam hati ini yang membuat senyumku merekah. Ternyata pemuda itu benar-benar gila. ''Ya! Dia benar-benar gila! Dia gila. Orang gila tidak mengenal uang. Orang gila tak tahu apa itu uang! Ya! Dia benar-benar gila!!!''

Jambi - 6/10/00