"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination...
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara. |Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Impas

Cerpen : Monas Junior

      Entah untuk keberapa kali mata itu menguliti tubuhku seperti sebuah santapan lezat. Dan entah hitungan yang tak berhingga aku memergokinya tengah memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung rambutku tak berkedip. Lelaki itu, gaek yang sedikit udzur dengan rambut-rambut putih, kumis-kumis putih, jenggot-jenggot putih, juga gigi-giginya yang tak putih lagi --karena sudah benar-benar habis dimakan usia, sama sekali tak mempengaruhi nafsu bejatnya! Dasar orang tua nakal.
      Seperti hari ini, ketika pagi baru saja merangkak naik, dan embun-embun belum sempurna benar beranjak dari atas balkon rumah kami. Ia, lelaki yang kumaksud itu muncul tiba-tiba di ambang pintu. Dengan menghembus salam selayaknya seorang muslim, ia masuk. Duduk seenaknya di kursi tamu, lalu melengoskan sebatang rokok Gudang Garam Merah-nya. Setelah itu Ibu dengan tergopoh-gopoh menyedu kopi yang hanya sebulan sekali kami beli. Soalnya di rumah ini tak seorangpun hobi minum ataupun sekedar mencicipi kopi. Kopi cuma diperuntukkan bagi tamu-tamu yang, tentu saja, tidak suka selain itu.
      Usai tercampur larutan gula dan serbuk kopi di gelas besar, ibu menyuruhku mengantarkannya ke depan, ke ruang tamu dimana orang yang amat aku benci itu duduk. Aku coba tolak dengan memaparkan alasan; ''Aku mau mandi, Bu. Suruh Nita saja, ya...'' ujarku menampik.
      Namun Ibu tak memberi ruang berkelit buatku. Mata wibawanya mendorongku untuk kembali melakukan perintahnya. Sungguh, aku paling tak bisa melawan tatapan Ibu. Karena dari balik mata coklat penuh itu seperti tersimpan sebuah turbin yang menyalurkan tenaga besar. Lagi-lagi aku menurut. Dengan langkah dan talam berisi kopi, aku ke ruang tamu. Kupasang muka seburuk mungkin. Sekusut mungkin.
      Sampai di ruang tamu, kuletakkan nampan itu di atas meja dekat ia duduk. Mengeluarkan gelas berisi kopi dari nampan, meraih nampan itu dan maksudku langsung minggat dari hadapannya. Tapi, sial. Tiba-tiba tangan berkerutnya mencekal lenganku dengan keras!
      ''Apa-apaan ini, Pak!'' kataku panik.
      ''Ssst. Diamlah,'' ia balas berkata. Bibir hitamnya begitu kokoh menampilkan senyum kemenangan.
      Lalu, masih mencekal tanganku sementara aku berontak, ia merogoh saku bajunya. Dan dari balik saku baju putih itu keluar beberapa lembar uang yang kini telah berada di tangan satu lagi. Kembali ia berbisik tenang; ''Ini. Kasihkan sama Ibumu. Dan sisakan buat Nita juga Yani...'' Uang puluhan ribu itu diletakkan begitu saja di atas taplak putih, samping kopi.
Begitu saja. Setelah itu ia melepaskan cekalannya pada tanganku. Dan kesempatan itu tak kusia-siakan. Aku segera melecut langkah ke belakang, tanpa menoleh lagi padanya, tanpa mengubris uang berpuluh ribu di atas meja. Karena ketakutan telah mendera habis-habisan dadaku. Sampai-sampai sesak dibuatnya. Bah!
      Aku tak tahu lagi bagaimana dan apa yang Ibu lakukan terhadap orang itu. Karena aku sudah terbenam di dalam kamar mandi. Merenung dan mengeluarkan sejuta sumpah serapah pada Ia. Lelaki bermata bejat itu.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Tiga puluh menit. Masih saja aku berada di dalam kamar mandi yang sempit ini tanpa ada niat sedikitpun untuk keluar. Dan masih terdengar sayup-sayup dari luar suara Nita-adikku nomor dua, juga Yani-adik bungsuku, menyerukan; ''Kami pergi, Kak!''
Kubalas; ''Iya, belajar yang baik!'' Masih dari dalam kamar mandi. Lalu kembali melanjutkan 'pertapaan' yang tertunda.
      ***
      Selesai juga. Akhirnya pembangunan gerbang kantor bupati hasil oret-oretan tanganku rampung seratus persen. Karena itu ada kebanggan tersendiri menatap bangunan berbentuk pintu masjid Madinah di hadapanku kini. Dengan ornamen-ornamen emas berbentuk kaligrafi, dan hiasan-hiasan terbuat dari berlian berkilauan ditimpa mentari siang. Gerbang itu seolah menawarkan kecantikan tersendiri. Aku berdecak tak tertahan.
      Lalu beberapa rekan kerja menyalami aku satu persatu. Wajah-wajah puas itu menyirami hatiku yang bermekaran bunga-bunga kebanggaan. Bangga karena sebuah karyaku telah bermanfaat, bangga sebab kuliah arsitekku selama lima tahun tak terbuang percuma. Dan bangga bisa menyenangkan orang lain. Meski itu kalangan birokrat saja.
      Dengan tersipu-sipu aku membalas tiap sodoran tangan orang-orang yang rata-rata lelaki itu. Dan dengan malu-malu aku menerima tiap pujian yang dilontarkan mereka. Meski ada ganjalan sedikit dihatiku.
Ganjalan itu adalah sebuah protes. Sebuah ketidaksenanganku terhadap kenyataan yang terpapar di hadapanku kini. Betapa. Betapa orang-orang yang berlindung di balik kursi-kursi empuk itu menghambur-hamburkan uang rakyat hanya untuk pembangunan sebuah gerbang. Gerbang kantor bupati. Kenapa tidak disumbangkan saja biayanya buat pembangunan beberapa masjid, gereja, atau bangunan khalayak lainnya yang telah sekian tahun terbengkalai karena kekurangan dana. Apakah masih perlu politik mercusuar-nya Sukarno dipakai di jaman berkeadilan sekarang ini? Betapa!
      Tapi lagi-lagi aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku ibarat buih-buih air di atas permukaan laut. Kecil, mengapung dan tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan alurku mengikuti tarian laut. Kadang ke pantai, kadang ke tengah samudera, dan kadang menghantam terumbu karang.
      Lepas ramah-tamah kesuksesan tersebut. Aku melangkahkan kaki menuju tepi trotoar. Menyetop sebuah angkot, lalu ikut tenggelam di dalamnya, menuju pulang. Karena nanti sore aku diundang ke rumah dinas bupati buat merayakan kesuksesan kerjaku.
      Di dalam angkot, banyak memori yang berputar mengelilingi arus pikiranku. Diantaranya kenangan pahit semasa kuliah. Betapa sulitnya aku, seorang gadis dari keluarga menengah ke bawah mengikuti perkuliahan arsitek yang menuntut banyak biaya. Dan alangkah sulitnya ibuku, wanita yang tak lagi bersuami itu memenuhi segala keperluanku. Sementara dua adikku yang masih kecil-kecil juga menuntut ini-itu atas dasar jiwa kekanak-kanakannya.
      Setahun kuliah, aku benar-benar tergantung pada ibu. Sampai akhirnya rekan se kampusku menawarkan sebuah proyek pembangunan rumah susun di kota tempatku kuliah. Tentu saja aku terima dengan hati girang, dan syukurlah, kerjaku berhasil dengan gemilang. Uang hasil honor meski jadi kenek rekanku bisa buat melunasi uang semester, juga kamar kostku selama enam bulan. Sejak itu aku dibantu rekanku yang bernama Tuti itu menjadi tenaga arsitek bayaran. Begitu terus hingga aku menamatkan kuliah dua minggu lalu. Kemudian aku kembali ke sini. Ke kampung kelahiranku dengan membawa gelar sarjana.
      Dua minggu di sini, aku mendapati senyum cerah Ibu tiap kali menatap mataku. Ia sangat bangga atas keberhasilanku, atas gelar kesarjanaanku. Dan Nita, dan Yani juga menampakkan senyum yang sama. Dan, ah, betapa senangnya aku melihat mereka tertawa gembira menyambut kelakarku yang kadang-kadang tak lucu. Dan, ah, senangnya bisa membuat orang tersayang bahagia. Bahkan Ibu, dengan lincahnya ke tetangga-tetangga sebelah menceritakan tentang aku, tentang aku yang sarjana kepada mereka. Hingga seluruh warga komplek tempat aku tinggal tahu mengenai diriku. Ah, ibu.
      ***
      Tiba di muka pintu, aku ketuk daunnya beberapa kali. Namun tak ada jawaban. Kuketuk lagi, juga tak ada yang menyahut. Setelah sekali lagi, barulah aku menarik keluar kunci dari dalam tas sandangku.
Pintu terbuka, aku masuk, kulepas seluruh sepatu lengkap dengan kaos-kaosnya. Lalu kutenggerkan begitu saja di bawah meja bundar dekat pintu. Aneh, sudah pukul satu empat lima Ibu belum pulang juga. Padahal pukul satu tepat, seperti biasanya, wanita yang melahirkanku itu telah menyambutku dengan sebuah senyuman manis. ''Mmmm, barangkali langsung ke pasar...'' bisikku menghibur. Kembali kuayun kaki menuju kamarku.
      Baru sampai di lantai kamar... Brak!
      Aku tersentak. Jantungku serasa terbang sesaat. Detakan itu hilang! Ada apa? Namun belum juga sadar akan apa yang terjadi, sebuah lengan milik seseorang entah siapa telah berhasil mencekal leherku. Dan ia mendorong tubuhku keras ke atas ranjang!
      Aku keluarkan pekik tertahan seirama dengan hempasan tubuh di kasur. Aku tertelungkup. Sesaat. Detik berikut sosok misterius itu telah membalikkan tubuhku hingga kini aku berada di bawahnya!
      ''Pak. Lepaskan aku! Lepaskan!'' teriakku tak tertahan demi melihat penyerangku. Ia tak lain lelaki yang beberapa minggu ini mengusik kamar kebencian hatiku.
      Dengan menyeringai ia berkata; ''Tenang saja kau. Biar kuajarkan sedikit tentang bercinta pada kau. Sebab kau akan memerlukan ini.'' Kemudian lelaki itu menempelkan sebuah belati berkilauan di leherku. Sementara tubuhnya masih menghimpit aku.
      Panik. Kujambak rambutnya. Kumaki-maki dirinya, lalu kukibas-kibaskan kakiku ke sana-ke mari, namun sia-sia. Lelaki tua itu masih tangguh dibanding aku. Meski telah berumur, tenaganya seperti seekor kuda. Amat kuat!
Berikutnya, ia membisikkan ancaman-ancaman di telingaku. Rasanya ancaman itu tak ubahnya air dari pancuran menuju laut. Sangat panjang dan dingin. Tetapi ancaman yang dikeluarkan lidah berbisa lelaki tersebut, bukanlah sembarang ancaman. Melainkan pengungkitan peruntungan demi peruntungan. Penggalian kembali hutang budi. Dan sekarang, aku berada di pihak yang berhutang. Atas itulah aku pasrah. Benar-benar pasrah
      Bahkan aku tak sedikitpun mengeluarkan tenaga ketika ia perlahan-lahan melucuti pakaian hingga tubuhku kembali seperti bayi. Dan masih dalam kediaman yang menderita ini, kutatap langit-langit kamar ketika kesucianku direnggut oleh lelaki bejat itu dengan mata kosong, dengan pikiran gamang, dan dengan harapan masa depan yang telah pupus. O, apalagi yang ditawarkan seorang gadis kepada mempelainya kecuali kesuciannya?
      Lalu air mata itu tak bisa dibendung lagi. Ia mengalir sejadi-jadinya diantara kemarau hatiku. Semestinya airnya cukup menyuburkan kuncup-kuncup sebuah mawar, dan menjadikan kuncup mawar itu setangkai kembang yang amat elok rupa. Tapi tidak, air itu hanya bisa membasahi pipi, turun ke telinga, lalu mendarat di kasur bersprei putih. Untuk kemudian membentuk genangan besar berbentuk danau. Dan danau itulah perlambangan kematian seorang gadis!
      Beberapa menit kemudian, usai melampiaskan nafsu bejatnya, ia meninggalkan tubuhku dengan ringan.
      ***
      Meja makan siang menjelang sore ini terasa benar-benar tak nyaman. Tak ada kata-kata sedikitpun keluar dari mulut aku, begitu juga Ibu. Yang ada hanya selingan celetukan Nita dan Yani berusaha mengeluarkan alkisah sekolah mereka hari ini. Namun akhirnya mereka ikut-ikutan diam ketika aku, juga Ibu sama sekali tak menanggapi kelincahan kicau mereka. Maka, suasana di meja makan kini ibarat menghadiri sebuah pertapaan. Hening, amat hening.
Belum habis seluruh lauk di piring, kubasuh tangan begitu saja di cobek. Lalu kubawa sendiri piringku ke dapur--hanya beberapa langkah dari meja makan. Sementara mata Ibu mengikuti gerakanku tanpa berkedip!
      Ah, Ibu. Tiba-tiba getaran tangis itu kembali bergelegak. Ledakan air mata itu terasa menyentak-nyentak ingin keluar. Apalagi penderitaan yang baru kualami sejam lalu, seakan ingin melesat keluar melalui lidah ke telinga Ibu.
Tapi tak jadi. Aku hanya melarikan diri ke kamar diiringi panggilan sayup dari Ibu; ''Sri...''
      Kubenamkan kepalaku pada bantal putih, kubiarkan seluruhnya tumpah di bantal empuk itu. Maka kuyuplah ia diterpa badai tangisku yang menjadi-jadi. Dan aku tak mengubris sedikitpun panggilan ibu dari luar; ''Sri, kau kenapa. Apa tak jadi pergi ke rumah bupati. Sekarang sudah pukul 3 sore nak, acaranya pukul 4 tepat seperti yang kau ceritakan kemarin.''
      Kututup telingaku rapat dengan mengkerutkan bantal. Sementara lapat-lapat masih terdengar suara ibu memanggil-manggil di luar pintu.
      ''Ayo, Sri. Bergegaslah mandi sebelum adik-adikmu mandi. Apa tak ingin kau kenal sama bupati?''
      ''Sri....?''
      ***
      Hari-hari berikut aku persis mayat hidup. Berjalan tanpa jiwa tanpa harapan. Semuanya telah pupus dalam santapan kekejian moral lelaki bangsat itu. Lelaki udzur dengan perlengkapan tubuh yang telah memutih semua. O... aku adalah mayat hidup. Sebentuk tubuh tanpa jiwa, tanpa harapan.
      Ibu. Maafkan aku yang tak suci lagi ini. Maafkan karena aku tak dapat melawan sedikitpun ketika ia menghabisi sebuah tameng yang selama ini kau wanti-wanti aku agar menjaganya dengan ketat. Sungguh, Ibu. Aku telah berupaya semaksimal mungkin hingga kemarin pun, pagi kemarin, aku masih berhasil menahan tameng itu agar tidak terlepas. Namun, siangnya Ibu. Siang petaka itu, adalah akhir dari seluruh perjuanganku selama ini. Ending segalanya.
      Aku terus menangisi hari-hari kedepan sejak kejadian memilukan tersebut. Sejak pemerkosaan yang dilakukan oleh dia. Dan sejak itulah, mulai dari bangun pagi, beres-beres dapur, menyiapkan perlengkapan sekolah adik-adik, menghidupkan kompor hingga siang sepulang kerja dari kantor kontraktor, aku sama sekali tak pernah melepaskan barang sehelai kesedihanpun. Walaupun di depan ketiga orang yang kusayangi aku mesti berminyak air dengan pura-pura tersenyum, tertawa dan sedikit menyapa mereka. Tapi, sumpah. Tak ada ketulusan sedikitpun dari tingkah dibuat-dibuat itu. Selain kesedihan demi kesedihan yang makin memberat.
      Tuhan. Adakah kemalangan yang lebih malang dari pada kehilangan kesucian oleh sebuah pemerkosaan. Dan, ya Tuhanku. Apalagi pemerkosaan itu dilakukan kembali, kembali dan kembali hingga berkali-kali pada waktu dan suasana yang sama. Ketika siang, ketika baru pulang kantor, ketika tak ada seorang pun di rumah, ketika sekujur tubuhku perlu belaian kasur barang sejam dua jam. Maka ketika itulah kembali aku diberi 'jatah' yang tak pernah kusukai dari lelaki bejat itu.
      Bahkan kelakuan lelaki tua tersebut makin menjadi-jadi. Pernah sekali waktu, malam sekitar pukul sembilan tepat, ia tiba-tiba muncul di ambang pintu. Memanggil namaku berkali-kali. Lalu ibu menyahut, membukakan pintu, untuk kemudian menyeret aku ke hadapannya. Jadilah malam itu aku merasa tak ubahnya seorang wts yang dikunjungi tamu langganannya.
      Tapi untunglah aku tak mengubris kelakuan kurang ajar lelaki tua tersebut, sewaktu ia mulai meraba-raba tanganku, mengelus pipiku, dan ketika tangannya akan meraba paha, kutepis dengan keras sambil keluarkan sebuah ancaman; ''Jangan macam-macam, Pak. Aku akan teriak. Biar seluruh warga komplek tahu kekurangajaran Bapak.''
      Untunglah ancaman itu diambil hati oleh dia. Kemudian ia begitu saja ngeloyor keluar rumah tanpa permisi lagi pada ibu. Hal itu menimbulkan tanya Ibu padaku. Dan kujawab, ''tak tahulah.'' Kukurung tubuhku kembali ke kamar bersama adik-adik yang telah lebih dulu lelap.
      Sehabis malam itu ia tak pernah lagi datang malam-malam ke rumah kami. Kecuali siang, pada waktu yang sama dan suasana sama. Ketika aku baru pulang kantor, ketika tak ada seorangpun di rumah, ketika tubuhku perlu belaian kasur barang sejam dua jam. Ketika itulah kembali dia datang untuk memberi jatah.
      Hingga sebulan kemudian--sudah bisa ditebak, aku muntah-muntah. Permintaanku mulai macam-macam. Dari singkok bakar, rujak ketimun, sayur asam, durian emas hingga sop burung menjadi bahan rengekan demi rengekan keluar dari mulutku.
      Barulah Senin malam. Sehabis pulang pengajian Ibu menyeret aku ke ruang tamu. Aku masih sempat menatap jam dinding, pukul tujuh tepat. Adik-adik sedang bermain di rumah tetangga sebelah.
      Aku mulai berdebar-debar tak karuan apalagi batuk kecil yang Ibu keluarkan seperti ledakan bom di Nagasaki. Menggeletar hingga menyentakkan tubuhku ke belakang. Ah, aku benar-benar gugup. Dan tampaknya Ibu bisa membaca kegugupanku.
      ''Ibu mau kau jujur Sri.'' Ibu memutus kata sesaat. Ia benarkan jilbab putihnya. Wajahnya mulai pucat.
      ''Benarkah kini kau sedang hamil?''
Aku tergugu sesaat. Kutundukkan kepalaku menekur lantai sambil menjawab;       ''Tidak,'' namun tak sedikitpun keberanianku untuk membalas tatapan Ibu.
      ''Jujur Sri. Jujur! Kau sedang hamil, kan. Kau tengah mengandung anak entah siapa. Jawab dengan jujur Sri. Dengan jujur!!''
Ibu mulai meraung. Suaranya putus-putus. ''Ibu tak bisa dibohongi Sri. Ibu telah mengalami segala gejala yang kau tunjukkan beberapa hari ini. Karena itulah Sri, jangan bohongi Ibu.''
      Aku tertunduk makin dalam dan terus begitu hingga ibu berjalan menghampiriku. Ia lingkarkan tangan di pundakku sembari mendekatkan pipinya di rambutku.
      ''Sri... Ibu amat kecewa sama kamu, nak. Sangat kecewa...'' Ibu meratap. ''Meski begitu, anak yang ada di liang rahimmu adalah cucu ibu juga. Karenanyalah sudah sewajarnya jika Ibu tahu siapa bapak dari jabang bayi ini.''
''Katakan Sri. Katakan siapa ayahnya. Siapa yang telah menghamilimu! Kakatan, Sri! Katakan, cepat!'' gugu Ibu jadi teriakan. Makin keras, hingga tetangga-tetangga sebelah berdatangan lalu melongokkan kepala di balik kaca jendela.
      ''Ada apa? Ada apa?''
      ''Tak tahulah. Kelihatannya Bu Erni tengah memarahi si Sri, tuh.''
      ''Sri hamil...'' bisik yang lain.
      ''Ha? Hamil!''
      ''Iya. Kemarin saja ia muntah-muntah di depan warungku,'' Bu Nia yang punya warung simpang komplek menambahi. Lalu suara-suara sumbang bergemuruh memenuhi ruang tersisa malam itu.
      Tak lama tampak Nita serta Yani masuk, mereka peluk Ibu yang tengah menutup matanya. Ia terus menangis sambil membalas pelukan adik-adikku, malah makin keras kini. Sedang mereka, tetangga-tetangga kami hanya melihat dengan tatapan kasihan dan penuh tanda tanya. Seketika mukaku memerah.
Ibu semakin tak terkontrol. Ia meraung lebih, lebih, lebih keras lagi! Dan raungannya diikuti kedua adikku. Mereka ikutan menangis meski tak tahu sebab apa.
      ''Katakan, Sri. Katakan!''
      Aku tundukkan kepala sekali lagi. Pelan dan berat kupaksa lidahku menggeliat; ''Aku tidak bisa, Bu. Maafkan aku...''
      ''Keparat! Anak tak tahu diadat!'' Ibu beringas. Ia lepaskan dirinya dari pelukan Nita dan Yani. Kemudian tubuhku ditabraknya, dihajarnya hingga berkali-kali!
      ''Pergi kau! Pergi kau anak bengal! Pergi kau dari rumah ini. Tak pantas seorang durjana seperti kau tinggal di tempat kami yang suci ini. Dan mulai hari ini kau tak lagi anakku. Kau anak setan! Pergi! Pergi! Pergiiii!''
Suara Ibu sampai di oktaf tertinggi. Dengan gemetaran kupaksa kakiku berlari keluar pintu membelah lapisan berpuluh-puluh orang yang menonton. Masih sempat kulihat Nita-Yani berusaha mengejarku dengan tangisan seperti sembilu, menyayat-nyayat hati. Namun kupercepat langkahku hingga aku kini setengah berlari, meninggalkan mereka yang bergulingan di tanah sambil terus memanggil-manggil namaku.
      Aku telah sampai di tengah jalan ketika suara Ibu memanggilku berkali-kali. Serrr, ada sedikit harapan terselip. Mudah-mudahan Ibu berubah pikiran kemudian mengajak aku untuk kembali ke rumah. Lalu di sana, di tempat aku lahir dan tumbuh besar itu kami berdiskusi mengenai kemalangan yang menimpaku. Tetapi...
      ''Ini! Bawa barang-barangmu! Ingat. Jangan sekali-kali menginjak rumahku lagi. Jangan harap kuterima kehadiranmu meski hanya untuk melihat Nita atau Yani. Camkan Itu!''
      Usai berkata, Ibu melempar sekoper penuh pakaianku dan mendarat persis di atas ujung jempol. Aku meringis sakit. Kuangkat kopor itu, kutarik jariku yang terjepit. Setelah itu kutatap wanita yang melahirkanku dengan tatapan memelas. Tangisan itu, tangisan Ibu kini seolah banjir besar.
Barulah setelah beberapa detik kemudian, aku lanjutkan langkah dalam kepasrahan yang kupaksa-paksa mengalir di jiwa. Kepasrahan milik seorang tertindas.
      Angin membelai lembut rambut panjangku ketika kususuri jalan protokol kota ini menuju rumah Yuli, rekan sekantor. Sementara awan makin gelap, sesekali petir bergemuruh berkejaran di dadaku. Lampu-lampu jalan berkedap-kedip. Beberapa saat kemudian mereka, lampu-lampu jalan itu padam.
      Sambil menjinjing koper hitam di tangan kanan, aku seret langkah perlahan di atas trotoar. Kresek-kresek bunyi langkahku, degap-degup jantungku, dan gemeretakan grahamku akibat dingin semakin membuktikan hanya aku sendiri penghuni malam ini.
      Namun aku berusaha menetapkan prinsip di langkah-langkah yang makin gamang, bahwa lebih baik Ibu tak tahu siapa lelaki yang telah menghamiliku. Biarlah ia menganggap aku sebagai seorang wanita tak bersusila. Biarlah begitu. Sebab lidahku terlalu berat untuk berkata; ''Ibu. Lelaki yang anaknya kukandungi sekarang adalah Pak Swirta. Gaek setengah udzur jarak tiga rumah dari rumah kita.... Dialah Ayah dari bocah di rahimku ini.''
      Sungguh, Ibu. Aku tak sanggup mengatakan itu. Sebab Ibu, aku, tidak Nita-Yani atau orang sekampung tahu bahwa Pak Swirta adalah ayah kandungku. Lelaki yang telah menceraikan Ibu sejak sepuluh tahun lalu di kampung.
Kemudian kami bertemu kembali di kota ini tanpa sengaja. Saat itu tetangga sebelah habis kontrak. Mereka sekeluarga pindah ke kota propinsi. Dua hari kemudian, masuklah tetangga baru yang tak lain Ayah bersama isteri dan anak barunya.
      Sejak itu Ayah sering mampir ke rumah. Ia berusaha meredam mulut kami agar tidak membuka rahasianya kepada isteri, anak, serta warga sini mengenai dirinya. Jadilah ia membantu perekonomian Ibu yang memang morat-marit hingga aku berhasil menamatkan perkuliahan.
      Atas dasar itulah aku sama sekali tak melawan ketika ia menindih tubuhku. Bahkan berkali-kali, aku tetap tak berkutik. Sebab hanya dengan beginilah aku merasa segala hutang budi itu bisa terbalas. Hanya dengan cara begini....
      ***
      Tiga tahun kemudian, aku menikah dengan Mas Zul, lelaki tampan dan mapan di sebuah hotel berbintang empat kota propinsi. Pernikahan kami seperti pesta raja-raja keraton. Amat meriah. Para undangan datang silih berganti hingga kursi-kursi yang telah disiapkan tak sanggup menampung. Pelataran parkir seolah dikerumuni sekelompok semut, penuh sesak oleh mobil-mobil, sepeda motor, pokoknya hari itu milik kami berdua. Kebahagiaan ini, kebanggaan ini, dan kehampaan ini berbaur dalam deru-deru jantung. Namun tetap saja kurasa sepi tanpa kehadiran Ibu.
      Di sampingku duduklah Putri. Anak hasil benih ayahku itu sudah berusia 12 tahun, dan kini tengah terbungkus gaun putih dengan polesan make-up di mukanya. Putri terlihat sangat cantik. Apalagi rona kebahagiaannya setiap kali memperhatikan aku bersalaman dengan tetamu terlihat sangat tulus. Ia tak jarang mengedipkan sebelah matanya ke aku.
      ''Mama cantik.''
      Kucubit lengannya. Putri meringis.
      Sepuluh tahun berlalu, sepanjang waktu itu aku merasakan surga dunia. Punya suami pengertian, rumah mewah, teman-teman golongan elit, dan dikarunia dua orang putri. Maka lengkaplah seluruh kebahagiaan itu. Apalagi Putri kini telah tamat es-em-u dan tengah ikut tes masuk perguruan tinggi favorit. Ah, Ibu. Andai kau lihat betapa berhasilnya anakmu ini, kau pasti akan bangga telah melahirkan aku.
      Namun di dunia ini tak ada yang abadi, tak ada kata untuk selamanya. Sebab, dua tahun kemudian Mas Zul menceraikanku. Alasannya tak banyak;       ''Aku terjebak, Sri.''
      Ya, Mas Zul bilang ia terjebak oleh wanita simpanannya yang tak lain seorang wts. Wanita itu mengaku telah mengandung anak Mas Zul. Mungkin memang benih Mas Zul, mungkin benih berpuluh lelaki lain. Entahlah, aku terlalu sakit untuk beranalisa. Tapi yang pasti sejak dari awal pernikahan kami Mas Zul tidak pernah menerima kehadiran Putri sebagai putrinya. Sebab bagaimanapun Putri bukanlah dari benih Mas Zul.
      Seperti yang ia katakan di hari perpisahan itu, tatkala magrib bergelimangan adzan dan bedug bertalu-talu; ''Maafkan aku, Sri. Aku tak bisa lagi menahan kemunafikan yang selama ini kupertontonkan kepada kamu. Aku telah membohongi diri sendiri bahhwa aku tak bisa menganggap putri sebagai anakku, karena ia memang bukan anakku. Dan hari inilah kulepas segala embel-embel kepura-puraan itu, hari ini juga akhir segala drama hidup yang aku lakoni. Aku hanya berharap agar kamu sudi merawat kedua anakku, Dian dan Siswa. Bimbing dia pada nilai-nilai moral yang jauh dari kemunafikan. Jujurkan jiwanya, Sri.... Jujurkan anak-anak kita...''
      Setelah berkata pada maghrib kala itu, aku tak lagi menjumpai wajah tampan Mas Zul. Karena ia telah memutuskan tali perkawinan ini dengan talak satu, artinya tak ada kesempatan untuk kembali. Oh, Mas Zul. Oh, suamiku. Oh, malangnya aku.
      Mulailah hari selanjutnya wajah ibu seperti ada di mana-mana. Di dinding kamar, di daun jendela, di pintu, di lantai, di langit-langit kamar, dimana saja mata kuarahkan wajah ibu ada disitu. Dengan muka keruh penuh kesedihan. Ah, Ibu, aku rindu engkau.***

Jambi, April 2002