PhotoDisc24066
 Home
 Revelation
 US Congress
 News
 Fake Photo
 Taiwan JP
 Website Link
 Kompas 27-Aug-98
 Hacking
 Taiwan Denial
 It is a Conspiracy
 Why?
 Explanation
 Romo Sandyawan
 More Donation?

Join our mailing list.

BuiltByNOF
 It is a Conspiracy

Gatra Nomor 41/IV, 29 Agustus 1998 PEMERKOSAAN MASSAL

Memang Ada Atau Konspirasi

Beberapa pihak mulai khawatir isu tentang pemerkosaan massal hanya bagian dari konspirasi global.

TUDUHAN balik menerjang para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mereka yang selama ini meramaikan dugaan terjadinya pemerkosaan massal dalam kerusuhan yang terjadi 13-14 Mei lalu.

Pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam membentuk Liga Penegak Kebenaran dan Keadilan (LPPK) untuk menimpali aksi aktivis LSM yang dinilai telah membikin Indonesia babak belur di mata dunia internasional. Para pendiri LPPK itu antara lain Laksamana Muda (purnawirawan) Adang Syafaat (Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia), Abdul Qadir Djaelani (Rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam), dan Ahmad Soemargono (Ketua Pelaksana Komite Independen untuk Solidaritas Dunia Islam). Tercantum pula wakil-wakil dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Solidaritas Muslim, dan sederet organisasi Islam lainnya.

Lewat konferensi pers di kampus Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, Selasa pekan lalu, mereka membacakan lima halaman pernyataan keprihatinan. Dalam pernyataan itu mereka menyesalkan dan mengecam anggota masyarakat dan aktivis LSM tertentu yang tanpa bukti sahih telah melemparkan fitnah mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan keturunan Cina dalam kerusuhan itu. Fitnah itu, menurut mereka, langsung atau tak langsung telah mendiskreditkan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Maka, di antara sejumlah tuntutan LPPK, mereka meminta kepolisian memeriksa LSM dan individu yang menyebarkan isu tanpa bukti.

Sementara itu, Dewan Reformasi Pemuda dan Mahasiswa Surabaya (Derap Massa), mengungkap apa yang disebut organisasi ini sebagai "konspirasi global untuk memberi citra buruk pada Indonesia". Derap Massa menyingkap belangnya foto-foto korban pemerkosaan di internet dan yang kini secara luas dipercaya sebagai buah peristiwa kerusuhan pada 13-14 Mei lalu. "Foto-foto itu palsu dan bohong belaka," kata Rosdiansyah, anggota presidium Derap Massa.

Foto-foto itu, menurutnya, bukan dijepret sewaktu kerusuhan terjadi, melainkan diambil dari buku Free East Timor yang terbit di luar negeri. Semuanya menggambarkan nasib tragis korban pemerkosaan di Timor Timur, dan sudah disebarkan Fretilin sejak 1990 untuk memojokkan Indonesia. "Foto itulah yang kini dipakai demonstran di Filipina dan Singapura untuk memojokkan negara ini," ujar Rosdiansyah, yang tak suka mendengar istilah "pemerkosaan massal", karena menyiratkan pesan jumlah korban amat besar.

Angka korban yang disodorkan oleh mereka yang mensinyalir adanya kisah tragis itu memang tak kecil. Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dengan Sekretaris Romo Sandyawan, pendiri Institut Sosial Jakarta, misalnya, mengaku memiliki data 168 korban. Warga Solo, Jawa Tengah, juga dikejutkan dengan angka 24 korban.

Selama tiga bulan, isu itu terus berkembang. Bahkan ada E-mail yang berani mempermainkan kata-kata suci umat Islam. Baru belakangan, setelah banyak pihak melakukan pelacakan, keraguan pun terbit. Selain Derap Massa dan LPPK, ada lagi yang tak percaya. Misalnya Pendeta Estefanus, anggota Tim Relawan yang juga Pimpinan Gereja Utusan Pantekosta, Jemaat Pasar Legi, Solo. Ia menulis surat kepada Kepolisan Wilayah Surakarta. "Kasus pemerkosaan terhadap 24 wanita keturunan Tionghoa di Solo itu tidak benar," tulis Pendeta Estefanus.

Kenyataan serupa dialami para relawan dan aktivis di Jakarta. Hartati Murdaya, relawan dari Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) hingga pekan lalu mengaku belum menemukan seorang korban pun.

Keraguan yang dilandasi argumentasi ilmiah pun dikemukakan. Semisal oleh para guru besar Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. "Secara ilmiah dan penalaran logika, tak mungkin orang berhubungan seks dalam situasi hiruk-pikuk. Apalagi disertai pembakaran. Orang akan memilih lari menyelamatkan diri dan barang yang dimilikinya. Jadi, pemerkosaan itu tak mungkin terjadi," kata Profesor Sofyan Aman, guru besar universitas tersebut.

Sementara itu, polisi yang turun ke bekas lokasi-lokasi kerusuhan dan menanyai para saksi belum memperoleh bukti. Mungkin karena itulah Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Letnan Jenderal Roesmanhadi sempat mengancam untuk menggugat LSM kalau hanya menyebarkan berita bohong.

Ancaman Kapolri segera disambar mereka yang mengumpulkan bukti. Lewat media massa mereka meminta Kapolri mencabut ucapannya -yang kemudian memang dicabut. "Pemerkosaan merupakan masalah sensitif, khususnya bagi kaum hawa. Korban akan mengalami kehancuran mental. Mereka takut mengungkapkan nasib secara terbuka. Jadi, tak gampang mengusut kasus ini," kata Drajat Soemitro, anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), lembaga yang dibentuk berdasarkan instruksi Presiden B.J. Habibie. Ancaman Kapolri, menurut Drajat, akan menambah takut para korban untuk bersaksi. Pekan lalu memang ada 10 wanita yang bersedia bersaksi, namun tak jadi. Belum jelas betul, apakah itu dikarenakan ucapan Kapolri.

Singkatnya, isu pemerkosaan massal dalam kerusuhan masih kontroversial. Marzuki Darusman, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ikut dalam TGPF, percaya bahwa kasus itu ada. Hanya jumlahnya perlu diteliti. Tapi tak bisa diabaikan pula sikap pihak lain seperti Derap Massa -juga LPPK- yang meminta bukti, karena merasa cemas kalau-kalau isu cuma bagian dari konspirasi global untuk menjelekkan citra Indonesia dan mendiskreditkan umat Islam.

Priyono B. Sumbogo dan Tuti Herawati