|
Wawancara dengan Tabloid ADIL 26 Agustus - 1 September 1998
ADIL (A): Foto-foto yang diklaim sebagai korban perkosaan 13-14 Mei muncul di internet. Bagaimana Anda melihat hal itu?
Sandyawan Sumardi (SS): Saya jadi begitu pedih dengan usaha sistematik untuk mendiskreditkan data-data Tim Relawan. Bagi saya itu counter politik, karena kami sendiri tidak pernah menggunakan gambar-gambar perkosaan itu sebagai data. Kami merasa itu adalah usaha untuk mendiskreditkan Tim Relawan. Karena ada dua homepage yang menggunakan nama Tim Relawan dan menyebarkan gambar-gambar itu. Padahal gambar-gambar itu adalah rekayasa komputer, kebanyakan dari kasus Timor-Timur.
Itu hanya bisa dibaca bahwa itu adalah teror terhadap etnis Cina yang memang sudah banyak menjadi korban perkosaan. Tetapi kekaburan yang ada di internet itu janganlah dimasukkan sebagai data. Kalau mau tahu data kerusuhan itu hanya ada di dokumentasi awal no.3 Tim Relawan tentang perkosaan.
(A): Apakah nanti detail data indentitas korban dapat dibuka?
(SS): Sekarang sedang diverifikasi oleh TGPF. Sebagian besar data TGPF itu adalah data dari Tim Relawan. Cuma memang kita pakai proses yang lebih holistik, bukan legalistik semata. Saya juga sudah ngomong, bahwa korban perkosaan saya ajak untuk memberi kesaksian di Kongres Amerika dan di Geneva.
(A): Berapa korban yang Anda ajak ke sana? (SS): Tiga orang. Satu dari wakil kaum miskin urban yang adiknya itu dibakar dalam kerusuhan. Dia saudara dari Pak Ustadz di daerah Klender. Lalu seorang korban kerusuhan yang istri dan dua anaknya meninggal, kemudian satu lagi korban perkosaan.
(A): Korban pemerkosaan mau memberikan kesaksian?
(SS): Ya. Kami serahkan padanya waktu sepuluh menit, terserah mau memberikan kesaksian atau tidak. Ternyata dia memilih mau. Ternyata dia tidak hanya membawa masalah penderitaan perkosaan dia sendiri, justru dalam waktu satu minggu, dia mempelajari kasus perkosaan di Aceh. Dia mengungkapkan hal itu dan melakukan pembelaan. Menurut saya pengakuan ini betul-betul punya visi. Saya terus terang bangga dan terharu dengan sikap dia.
(A): Kapan kesaksian itu dilakukan di Indonesia?
(SS): Saya kira kalau teror-teror dan ruang kepengapan politik ini dibuka, dihentikan, saya kira mereka akan mau.
(A): Tanpa menunggu kesaksian korban, bisakah kasus ini dibongkar?
(SS): Ya. Artinya kita memang tidak perlu memutlakkan investigasi formal dari TGPF, tapi advokasi masyarakat. Semacam exchange program secara luas, misalnya jangan hanya kasus kerusuhan Mei saja, tapi juga kasus Tanjung Priok, Aceh, Irian, Timtim itu diungkapkan saja. Itu nanti akan ketahuan.
(A): Bagaimana dengan kerja TGPF?
(SS): Agak lambat memang, Tapi baik daripada tidak dilakukan.
(A): Apakah TGPF memverifikasi data yang disodorkan Tim Relawan?
(SS): Ya. TGPF akan memverifikasi ulang. Cuma, mestinya saksi-saksi itu banyak didatangkan dari data Tim Relawan, sehingga ada kesepakatan bahwa cukup dua anggota TGPF yang bertemu korban. Dan itupun dipilih oleh korban sendiri. Sebetulnya itu juga luar biasa mengingat korban perkosaan di Aceh, baru terungkap setelah sembilan tahun. Seperti korban perkosaan di Bosnia, itu tidak selalu butuh pendekatan legalistik yang mengharuskan te stimoni publik. Apalagi menurut UU di Indonesia (perkosaan-red), kan harus ada penetrasi. Atau dijawab begini, memang setiap hari ada perkosaan, tapi kan nggak dilakukan secara massal?
(A): Pers sendiri kesulitan mem-blow up lantaran publik menuntut bukti kongkrit, yakni kesaksian korban?
(SS): Tanpa sadar pers telah melakukan pressure terhadap korban. Maksudnya baik, tapi dengan diburu seperti itu, pers hampir sama perannya dengan polisi. Padahal sebetulnya pers bisa membantu proses penyelidikan, bukan penyidikan. Jangan mudah terjebak pada pertarungan horisontal yang menjadikan kita kehilangan substansi perkara untuk penyelesaian kekerasan politik ini.
(A): Selain lewat kesaksian, baik dari korban ataupun saksi mata, cara apa yang bisa dilakukan untuk membongkar kasus ini?
(SS): Seperti diusulkan oleh TGPF. Kita tanyai dulu para pejabat yang bertanggung-jawab pada saat terjadinya kerusuhan. Kenapa sampai ada kevakuman militer?*** |