Balada Bocah Seratus Perak

Hampir tiap perempatan jalan kota ini diwarnai pengamen dan pengemis. Ironisnya, sebagian diantara mereka adalah anak-anak.

Tiap pagi, ketika jam bergerak di angka 7-9 pagi, mereka beraksi di tengah kebisingan. Kala matahari tepat di atas kepala, wajah mereka mulai nampak lelah. Peluh keruh yang mengalir di kening, beradu nasib dengan asap knalpot. Sementara, 10 meter dari tempat mereka meminta, ada wanita -yang mungkin saja ibunya-duduk bisu memandang. Tatap matanya tak peduli, sama halnya dengan keberpihakan Sang Nasib yang bagi dia entah berada di mana.

Asap mengepul, lalu jari-jari mungil itu menengadah. "Seratus aja, pak," kata Bocah Kecil. Lalu ada pengendara motor merogoh saku dan mengluarkan Rp 500. Wajah Bocah Kecil girang. Melapor pada teman-teman senasibnya. Beberapa jurus kemudian, Si Pengendara Motor terbelalak. Ia dikerubuti empat teman Bocah Kecil. "Eits, yang tadi aja dibagi," katanya setengah jengkel. Beruntung, lampu merah membubarkan kerumunan kecil itu.

Lalu, ketika pengguna jalan berlalu lalang, Bocah Kecil dan teman-temannya mengerumuni wanita yang mungkin ibunya tadi. Bercanda, menunggu pujian, ada pula yang tak berdaya karena jumlah rupiah digenggamannya tak sebanyak rekan-rekan yang lain. Fragmen hidup yang rapuh.

Di seberang jalan yang panas tak peduli, sebingkai baliho berdiri megah. Menawarkan mimpi. Menyajikan tawaran diskon baju lebaran, Natal dan tahun baru. Ada angka 40 persen, bahkan 70 persen. Atau di sudut lain, ada papan bertuliskan ucapan selamat yang dikikis problema kota sehingga tak memiliki makna.
"Aku nggak ngerti diskon itu apa," tukas Bocah Kecil ketika duduk melahap nasi bungkus seribuan. Kalaupun mengerti, kemudahan itu hanya akan jadi omong kosong yang layak dihadapi dengan lidah sinis. "Walau dipotong 95 persen, saya tidak bisa beli. Mak minta aku pakai baju lebaran mas-ku," kata Bocah Kecil, mengunyah tahu goreng, bergaya nikmat dan lupa diri.

Sebuah sedan hitam melintas. Meninggalkan adegan kecil ; anak kecil bertampang bersih yang melongokkan kepala di jendela, mencari tahu dongeng kemelaratan. Tangan-tangannya menggapai jendela, tapi dicekal ibunya. Mungkin lebih baik begitu. Daripada ia tahu, bahwa hidup punya dua pintu. Untuk yang punya dan yang tak punya. Atau untuk yang bisa makan burger dan yang tak bisa makan burger. Belajar dari zaman, mereka yang memahami perbedaan bisa berperilaku aneh. Selagi duduk di bangku kuliah, angan bisa meliar dan bergerak di selembar poster jalanan. Saat duduk di meja kerja, pikiran mengembara di meja diskusi aktifis buruh. Wah, bisa berbahaya!

Biarlah ia jadi anak yang tak peduli. Konsentrasi menggapai mimpi jadi yang terbaik di arena global. Industrialis mapan yang bisa muncul di televisi, bahkan bila perlu punya stasiun televisi. Toh bicara amal ada waktunya. Menjelang lebaran atau Natal.

Biar orang lain yang bicara kemanusiaan, toleransi, kepedulian, atau ideologi-ideologi yang ndakik. Jika nanti ada penculikan, biar mereka juga yang merasakan. Jika nanti ada peran kere, biar mereka juga yang merasakan. Masa biasa makan burger dipaksa makan tahu. Kayak Bocah Kecil itu. Duduk di tepi jalan. Mengelilingi sebungkus nasi, bersama sudaranya atau entah siapa.

Siangpun bergerak senja. Kota ini berubah warna. Orang-orang beranjak pulang, menemui istri, anak atau simpanannya yang menunggu di kamar hotel sebelah mana. Bocah Kecil, bersama saudara, teman, atau entah siapa, menuruti langkah kaki wanita, ibu, atau entah siapa, yang tadi sabar menunggu. -hd laksono


daftar artikel

Perang Abadi
Jeffri tergagap. Bagaimana mungkin, gedung perkantoran, plaza, hotel, bank, jalan raya, kendaraan yang lalu lalang di tengah asap knalpot, mendadak raib dan berubah menjadi ladang pembantaian. Ribuan orang berpakaian - astaga!-wayang orang, berjibaku, saling tendang, hajar, sikut, adu pedang, tancap tombak, sabet golok, melahirkan darah dan erang kesakitan.

Antara Robin Hood dan Shawn Fanning
Pernah nonton film Robin Hood? Ya, dia adalah jagoan yang hidup pada abad pertengahan di Inggris. Karena suatu sebab, anak bangsawan ini harus bersembunyi dalam hutan dan bersekutu dengan perompak. Ia juga bersatu dengan kaum pinggiran yang tersingkir dari mahalnya kehidupan kota.

Moralitas dan Kebutuhan Mata
Suzi yang malang. Kapan hari, ia masih leluasa berlenggak-lenggok di kantor. Menyapa teman kerja, satpam, kabag keuangan, office boy sampai boss di ruang direktur.

Mengapa Harus Jakarta?
Mengapa Jakarta masih jadi pusat mimpi? Setiap orang yang ingin sukses dan mewujudkan mimpi, selalu diajak ke Jakarta. Lihat artis-artis dari Bandung, Surabaya atau daerah-daerah luar pulau Jawa, setelah sukses, mereka harus hijarah ke Jakarta.

Filter itu Bernama Akal Sehat
Timothy McVeigh sedang menghitung hari. Lewat proses pengadilan yang berat, McVeigh dinyatakan bersalah atas aksi peledakan bangunan Alferd P Murrah Federal Building di Oklahoma City pada 1995, yang menewaskan sedikitnya 168 orang. Hakim pun tak ragu menjatuhkan hukuman mati. Eksekusi bakal dilakukan 15 Mei mendatang.

Hanya Satu Jalan : Akrabi Internet!
Ada salah satu crew kami bercerita, temannya mau berinteraksi dengan internet gara-gara Iwan Fals. Sejak duduk di bangku SLTP, temannya sudah tergila-gila pada Iwan Fals. Saat kuliah di sebuah PTS Surabaya, ia sudah menghiasi kamarnya dengan koleksi kaset, poster, CD dan lain sebagainya tentang Iwan Fals.

Balada Bocah Seratus Perak
Hampir tiap perempatan jalan kota ini diwarnai pengamen dan pengemis. Ironisnya, sebagian diantara mereka adalah anak-anak.

Cermin Hati di Lampu Remang
Lewat tengah malam yang malas, wajah jalan mulai terasa lengang. Tukang becak dan sopir taksi menepikan sandaran rejekinya, lalu terlelap di jok yang entah berwarna dasar apa. Polisi lalu lintas tak nampak di titik-titik operasi SIM dan STNK. Mungkin mereka sedang butuh istirahat, lelah setelah seharian dihimpit tugas dan kebutuhan hidup yang makin berat.

Dot Com People
Internet adalah inovasi yang revolusioner. "Ia" merubah tatanan baku yang sebelumnya tak pernah jauh dari batasan tempat, waktu, kultur dan masih banyak lagi. Orang bisa berinteraksi dengan siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa harus berpusing-pusing mengurus biaya yang besar, ancaman fisik maupun non fisik.

Ideologi Klakson
Matahari tepat di atas ubun-ubun. Hujan yang biasanya turun deras, siang itu bersembunyi entah di mana. Mungkin sedang ngambek. Mungkin juga sedang ingin menguji, sejauh mana kebutuhan penduduk bumi pada Sang Hujan. Buntutnya, panas datang tiada terkira.

Kontradiksi Hati
Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, Suci selalu mendengar, betapa Indonesia adalah negeri yang kaya, makmur, aman, dan sentosa. Suci juga mendengar, Indonesia punya tanah yang subur. Rakyatnya ramah, murah senyum, dan memiliki toleransi yang mengagumkan.

Mencuri Waktu
Zulkifli duduk gelisah di belakang meja kayu jatinya yang berdiri anggun. Rambutnya tak lagi tersisir dengan rapi, acak-acakan, jadi korban jari-jari tangannya yang terus bergerak. Seperti pikirannya yang diperas untuk memahami sejumlah logika beku, atau matanya yang terus mengikuti baris-baris fakta di berkas kasus yang harus ia tuntaskan.

Mimpi Jadi Superman
Memasuki 100 meter pertama, Roy harus berhadapan dengan lyn bemo yang berhenti mendadak. Tanpa aba-aba yang cukup untuk berbagi waktu dengan akal sehat, sopir lyn itu langsung bergerak ke kiri untuk menjemput penumpang.

Mimpi Kota
Sajak yang bernada putus asa. Tapi Usman, 34, warga Medokan Semampir, dipaksa merasakan setiap saat. Sejak rumah ilegalnya digusur beberapa bulan lalu, ia terpaksa tinggal bersama dua keluarga lain di sebuah rumah darurat. Bulan depan, istrinya hendak melahirkan. Tak terbayang, betapa padat rumah yang ia tempati nanti.

Telkom, Onno dan Internetisasi
Rencana kenaikan tarif telepon sebesar 45,49 persen yang akhirnya disetujui DPR memang mengejutkan. Meski pada waktu yang hampir bebarengan, seabreg barang kebutuhan yang jadi konsumsi wajib sudah lebih dulu naik. Seperti banyak diberitakan media, dalam rapat internal Komisi IV DPR dipimpin Sadjarwo Soekardiman, usulan kenaikan tarif telepon akhirnya bisa dipahami atau disetujui.