Mimpi Kota

Surabaya makin padat,
Tak ada tempat untuk menggeliat,
Dihimpit harapan yang sekarat...

Sajak yang bernada putus asa. Tapi Usman, 34, warga Medokan Semampir, dipaksa merasakan setiap saat. Sejak rumah ilegalnya digusur beberapa bulan lalu, ia terpaksa tinggal bersama dua keluarga lain di sebuah rumah darurat. Bulan depan, istrinya hendak melahirkan. Tak terbayang, betapa padat rumah yang ia tempati nanti.

Dua hari yang lalu, kakak ipar Usman sempat datang dan menawarkan sebuah peluang. Kebetulan ada rumah kecil milik saudara di Lamongan tak lagi berpenghuni. Kabarnya, si pemilik rumah diburu polisi karena jadi bandar narkoba di Jakarta. Usman mengelus dada. Untuk kesekian kali, ia dihadapkan pada peluang untuk menempati rumah secara ilegal.

Sama-sama tak punya sertifikat atau bukti kepemilikan tanah. Usman tak habis pikir. Mengapa hidup yang sulit ini dibebani budaya legal formal yang serba ribet. Bukankah hidup ala Tarzan terasa lebih menyenangkan? Tak ada sertifikat tanah. Bila ada aksi gusur, kita masih punya ruang untuk bertahan. Tanpa ada cibiran, atau jadi tontonan.

Berbeda dengan perjuangannya dulu. Saat petugas datang di kawasan Tangkis Jagir Wonokromo, ia dan beberapa tetangga mencoba untuk terus bertahan. Sial sungguh sial. Kepada Usman dan warga lainnya, ada aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat berujar datar, "Sampeyan tidak mungkin menang. Kalau sudah bicara legalitas, Sampeyan dan teman-teman yang lain pasti kalah. Ini negara hukum".

Celaka dua belas. Usman kelimpungan mencari pegangan. Seandainya mungkin, ia ingin mencari segudang pengacara handal. Seperti yang dulu biasa memenangkan keluarga Cendana atau orang nomor satu di Partai Golkar.

"Bila mereka bisa menciptakan keajaiban di sana, mereka juga bisa menciptakan keajaiban di sini," gumam Usman. Tapi ini dunia sambal trasi. Bukan lingkaran kekuasaan yang letaknya entah dimana. Usman lagi-lagi merintih. Bingung mesti mengadu pada siapa.

Suatu ketika, ia pernah berkata pada istrinya. "Mengapa dulu kita menikah? Bukankah dengan hidup membujang, hidup jadi lebih tenang?" katanya. Tapi seperti garis nasib yang suka menggunakan logika jungkir balik, Usman dan gadis idamannya tak kuasa menahan hasrat. Sehingga sim salabim, selembar surat nikah tergeletak di atas meja akad nikah.

Usman tak bisa hidup ala Tarzan. Karena kultur masyarakat tak menghendaki keluarga Tarzan. Untuk pertama kali dalam sejarah, Usman mengiyakan hukum ini. "Seandainya tidak ada surat nikah, saya tidak bisa hidup tenang dengan istri saya," aku Usman malu-malu.

Tapi itu hanya awal. Karena setelah bumi perputar, Usman terpaksa menyajikan sesaji mimpi dihadapan Sang Istri. Berbekal rayuan gombal, ia meminta istrinya menjual kalung dan cincin untuk bekal ke Surabaya. Karena apa mau dikata, desa yang mereka tempati mulai terasa kecil untuk mewujudkan mimpi.

Usman dan keluarganya pindah ke Surabaya. Dan lima tahun sudah, ia masih mengayuh mimpi dari atas becak. Sesekali meraba Surabaya yang makin padat. Lalu tiba di rumah kecilnya yang tak ada tempat untuk menggeliat. Bila sudah begini, Usman menyadari, ia telah dihimpit harapan yang sekarat. Untuk beberapa saat, ia mulai berpikir kampung halaman.-hd laksono


daftar artikel

Perang Abadi
Jeffri tergagap. Bagaimana mungkin, gedung perkantoran, plaza, hotel, bank, jalan raya, kendaraan yang lalu lalang di tengah asap knalpot, mendadak raib dan berubah menjadi ladang pembantaian. Ribuan orang berpakaian - astaga!-wayang orang, berjibaku, saling tendang, hajar, sikut, adu pedang, tancap tombak, sabet golok, melahirkan darah dan erang kesakitan.

Antara Robin Hood dan Shawn Fanning
Pernah nonton film Robin Hood? Ya, dia adalah jagoan yang hidup pada abad pertengahan di Inggris. Karena suatu sebab, anak bangsawan ini harus bersembunyi dalam hutan dan bersekutu dengan perompak. Ia juga bersatu dengan kaum pinggiran yang tersingkir dari mahalnya kehidupan kota.

Moralitas dan Kebutuhan Mata
Suzi yang malang. Kapan hari, ia masih leluasa berlenggak-lenggok di kantor. Menyapa teman kerja, satpam, kabag keuangan, office boy sampai boss di ruang direktur.

Mengapa Harus Jakarta?
Mengapa Jakarta masih jadi pusat mimpi? Setiap orang yang ingin sukses dan mewujudkan mimpi, selalu diajak ke Jakarta. Lihat artis-artis dari Bandung, Surabaya atau daerah-daerah luar pulau Jawa, setelah sukses, mereka harus hijarah ke Jakarta.

Filter itu Bernama Akal Sehat
Timothy McVeigh sedang menghitung hari. Lewat proses pengadilan yang berat, McVeigh dinyatakan bersalah atas aksi peledakan bangunan Alferd P Murrah Federal Building di Oklahoma City pada 1995, yang menewaskan sedikitnya 168 orang. Hakim pun tak ragu menjatuhkan hukuman mati. Eksekusi bakal dilakukan 15 Mei mendatang.

Hanya Satu Jalan : Akrabi Internet!
Ada salah satu crew kami bercerita, temannya mau berinteraksi dengan internet gara-gara Iwan Fals. Sejak duduk di bangku SLTP, temannya sudah tergila-gila pada Iwan Fals. Saat kuliah di sebuah PTS Surabaya, ia sudah menghiasi kamarnya dengan koleksi kaset, poster, CD dan lain sebagainya tentang Iwan Fals.

Balada Bocah Seratus Perak
Hampir tiap perempatan jalan kota ini diwarnai pengamen dan pengemis. Ironisnya, sebagian diantara mereka adalah anak-anak.

Cermin Hati di Lampu Remang
Lewat tengah malam yang malas, wajah jalan mulai terasa lengang. Tukang becak dan sopir taksi menepikan sandaran rejekinya, lalu terlelap di jok yang entah berwarna dasar apa. Polisi lalu lintas tak nampak di titik-titik operasi SIM dan STNK. Mungkin mereka sedang butuh istirahat, lelah setelah seharian dihimpit tugas dan kebutuhan hidup yang makin berat.

Dot Com People
Internet adalah inovasi yang revolusioner. "Ia" merubah tatanan baku yang sebelumnya tak pernah jauh dari batasan tempat, waktu, kultur dan masih banyak lagi. Orang bisa berinteraksi dengan siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa harus berpusing-pusing mengurus biaya yang besar, ancaman fisik maupun non fisik.

Ideologi Klakson
Matahari tepat di atas ubun-ubun. Hujan yang biasanya turun deras, siang itu bersembunyi entah di mana. Mungkin sedang ngambek. Mungkin juga sedang ingin menguji, sejauh mana kebutuhan penduduk bumi pada Sang Hujan. Buntutnya, panas datang tiada terkira.

Kontradiksi Hati
Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, Suci selalu mendengar, betapa Indonesia adalah negeri yang kaya, makmur, aman, dan sentosa. Suci juga mendengar, Indonesia punya tanah yang subur. Rakyatnya ramah, murah senyum, dan memiliki toleransi yang mengagumkan.

Mencuri Waktu
Zulkifli duduk gelisah di belakang meja kayu jatinya yang berdiri anggun. Rambutnya tak lagi tersisir dengan rapi, acak-acakan, jadi korban jari-jari tangannya yang terus bergerak. Seperti pikirannya yang diperas untuk memahami sejumlah logika beku, atau matanya yang terus mengikuti baris-baris fakta di berkas kasus yang harus ia tuntaskan.

Mimpi Jadi Superman
Memasuki 100 meter pertama, Roy harus berhadapan dengan lyn bemo yang berhenti mendadak. Tanpa aba-aba yang cukup untuk berbagi waktu dengan akal sehat, sopir lyn itu langsung bergerak ke kiri untuk menjemput penumpang.

Mimpi Kota
Sajak yang bernada putus asa. Tapi Usman, 34, warga Medokan Semampir, dipaksa merasakan setiap saat. Sejak rumah ilegalnya digusur beberapa bulan lalu, ia terpaksa tinggal bersama dua keluarga lain di sebuah rumah darurat. Bulan depan, istrinya hendak melahirkan. Tak terbayang, betapa padat rumah yang ia tempati nanti.

Telkom, Onno dan Internetisasi
Rencana kenaikan tarif telepon sebesar 45,49 persen yang akhirnya disetujui DPR memang mengejutkan. Meski pada waktu yang hampir bebarengan, seabreg barang kebutuhan yang jadi konsumsi wajib sudah lebih dulu naik. Seperti banyak diberitakan media, dalam rapat internal Komisi IV DPR dipimpin Sadjarwo Soekardiman, usulan kenaikan tarif telepon akhirnya bisa dipahami atau disetujui.