Kontradiksi Hati
Waktu
masih duduk di bangku sekolah dasar, Suci selalu mendengar, betapa Indonesia
adalah negeri yang kaya, makmur, aman, dan sentosa. Suci juga mendengar,
Indonesia punya tanah yang subur. Rakyatnya ramah, murah senyum, dan
memiliki toleransi yang mengagumkan.
Kepentingan
umum selalu menjadi prioritas. Kepentingan pribadi, seberapapun hebat
ia dimunculkan, tetap wajib mematuhi azas 'kepentingan masyarakat banyak
lebih penting dari kepentingan pribadi atau golongan'.
Suci
juga masih ingat, bapak dan ibu guru selalu mengatakan, pemilu adalah
pesta demokrasi yang berjalan langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemerintahan
yang terdiri dari pemerintah pusat, daerah tingkat satu, hingga lurah
atau kepala desa, dipilih oleh rakyat dengan cara demokratis.
"Guru
kami juga pernah bilang, kesenjangan sosial itu hanya kisah isapan jempol.
Seluruh warga hidup di atas garis kemiskinan. Jikapun ada yang masih
belum beruntung, ini lebih disebabkan pada faktor kemalasan," tukasnya
suatu ketika.
Sedikit beranjak dewasa, Suci yang sudah kenal lipstik dan pembalut
wanita mulai kerap mendengar, masyarakat kita sangat menjunjung tinggi
moralitas. Kasus pencurian, perampokan, dan lain sebagainya, selalu
bermuara pada dikotomi 'orang baik-baik' dan 'orang jahat'. Artinya,
yang nyolong itu orang jahat. Kenapa nyolong? "Karena dia jahat,"
jawab Suci enteng.
Orang
jahat, lanjut dia, karena kurang mendapat didikan agama dan Pendidikan
Moral Pancasila. Orang jahat, tambah Suci lagi, biasanya berasal dari
kelompok masyarakat miskin yang malas mencari rejeki dengan cara halal.
"Hidup mereka di bawah jembatan, tepi sungai, atau di desa,"
pandang Suci.
Kemudian
hari berganti hari. Pun tahun, bergulir sepi, meluncur dalam lembaran-lembaran
baru. Kini, Suci duduk di kursi bobroknya, di rumah mungilnya, menimang
anaknya. Kebahagiaan tak terpancar dari wajahnya. Kasak-kusuk dari tetangga,
ia baru saja menjual salah satu dari anaknya, untuk mendapat biaya proses
kelahiran, obat-obatan dan susu.
Masih kasak-kusuk dari tetangga, beberapa minggu lalu Suci melahirkan
anak ke tiga. Tak disangka, anak yang ia lahirkan datang tak sendiri.
Ya, Suci melahirkan bayi kembar. Artinya, biaya kelahiran makin besar.
Juga susu dan obat-obatan.
Suci, maaf, hanyalah wanita korban urbanisasi yang terkapar di ladang
kemiskinan kota. Setelah tergila-gila pada seorang pria, ia rela menikah
dalam keterbatasan yang luar biasa. Kata orang, "Kawin modal dengkul".
Tak
lama kemudian, Suci melahirkan anak pertama, disusul setahun kemudian,
anak keduanya. Jika tetangga bilang 'Suci sedang ngebut', yang terjadi
sesungguhnya malah di luar dugaan. Kata Suci, "Suami saya tidak
sanggup beli kondom. Jangankan kondom, buat sarapan kadang tak ada.
Jadi sudah jamak, kami makan sehari dua kali".
Suci
yang malang. Anak pertama Suci yang malang. Anak ke dua Suci yang malang.
Dan kini, dua anak kembar Suci yang malang. Lewat uluran tangan tetangga
yang rela jadi perantara, Si Kembar harus berpisah. Tak jelas, orang
kaya mana yang mau membeli bayi Suci.
"Tak
jadi soal. Saya ikhlas. Di akhirat nanti saya siap mempertanggung jawabkan
semua ini. Lagian, anak itu saya jual demi adiknya," tukas Suci
yang kini merenung di kursi bobroknya, di rumah mungilnya, sambil menimang
anak kembarnya yang masih tersisa. Jauh di dasar hatinya, jauuuh, jauh
sekali, berjubal dengan kepentingan perut dan keluarga, Suci menangis.
Ia menangis tanpa air mata, berteriak dalam diam, bertanya pada Sang
Nasib, mengapa pelajaran sekolah yang ia dapat sewaktu sekolah dasar
hingga sekolah menengah atas, tak ada satupun yang mampu digunakan sebagai
pembenar. Untuk menjawab himpitan ekonomi, persoalan terbesarnya dalam
sepuluh tahun terakhir.
Ia
juga bertanya, mengapa cinta tak sepenuhnya mampu menjawab setiap persoalan?
Mengapa negeri yang subur ini, tak mampu memberi beras, lauk sederhana,
atau rejeki yang mengalir rutin di tas lusuhnya? Mengapa juga, kenyataan
di luar sana makin mempertegas ideologi baru di kepalanya ; bahwa kesenjangan
ekonomi itu ada?
Mengapa
ketika bapaknya yang pegawai negeri menolak monoloyalitas partai, perlakuan
tidak fair langsung ia terima? Mengapa ketika ada proyek pusat perkantoran
beberapa tahun lalu, rumah kecil keluarganya digusur dengan biaya ganti
rugi yang tak sepadan? Mengapa ketika biaya bersalin begitu besar, Suci
tak boleh mendapat keringanan?
Suci
mengelus kepala anaknya yang terlelap. Walau ragu ia berdoa, siapa tahu,
Tuhan masih tak peduli pada perbedaan. Bisiknya, "Tuhan, mestinya
anak ini tak lahir dari rahimku. Mestinya, ia lahir dari rahim wanita-wanita
yang sekarang sedang sibuk membuang rupiah, agar ia bisa beranak. Mestinya
anak ini lahir, dengan segenap perlakuan cinta, kasih sayang dan kesetiaan
yang tak tercela".
Dalam
doanya, buah hati Suci menggeliat. Wanita itu buru-buru mencabut doanya.
Kini ia berbisik penuh sesal, "Tuhan, terima kasih. Ia lahir dari
rahimku". Lalu, ketika bangunan pencakar langit di tengah kota
berdiri penuh kesombongan, ketika klakson suara mobil mewah bersahutan,
Suci kembali menangis. Kali ini, ia mampu menangis bersama air mata.-hd
laksono