Cermin Hati di Lampu Remang

Lewat tengah malam yang malas, wajah jalan mulai terasa lengang. Tukang becak dan sopir taksi menepikan sandaran rejekinya, lalu terlelap di jok yang entah berwarna dasar apa. Polisi lalu lintas tak nampak di titik-titik operasi SIM dan STNK. Mungkin mereka sedang butuh istirahat, lelah setelah seharian dihimpit tugas dan kebutuhan hidup yang makin berat.

Di Rungkut, tepatnya di kawasan Kali Rungkut, keadaan ini terasa berbanding terbalik. Belasan laki-laki berjejal di sebidang meja warung nasi. Berbekal satu niat, mereka berkata pada si pedagang, "Nasi pecel satu dengan ikan ceplok. Terus satu nasi lodeh ikan ayam goreng". Ada juga yang menunggu di kursi plastik, menerawang memandangi piring-piring kue dan lauk pauk. Di jari-jarinya terselip sebatang rokok kretek yang terus mengeluarkan asap. Di sudut warung, tiga pria setengah baya duduk menikmati teh panas dan kopi kental.
"Kapan hari, aku diminta menemani relasi yang ingin lihat Dolly," tukas lelaki pertama. "Sewaktu masuk gang, tamu-tamuku langsung berjingkrak kegirangan. Katanya, 'Di Jakarta nggak ada yang kayak begini'," tambahnya penuh semangat.

Mendengar pengakuan ini, pria kedua menarik tisu kering dan mulai melontarkan kalimatnya, "Prostitusi di Surabaya memang memprihatinkan. Orang bilang, kenyataan di Dolly hanya bisa disaingi lokalisasi di Thailand. Masalahnya, apakah kita harus bangga pada aset remang-remang ini?"

Seperti mendapat kesempatan, pria ketiga yang masih mengenakan baju kerja berkilah, "Semua juga ngerti, prostitusi kita memprihatinkan. Tapi kita harus berbuat apa? Banyak LSM turun tangan. Mengangkat harga diri mereka lewat pembekalan nilai-nilai moral, pelatihan dan lain sebagainya. Tapi apa makna semua itu? Wong pelacuran adalah penyakit sosial yang tumbuh dan berkembang sejak jaman dulu".

"Iya sih. Tapi ibarat penyakit, semua kan ada obatnya. Begitu juga prostitusi. Pasti ada obatnya. Masa berpikir positif tidak boleh?" tukas pria pertama, kali ini mulai ngemil sepotong gorengan. Bak politisi, ia mulai bercerita tentang Jakarta yang sempat kelimpungan ketika berhadapan dengan dunia remang-remang. "Sedikit banyak, mulai bisa dikurangi kok. Mereka pernah bilang, kami nggak bangga disebut kota prostitusi. Jadi entah dengan alasan apa, prostitusi wajib diberantas. Bukan semata-mata WTS, gigolo atau mucikarinya," ujar pria pertama dengan lantang.

Mendadak, sebuah becak melintas. Membawa tiga waria yang baru pulang dari sebuah pesta kecil. Derai tawanya yang kemayu meski tak berbau perempuan berkumandang, mengundang celoteh usil beberapa pembeli warung. Suit-suiiiit!

"Eh, mas-mas. Jangan gitu dong. Kalau mau, ayo ke Tangkis. Biar kita sedoooot!" cecar salah satu waria yang berpakaian paling hot. "Iya. Depan belakang bisa, lho," timpal waria lain dengan suara bariton yang super genit. Dalam hitungan detik, adegan itu berlalu. Pun senyum di beberapa pembeli dalam warung pinggir jalan. Mereka lebih suka menyibukkan diri di depan piring nasi dan teh hangatnya yang mengepul nikmat.

"Tuh, kalau sudah begini, mau apa?" lontar pria pertama yang masih asyik duduk di pojok warung. "Iya, kalau mau menuntaskan pekerjaan ini, kita harus mulai dari mana?" tanya pria kedua. "Ah sudah, itu nasinya sudah datang. Nggak usah macak dadi staf dinas sosial. Ayo makan!" kata pria ketiga. Lalu jarum jam berdetak ringan. Meninggalkan tapak sejarah yang selalu saja gampang membisu. Hilang dan musnah begitu saja.

Di sudut lain, ibu pemilik warung asyik mengaduk bumbu pecel. Untuk beberapa saat, ia melirik ke arah wanita berparas ayu yang kini jadi pembantunya. Konon, wanita itu pernah datang ke ibu pemilik warung dengan air mata, menangis dan mengadu. Katanya, ia sudah tak kuasa jadi WTS yang diperkosa tiap malam. Di tengah keterbatasannya, ibu pemilik warung berkata, "Dari pada jual diri, kamu ikut membantu aku saja. Nanti, biar aku yang menebus ke germomu. Kalau tidak bisa bayar kontan, biar ibu bayar nyicil".

Langit pun menunduk. Begitu juga pepohonan di pinggir jalan. Sungguh sebuah keanggunan malam yang tiada terkira. Meski banyak kupu-kupu masih suka beterbangan di setiap jengkal jalan kota. Mendesah, mengakrabi lampu remang dan pria kesepian. -hd laksono


daftar artikel

Perang Abadi
Jeffri tergagap. Bagaimana mungkin, gedung perkantoran, plaza, hotel, bank, jalan raya, kendaraan yang lalu lalang di tengah asap knalpot, mendadak raib dan berubah menjadi ladang pembantaian. Ribuan orang berpakaian - astaga!-wayang orang, berjibaku, saling tendang, hajar, sikut, adu pedang, tancap tombak, sabet golok, melahirkan darah dan erang kesakitan.

Antara Robin Hood dan Shawn Fanning
Pernah nonton film Robin Hood? Ya, dia adalah jagoan yang hidup pada abad pertengahan di Inggris. Karena suatu sebab, anak bangsawan ini harus bersembunyi dalam hutan dan bersekutu dengan perompak. Ia juga bersatu dengan kaum pinggiran yang tersingkir dari mahalnya kehidupan kota.

Moralitas dan Kebutuhan Mata
Suzi yang malang. Kapan hari, ia masih leluasa berlenggak-lenggok di kantor. Menyapa teman kerja, satpam, kabag keuangan, office boy sampai boss di ruang direktur.

Mengapa Harus Jakarta?
Mengapa Jakarta masih jadi pusat mimpi? Setiap orang yang ingin sukses dan mewujudkan mimpi, selalu diajak ke Jakarta. Lihat artis-artis dari Bandung, Surabaya atau daerah-daerah luar pulau Jawa, setelah sukses, mereka harus hijarah ke Jakarta.

Filter itu Bernama Akal Sehat
Timothy McVeigh sedang menghitung hari. Lewat proses pengadilan yang berat, McVeigh dinyatakan bersalah atas aksi peledakan bangunan Alferd P Murrah Federal Building di Oklahoma City pada 1995, yang menewaskan sedikitnya 168 orang. Hakim pun tak ragu menjatuhkan hukuman mati. Eksekusi bakal dilakukan 15 Mei mendatang.

Hanya Satu Jalan : Akrabi Internet!
Ada salah satu crew kami bercerita, temannya mau berinteraksi dengan internet gara-gara Iwan Fals. Sejak duduk di bangku SLTP, temannya sudah tergila-gila pada Iwan Fals. Saat kuliah di sebuah PTS Surabaya, ia sudah menghiasi kamarnya dengan koleksi kaset, poster, CD dan lain sebagainya tentang Iwan Fals.

Balada Bocah Seratus Perak
Hampir tiap perempatan jalan kota ini diwarnai pengamen dan pengemis. Ironisnya, sebagian diantara mereka adalah anak-anak.

Cermin Hati di Lampu Remang
Lewat tengah malam yang malas, wajah jalan mulai terasa lengang. Tukang becak dan sopir taksi menepikan sandaran rejekinya, lalu terlelap di jok yang entah berwarna dasar apa. Polisi lalu lintas tak nampak di titik-titik operasi SIM dan STNK. Mungkin mereka sedang butuh istirahat, lelah setelah seharian dihimpit tugas dan kebutuhan hidup yang makin berat.

Dot Com People
Internet adalah inovasi yang revolusioner. "Ia" merubah tatanan baku yang sebelumnya tak pernah jauh dari batasan tempat, waktu, kultur dan masih banyak lagi. Orang bisa berinteraksi dengan siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa harus berpusing-pusing mengurus biaya yang besar, ancaman fisik maupun non fisik.

Ideologi Klakson
Matahari tepat di atas ubun-ubun. Hujan yang biasanya turun deras, siang itu bersembunyi entah di mana. Mungkin sedang ngambek. Mungkin juga sedang ingin menguji, sejauh mana kebutuhan penduduk bumi pada Sang Hujan. Buntutnya, panas datang tiada terkira.

Kontradiksi Hati
Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, Suci selalu mendengar, betapa Indonesia adalah negeri yang kaya, makmur, aman, dan sentosa. Suci juga mendengar, Indonesia punya tanah yang subur. Rakyatnya ramah, murah senyum, dan memiliki toleransi yang mengagumkan.

Mencuri Waktu
Zulkifli duduk gelisah di belakang meja kayu jatinya yang berdiri anggun. Rambutnya tak lagi tersisir dengan rapi, acak-acakan, jadi korban jari-jari tangannya yang terus bergerak. Seperti pikirannya yang diperas untuk memahami sejumlah logika beku, atau matanya yang terus mengikuti baris-baris fakta di berkas kasus yang harus ia tuntaskan.

Mimpi Jadi Superman
Memasuki 100 meter pertama, Roy harus berhadapan dengan lyn bemo yang berhenti mendadak. Tanpa aba-aba yang cukup untuk berbagi waktu dengan akal sehat, sopir lyn itu langsung bergerak ke kiri untuk menjemput penumpang.

Mimpi Kota
Sajak yang bernada putus asa. Tapi Usman, 34, warga Medokan Semampir, dipaksa merasakan setiap saat. Sejak rumah ilegalnya digusur beberapa bulan lalu, ia terpaksa tinggal bersama dua keluarga lain di sebuah rumah darurat. Bulan depan, istrinya hendak melahirkan. Tak terbayang, betapa padat rumah yang ia tempati nanti.

Telkom, Onno dan Internetisasi
Rencana kenaikan tarif telepon sebesar 45,49 persen yang akhirnya disetujui DPR memang mengejutkan. Meski pada waktu yang hampir bebarengan, seabreg barang kebutuhan yang jadi konsumsi wajib sudah lebih dulu naik. Seperti banyak diberitakan media, dalam rapat internal Komisi IV DPR dipimpin Sadjarwo Soekardiman, usulan kenaikan tarif telepon akhirnya bisa dipahami atau disetujui.