|
Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Assalaamu'alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh
"15 Petunjuk Memilih Suami"
Oleh : Drs. M. Thalib
------------------
01. Beragama Islam
------------------
Allah berfirman dalam beberapa ayat berikut:
"...Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk menguasai orang-orang yang beriman" (Q.S. An-Nisaa' : 141)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-oarang kafir itu; dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka..." (Q.S.Al-Mumtahanah : 10)
"...Mereka tiada henti-hentinya memerangi kamu sampaimereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat; dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."
(Q.S. Al-Baqarah : 217)
"...Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik
daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya..."
(Q.S. Albaqarah : 221)
Penjelasan:
Menurut ahli Tafsir, ayat pertama dinyatakan sebagai suatu ketentuan
melarang orang Islam mengangkat orang kafir menjadi pemimpinnya atau
penguasanya. Termasuk dalam pengertian mengangkat orang kafir sebagai
pemimpin atau penguasa adalah menjadikan laki-laki non-muslim sebagai
suami bagi wanita muslim, karena suami memiliki kekuasaan terhadap istrinya.
Ayat kedua menerangkan bahwa kaum muslimin dilarang menyerahkan wanita
muslim kepada laki-laki kafir, termasuk mengawinkan wanita muslim dengan
laki-laki non-muslim.
Ayat ketiga menjelaskan bahwa orang-orang kafir baik yang beragama Yahudi,
Nasrani, maupun yang lain, selalu berusaha untuk menghancurkan agama Islam
dan mengembalikan orang-orang yang beragama Islam kepada kekafiran. Oleh
karena itu, untuk mencegah agar wanita-wanita muslim tidak menjadi sasaran
usaha pemurtadan oleh orang-orang non-muslim, kaum muslimin dilarang
mengawinkan wanita-wanita muslim dengan laki-laki kafir, apapun agamanya.
Ayat keempat melarang kaum muslimin umumnya, dan wali atau orang tua dari
perempuan-perempuan muslim khususnya, untuk mengawinkan para perempuan ini
dengan laki-laki musyrik atau kafir.
Ketentuan-ketentuan di atas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
kepada kaum perempuan muslim agar mereka tidak menjadi obyek bagi
musuh-musuh islam dalam usahanya melemahkan kaum muslimin dan
menghancurkan Islam dari pemerkuaan bumi ini.
Perkawinan merupakan jalan bagi orang-orang kafir untuk memaksakan
kehendaknya dengan leluasa terhadap keluarga agar mengikuti agama mereka.
Hal ini bisa terjadi sebab suami oleh Islam ditempatkan sebagai pemimpin
dan penguasa dalam rumah tangga yang harus ditaati oleh istri. Dengan
kekuasaannya para suami kafir mudah sekali memurtadkan istri dari Islam dan
mengajak anak-anaknya mengikuti agamanya. Dengan cara semacam ini jumlah
kaum muslimin lama-kelamaan akan menjadi berkurang dan kekuatannya menjadi
lemah. Hal semacam ini sudah tentu sangat membahayakan perkembangan umat
Islam dan sekalipun merusak kemurnian ajaran Islam.
Karena kekuasaan dan wewenang untuk memimpin keluarga diberikan kepada
suami, Islam menegaskan adanya larangan bagi kaum muslimin untuk
mengawinkan perempuan-perempuan mereka dengan laki-laki non-muslim atau kafir.
Bilamana ada orang yang beranggapan bahwa tidak semua laki-laki non-muslim
berusaha menghancurkan atau merusak islam, setidak-tidaknya merusak
keislaman wanita muslim yangmenjadi istrinya atau anak-anaknya kelak,
anggapan semacam ini SALAH!!! Dikatakan demikian sebab hal tersebut
bertentangan dengan penegasan Allah bahwa:
1. Orang Yahudi atau Nasrani tidak akan senang kepada orang Islam sebelum
yang bersangkutan dapat dikafirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 217)
2. Orang musyrik yang lain juga bersikap semacam hal tersebut di no.1
kepada orang Islam. (Q.S Al-Baqarah : 105)
3. Orang Islam tidak boleh berkumpul jadi satu dengan orang kafir atau
musyrik. (Q.S. An-Nisaa' : 140)
4. Orang Islam tidak boleh dipimpin oleh orang kafir dalam urusan apapun,
termasuk urusan keluarga. (Q.S. Ali Imran : 118)
Wanita muslim yang kawin dengan lelaki non-muslim, apakah dia Nasrani,
Hindu, budha, Kong Hu Cu, atau yang lain-lain, berarti telah melakukan
yang haram. Dikatakan demikian sebab wanita muslim hanya dihalalkan bersuamikan
seorang laki-laki muslim.
Wanita muslim yang melanggar ketentuan ini berarti telah melakukan
perkawinan yang tidak sah walaupun menurut hukum negara perkawinannya sah.
Hubungan seksual dilakukan dinilai sebagai perbuatan zina. Oleh karena itu,
anak yag dilahirkan dari perkawinan semacam ini adalah anak zina.
Apabila ia bersikeras kawin dengan laki-laki non-muslim edngan mengabaikan
ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yang bersangkutan telah murtad dari agamanya
karena telah mengingkari ketentuan tegas dari Allah dan Rasul-Nya.
Wanita muslim yang kawin dengan laki-laki non-muslim akan mengalami
kerugian duniawi dan ukhrawi. Di dunia ia akan mengalami kemerosotan aqidah
sehingga kecintaannya kepada agama semakin lemah dan semangatnya untuk
dekat dengan Allah semakin luntur. Kondisi kejiwaan semacam ini pasti akan
menimbulkan kebimbangan dan keraguan dan akhirnya akan menimbulkan perasaan
bingung dan cemas bila menghadapi problem kehidupan yang serius. Adapun
kerugian ukhrawi kelak ialah dia akan menghadapi adzab dan siksa dari
Allah sejak masuk ke liang kubur sampai hari kebangkitan yang kemudian
diteruskan dengan adzab neraka. Kerugian semacam ini sudah pasti merupakan
penderitaan mahaberat, karena yang bersangkutan tidak dapat menyelamatkan diri dari
kepungan siksa dan adzab tersebut.
Setiap muslim atau orang tua atau walinya haruslah lebih dahulu mengecek
keislaman laki-laki yang meminta dirinya atau anak atau perempuan dibawah
perwaliannya sebagai istri.
Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami itu seorang muslim atau
bukan, ia dapat menanyai yang bersamgkutan. Jika kurang puas dengan
jawabannya, mereka dapat menyelidiki keluarganya. Jika ternyata keluarganya
non-muslim, hal ini bukan berarti dirinya juga bukan muslim, sebab boleh
jadi dia sendiri muslim.
Keyakinan yang bersangkutan dapat juga ditanyakan kepada tetangga dekatnya
atau tokoh muslim di tempat tinggalnya atau teman-teman dekatnya yang
sehari-hari mengetahui perilaku yang bersangkutan dalam beragama. Selain
itu, dapat juga ia meneliti keterangan yang tercantum dalam KTP-nya
(Id-Card) atau mengujinya tentang beberapa prinsip mengenai Islam.
Pertanyaan-pertanyaan prinsip itu antara lain tentang rukun islam, rukun
iman, syarat-syarat sholat, shalat-shalat wajib dan jumlah raka'at
tiap-tiap shalat, waktu puasa, rukun puasa, hari raya dalam Islam, dan
permulaan hitungan tahun Islam.
Dengan cara-cara di atas kita dapat mengetahui apakah laki-laki tersebut
benar-benar muslim atau bukan.
Jika dia bukan seorang muslim, perempuan tersebut harus menolak lamarannya.
Bila ternyata laki-laki tersebut mau memeluk Islam, hendaklah yang
bersangkutan diuji dulu keislamannya beberapa lama sehingga dapat
dibuktikan apakah dia beragama Islam secara ikhlas atukah hanya
berpura-pura. Insya Allah, dengan cara ini akan dapat menghindarkan
perempuan muslim dari perangkap laki-laki kafir.
Ringkasnya, perempuan muslim tidak boleh bersuamikan laki-laki non-muslim
karena hal itu sudah pasti akan merusak agamanya dan melanggar larangan
Allah. Menjadi istri orang kafir berarti berada di bawah kepemimpinan orang
kafir yang dilarang oleh Islam dan mengingkari hukum Allah. Hal ini
berarrti telah murtad dari agamanya. ***
|