| 
						 | -------------------------07. Mandiri dalam Ekonomi
 -------------------------
 
 Rasulullah SAW bersabda :
 
 "Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu (untuk
 membelanjai) kawin, hendaklah ia kawin, karena kawin itu akan lebih
 menjaga
 pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu
 kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri" (H.R.
 Ahmad, Bukhari dan Muslim)
 
 Penjelasan :
 
 Dalam Hadits di atas Rasulullah SAW berseru kepada para pemuda yang telah
 mampu mencari nafkah sendiri sehingga sanggup memikul beban belanja
 perkawinan dan berumah tangga, agar segera kawin.
 
 Kita semua menyadari bahwa hidup berumah tangga mengharuskan adanya
 pembiayaan. Siapakah yang wajib memikul tanggung jawab ini? Islam
 menetapkan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah
 suami.Oleh
 karena itu, mereka yang dibenarkan untuk segera kawin atau berumah tangga
 adalah yang mandiri membiayai keperluan hidup dirinya dan keluarganya.
 
 Kebutuhan yang cukup mencakup keperluan makan dan minum sehari-hari,
 tempat
 tinggal dan pakaian. Mungkin sekali seami hanya bisa menyediakan tempat
 tinggal sewaan. Akan tetapi, selama ia bisa membayar sewanya, dia dianggap
 
 bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya. Sebaliknya, bilamana
 ternyata penghasilan riil suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan
 sehari-hari yang minimal sekalipun, padahal dia sudah berusaha keras, dia
 dikategorikan tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara cukup.
 
 Prinsip suami bertanggung jawab membiayai keperluan berumah tangga
 merupakan suatu ketentuan yang mengharuskan setiap suami atau laki-laki
 yang hendak beristri mempunyai penghasilan sendiri. Ia tidak boleh
 mengharapkan pemberian orang lain atau subsidi keluarga guna menopang
 keperluan hidupnya. Jadi, kemampuan untuk mendapatkan nafkah sendiri
 menjadi tolok ukur layak tidaknya seorang laki-laki menjadi suami.
 
 Islam menetapkan bahwa setiap orang wajib memenuhi kebutuhan hidupnya
 dengan bekerja sendiri dan melarang meminta-minta, sekalipun pada
 keluarganya. Menadahkan tangan kepada orang lain adalah perbuatan tercela,
 
 apalagi bila dilakukan setiap hari, sudah tentu lebih tercela, baik
 menurut
 ajaran agama maupun menurut pandangan masyarakat.
 
 Sekalipun Islam menganjurkan agar anggota masyarakat yang mampu memberikan
 
 bantuan kepada mereka yang miskin supaya dapat berumah tangga atau
 memberikan bantuan kepada mereka yang telah berumah tangga tetapi
 mengalami
 kekurangan, hal ini tidak boleh dijadikan sandaran utama untuk mendapat
 bantuan. Demikianlah, sebab orang-orang yang kekurangan tidak hanya satu
 dua orang, tetapi banyak. Walaupun masyarakat yang kaya atau mampu mau
 memberi bantuan, tentu akan banyak pula yang tidak memperolah bagian jika
 jumlah orang yang membutuhkannya jauh lebih banyak.
 
 Oleh karena itu, seorang perempuan muslim yang hendak membina rumah tangga
 
 harus benar-benar memperhatikan calon suaminya apakah telah mendiri dalam
 membelanjai kebutuhan hidupnya ataukah masih bergantung pada orang lain.
 Sekiranya yang bersangkutan sudah bekerja dan mendapatkan penghasilan
 tetapi tidak cukup untuk kebutuhan dirinya sendiri, laki-laki semacam itu
 dianggap orang yang belum mampu membelanjai kebutuhannya. Dia masih butuh
 bantuan orang lain.
 
 Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami benar-benar orang yang mampu
 
 mandiri dalam memenuhi nafkah keluarga, dapatlah ditempuh upaya penelitian
 
 dan pembuktian dengan menanyakan secara langsung atau menanyakan kepada
 keluarganya dan teman-teman dekatnya atau para tetangganya apakah dia
 benar-benar sudah bekerja atau belum. Bilamana ia telah bekerja, perlu
 juga
 ditanyakan apakah penghasilannya layak untuk bersuami istri atau belum.
 
 Bilamana ternyata yang bersangkutan belum mampu untuk membelanjai dirinya
 sendiri dari hasil usahanya, apalagi belum bekerja, sebaiknya perempuan
 yang hendak menjadi calon istrinya mempertimbagkan pemilihannya dengan
 baik. Ini perlu diperhatikan sebab bila kelak ternyata suaminya tidak
 memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga, sudah
 tentu hal semacam ini dapat menimbulkan malapetaka keluarga.
 
 Para perempuan yang hendak berumah tangga, boleh saja menerima laki-laki
 yang masih menganggur atau berpenghasilan tidak cukup untuk hidup berumah
 tangga. Menurut syari'at Islam, perkawinannya tetap sah. Akan tetapi,
 perbuatan semacam ini jelas bertentangan dengan seruan Rasulullah SAW di
 atas. Maksudnya, dari sisi tanggung jawab membina rumah tangga pemilihan
 suami pengangguran merupakan suatu tindakan yang tercela walaupun tidak
 haram.
 
 Muslimah yang telah rela bersuamikan laki-laki yang belum mandiiri dalam
 ekonomi bilamana mengalami penderitaan dan kegagalan membangun rumah
 tangga
 yang penuh ketentraman, kasih sayang dan kesejahteraan, hendaklah tidak
 menyalahkan orang lain. Dia harus menanggung resiko sendiri sebab langkah
 awal yang dia ambil sudah melanggar anjuran rasulullah, yaitu tidak
 memilih
 suami yang benar-benar memiliki kemampuan materi untuk memikul beban rumah
 
 tangga.
 
 Ada kalaya seorang muslimah rela tidak dibelanjai oleh suaminya, bahkan
 bersedia membantu kehidupan suami. Hal semacam ini adalah amal baik istri
 kepada suami. Oleh karena itu, selama seorang muslimah rela bersuamikan
 seorang laki-laki miskin sedang sia bermaksud memelihara agama dan
 kehormatan suaminya, langkahnya dinilai sebagai suatu amal shalih yang
 sangat terpuji.
 
 Ringkasnya, perempuan muslim atau orang tua atau walinya hendaklah
 benar-benar memperhatikan kemandirian atau kemampuan materiil calon
 suaminya atau calon menantu atau calon suami perempuan di bawah
 perwaliannya. Kemampuan tersebut haruslah dapat dibuktikan secara konkret
 sebelum menempuh perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar begitu mereka
 memasuki dunia rumah tangga, kebutuhan hidup sehari-harinya dapat
 tercukupi
 walaupun minimal. Dengan cara semacam ini, insya Allah akan terjaga
 kehormatan diri mereka dan terjauh pula mereka dari perbuatan
 meminta-minta
 bantuan kepada orang lain.***
 |