| 
						 | -----------------------14. Tidak Lemah Syahwat
 -----------------------
 
 Disebutkan dalam Hadits berikut:
 
 'Umar bin Khattab berkata tentang suami yang lemah syahwat: " Dia diberi
 tempo satu tahun. Jika dapat sembuh, (perkawinannya bisa diteruskan); dan
 jika tidak, mereka boleh diceraikan dan istrinya mendapatkan mahar dan
 harus ber'iddah." (H.R. Baihaqi)
 
 Penjelasan :
 
 Lemah syahwat ialah ketidakmampuan seorang laki-laki untuk memenuhi
 kebutuhan biologis istri. Memenuhi kebutuhan biologis hanyalah dibenarkan
 melalui perkawinan.
 
 Maksud hadits di atas ialah istri yang memiliki suami yang mengidap lemah
 syahwat berhak mengajukan perceraian jika penyakit suaminya tidak bisa
 disembuhkan.
 
 Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis istrinya, karenanya
 dia harus kuat syahwat. Tanpa memiliki kekuatan syahwat, tuntutan biologis
 istri tidak akan dapat terpenuhi. Hal ini menjadi perhatian dalam syariat
 Islam karena dalam perkawinan ada keharusan untuk saling memenuhi tuntutan
 biologis merupakan salah satu faktor terciptanya suasana bahagia suami
 istri.
 
 Seorang perempuan muslim perlu memperhatikan sisi kemampuan syahwat calon
 suaminya supaya kelak dalam menempuh kehidupan rumah tangga tidak terjadi
 perselisihan dan pertengkaran. Bilamana suaminya lemah syahwat, hal ini
 tentu akan merugikan dirinya.
 
 Bagi seorang suami, karena adanya kesempatan untuk berpoligami, terjadinya
 kelemahan syahwat pada istrinya dapat dikompensasi dengan mengambil
 perempuan lain sebagai istri barunya. Akan tetapi, bagi seorang perempuan
 muslim, hal semacam ini tidak bisa dilakukan. Pilihan yang bisa diambil
 ialah menerima keadaan suami atau bercerai. Untuk itulah, perlu sekali
 adanya pemilihan selektif terhadap laki-laki yang hendak menjadi suaminya.
 
 Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan,
 sebelum seorang perempuan muslim mengikat diri dengan seorang laki-laki
 muslim sebagai suami istri, ia perlu meneliti kemampuan syhwat calon
 suaminya. Agar dapat mengetahui seberapa jauh kesehatan dan kemampuan
 syahwat yang bersangkutan, dapat diadakan penyelidikan dengan cara-cara
 antara lain:
 
 1. Menanyakan kepada yang bersangkutan tentang keadaan dirinya. Sudah
 tentu yang bersangkutan harus memberi jawaban dengan jujur atau mengambil
 sumpah dengan nama Allah. Jika ternyata ia berdusta, ia harus berani
 menanggung resiko atas kebohongannya kelak. Cara ini memang ini kurang
 efektif, namun sebagai muslim cara ini menumbuhkan tanggung jawab akhirat
 jauh lebih berat bagi yang bersangkutan. Jika dia berbohong, dosanya
 tidak hanya kepada perempuan yang menjadi istrinya, tetapi juga kepada
 Allah. Allah kelak akan menjatuhkan hukumannya di akhirat.
 
 2. Meminta yang bersangkutan untuk melakukan tes kesehatan seksual, apakah
 ia termasuk orang yang lemah syahwat atau normal.
 
 Karena dalam perkawinan kebutuhan seksual atau biologis merupakan hal
 mutlak, baik bagi suami maupun istri, para perempuan muslim tidak boleh
 merasa malu untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan syahwat calon
 suaminya. Kalau hal ini tidak diketahui secara dini, kemungkinan kelak
 akan terjadi masalah pada diri yang bersangkutan, sehingga boleh jadi ia
 akan merasa tertipu dan mengalami trauma untuk bersuami. Supaya tidak
 terjadi akibat buruk semacam ini, perlulah para perempuan muslim sejak
 awal mengetahui kondisi seksual calon suaminya. Jika ternyata ia orang
 yang lemah syahwat, lebih baik ia menolak lamarannya suapaya tidak
 merugikan dirinya.
 
 Para perempuan muslim harus menyadari bahwa kebutuhan biologis bukan
 semata-mata untuk dirinya, melainkan juga untuk mendapatkan keturunan,
 sebab perkawinan disyari'atkan oleh Islam terutama bertujuan untuk menjadi
 sarana pengembangbiakan jenis manusia secara halal di muka bumi. Hal ini
 hanya bisa dilakukan bilamana suami dapat melakukan fungsi biologisnya
 kepada istrinya dengan baik. Oleh karena itu, pilihlah suami yang tidak
 lemah syahwat.***
 |