Negeri
apa?
Cerpen : Monas Junior
Burung besi
raksasa itu terbang tinggi membedah mega-mega, membelah awan putih.
Melewati merpati, gunung-gunung, laut biru dan semua yang tak mungkin
terlampaui kecuali hati penumpang burung besi itu. Pesawat terbang namanya.
Tercipta untuk menembus pembeda ruang jarak dan waktu.
Anda datang dari mana,
wahai, Saudara yang tengah terhanyut? sapa akrab seorang
penumpang kepada kawan duduk sebelahnya. Sementara deru burung besi
semakin kencang menggoyang perasaan semua yang ada dalam perutnya.
Pria yang dimaksud menjawab sapaan
turis tersebut tanpa memalingkan muka. Saya berasal dari
Afrika. Dunia emas hitam. Tapi saya tak tahu kenapa orang menyebut kaum
kami seperti emas. Padahal kami tak punya apa-apa selain jiwa dan semangat
tinggi. Dia membenarkan letak selimut di pahanya.
Anda sendiri darimana?
Sambil mengurai senyum, pria yang
pertama kali menyapa itu menatap lapisan awan tipis yang terbang tanpa
massa dengan bebasnya. Negeri serba ada. Indonesia. Saya
rasa negeri kami memang pantas disebut demikian. Karena apa saja tersedia
bahkan berlimpah ruah di negeri kami. Minyak, emas, rempah-rempah, air,
gunung, lembah, hutan, bahkan kami punya kekayaan yang mungkin jarang
anda temukan di negeri manapun senyum ramah para pribumi.
Anda boleh buktikan ! . Begitu anda pijakkan kaki dan melangkah
beberapa depa dari pesawat ini, anda akan disambut hangat oleh senyum-senyum
ramah orang bangsa kami. Meskipun mungkin bukan ditujukan untuk anda,
tapi anda bisa melihat betapa murninya senyum yang kami miliki.
Minyak, emas, air, rempah,
gunung, lembah, hutan, dan senyum ramah penuh ketulusan. Ah, rasanya
saya pernah mendengar selentingan negeri idaman seperti yang anda gambarkan
itu. Tapi, dimana? sangsi si turis dari benua emas hitam.
Anda tak perlu bersusah
payah mencarinya. Karena itu adalah negeri saya, Indonesia tercinta.
Tanah penuh keakraban dan kasih sayang. Tanah yang tak pernah butuh
pupuk atau sejenis obat penambah percepatan tumbuh dan sebagainya. Tanah
yang hanya butuh disiram setiap hari dan akan memberikan pelayanan terbaik
pada tanaman apa saja yang anda tanam. Ya, itulah negeri kami. Indonesia!
seru si pria dengan lantang.
Indonesia?!
Benar, Indonesia! Tempat
kelahiran para sesepuh agama, birokrat, orang pintar. Meski sesekali
tempat kelahiran para pendusta, penghianat, dan orang-orang cacat moral.
Tapi itu tetap Indonesia. Negeri yang paling damai dari segala negeri
di alam terpampang ini!
Lalu, dimana letaknya
Indonesia?
Diantara dua benua.
Benua Asia dan Australia. Diapit dua samudera. Samudera Hindia dan Australia.
Bagaimana karakternya?
Negeri kami terdiri
dari lima pulau besar dan beribu pulau kecil, kesemua pulau itu tertampung
dalam wajan suci bernama Indonesia. Negeri penuh persatuan dan kesatuan!
Lelaki berkulit hitam menatap wajah pria yang mengaku dari Indonesia.
Apakah sekarang masih bersatu?
Pria Indonesia sedikit mengerutkan
kening, berpikir barangkali. Mmm. Masih. Walau ada satu
dua yang berusaha memisahkan diri dari komunitas. Tapi itu tak jadi
persoalan, kelit si pria dengan lihai.
Mereka berdua diam dengan pikiran
masing-masing. Namun burung besi rupanya tak mengubris percakapan cucu
adam itu, ia masih asyik membelah satu persatu awan putih tanpa tersisa.
Sesekali tampak raut kemarahan dari wajah burung-burung merpati karena
hampir tertabrak, dan celoteh anak-anak yang tengah bermain layang-layang
di tanah lapang.
Saudara
Saya minta
maaf. Karena saya belum juga tahu letak negeri Anda tersebut. Bahkan
mendapat gambaran saja tidak. Si pria negro memulai percakapan.
Pria satunya memalingkan muka menabrak mata si negro. Anda
ini benar-benar tak tahu, atau pura-pura tak tahu dengan maksud menyelidiki
seberapa saya cinta negeri saya!
Bukan. Bukan itu maksud
saya. Saya hanya ingin tahu lebih lanjut, biar hati saya puas sepuas
anda mengenal negeri anda.
Napas berat begitu saja lepas dari
mulut si pria asal negeri seribu pulau. Rasanya saya telah
mengisahkan segalanya mengenai negeri saya. Supaya anda lebih jelas,
saya sarankan untuk membeli peta dunia dan anda bisa lihat sekumpulan
pulau dengan tulisan besar disana, Indonesia. Itulah negeri saya.
Ada nada kesal dari ucapan si pria barusan. Mungkin ia merasa cukup
berbicara dengan orang asing tersebut, karena apa yang telah dikisahkannya
dari tadi tak membawa hasil apa-apa, selain kesangsian dan kesangsian
berkepanjangan. Kemudian ia membuka selembar koran yang sengaja dibawanya
dari tanah air.
Sewaktu ia membaca halaman dalam,
si pria negro memperhatikan sampul koran yang tengah dibaca si pria
Indonesia. Ini koran negeri anda? tanyanya sopan,
berusaha semaksimal mungkin agar lawan bicaranya tak tersinggung lagi.
Benar.
Boleh saya pinjam, saya
tertarik dengan berita pada halaman satu koran anda,ujarnya
sambil menyodorkan tangan.
Si pria Indonesia memberikan dengan
senang hati, dan dengan harapan bisa memberi gambaran lebih jelas kepada
si negro mengenai negerinya. Setelah koran berpindah tangan ke si negro,
ia mengangguk-angguk puas.
Ooo, jadi ini negeri
anda! katanya dengan antusias. Kalau negeri
ini, saya tahu pasti.
Ada kelegaan dari dada si pemuda
Indonesia. Sekarang anda tahu. Tapi, dari berita apa hingga
anda tahu pasti bahwa negeri saya memang sesuai dengan apa yang ada
dalam pikiran anda, tanya si pria sekedar ingin tahu.
Dari berita ini!
Ia menunjuk judul besar pada satu berita.
HARI INI PENGUMUMAN CPNS.
***
Jambi, 2001