"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Tahi Lalat

Cerpen: Monas Junior

      Tahi lalat itu, yang jelas, bukan sejenis makanan atau minuman. Bukan juga penyakit kulit menakutkan.
      Mungkin manusia paling paham mengenai definisi, makna, manfaat dari tahi lalat, ialah Udin. Pria sepertiga abad yang belum punya bini. Pegawai rendahan akibat kurang kuliahan, tubuh oke, postur tinggi, putih warna kulitnya. Tinggal sendiri di rumah kontrakan satu kamar dua pintu. Anak sulung.
      Seperti manusia lain, ia sama sekali tak tampak berbeda. Bahkan wajahnya menyinarkan bias-bias ketampanan. Dengan cambang tipis merata di area pipi, atas bibir, dan dagu. Klimis jika ia memangkas rambutnya tiap dua minggu sekali. Lihat, ia sama sekali tak ada beda.
      Namun jangan salah. Si Udin itu, punya satu pembeda agak mencolok jika diperhati-hatikan benar. Yakni tahi lalat. Ya, tahi lalat. Benjolan kecil di atas kulit berwarna hitam. Tahi lalat Udin jauh lebih besar dari tahi lalat-tahi lalat biasa. Berambut tiga helai.
Sampai di sini, masih juga belum terlihat bedanya ia dengan manusia lain. Toh, banyak juga orang punya tahi lalat seperti punyanya si Udin.
      Contohnya Pak Tarjo, induk semang kontrakan Udin. Tahi lalatnya jauh lebih banyak dan besar-besar dari milik Udin. Dan Pak Tarjo riang hati jika orang-orang memperhatikan tahi lalat-tahi lalat di wajah dekat kumis, di ujung jari manis, di seputaran punggung kakinya.
Jadi, di mana letak beda Udin dengan manusia lain?
      ‘’Sejak usia berapa milikmu itu membesar, Nak Udin?'’
      Suatu saat di beranda rumah Pak Tarjo, Udin terjebak situasi ‘tak bisa menghindar’. Dengan raut muka dibuat sekusut mungkin, ia menatap Pak Tarjo yang bersarung merah baju batik.
Ketika itu Udin baru saja menyelesaikan tugas antar-antar surat tembusan para pejabat di kantor. Keliling kota ia bersama Zebua rekannya, hingga keringat sudah tak terhitung menguap digiring panas siang penghujung Desember. Bau masam dari baju dinas sipilnya begitu menyesakkan hidung, dan itu membuat ia gerah ingin menceburkan diri ke bak mandi. Tetapi si tua berambut kepala hampir habis ini, ah, tak bisa ditinggal dengan nyinyiran seorang wanita tabiatnya.
      ‘’15 atau tujuh belas tahun, Pak.’’
      ‘’Oo. Tentu kau jengkel waktu itu. Aku bisa bayangkan betapa malunya kau saat berada di antara kawan-kawanmu, yah.’’
      Pak Tarjo terkekeh-kekeh. Perutnya yang buncit ikut bergetar ke atas ke bawah.
      ‘’Rasanya ingin mencongkel, mengikis, membuang tahi lalat besar itu, yah…’’
Untuk kedua kali kekehan Pak Tarjo berkumandang. Sementara Udin, wajahnya kini menyusul keringat-keringat tadi siang, menguap ke langit yang kian mendung.
      ‘’Begitulah. Mmm, maaf Pak. Saya gerah, butuh mandi. Permisi…’’
      ‘’He-eh. Nanti dulu, kenapa buru-buru. Tak lari air dikejar.’’
      ‘’Sungguh, saya gerah sangat.’’
      Tanpa hirau reaksi Pak Tarjo, Udin melesat ke pintu rumahnya. Dan tanpa buka baju, ia ceburkan tubuhnya ke bak ukuran satu tubuh dengan pekikan; ‘’Wuah, segaaar!’’
Maka terkejutlah malam, demikian juga Pak Tarjo. Bibirnya sekian senti maju, ‘’Dasar wong edhan…’’ rutuknya lalu beranjak ke ruang tamu.
      Di kamar mandi, Udin merapikan jambangnya. Hati-hati sekali ia. Sampai-sampai bak yang sudah melimpah air ledeng, tak dihiraukan olehnya. Sebeset, dua beset, tiga beset, seterusnya.
Jambang sudah rapi sekarang. Bulu-bulu halus tersebut terlihat berwibawa di wajah Udin. Menempel rapat, dan menggelitik.
      Tahi lalat khas tepat di ujung hidung Udin, juga ia rapikan dengan gunting. Dipotongnya sedikit tiga helai rambut di puncak gundukan hitam itu. Lalu tersenyum puaslah ia.
Sebelum tidur, Udin terbiasa tidur tengkurap layaknya para bujangan seantero jagat, ia menggeser gundukan hitam berambut di ujung hidungya ke tengah-tengah tengkuk. Baru ia tidur pulas membawa kelelahan hari ini.
      Menggeser. Yah, menggeser! Tahi lalat si Udin itu bisa digeser-geser, dipindah-dipindah, dirubah-rubah posisinya. Nah, itu pembeda ia dengan manusia lain. Bayangkan jika tahi lalat bisa ditaruh seenaknya, kadang di jidat, kadang di pantat? Wah, asyik juga!
      Tetapi itulah kenyataannya. Yang tak bisa dihindari Udin, juga tak bisa diabaikannya. Bahkan sekarang, tahi lalat besar tersebut sudah sejiwa dengan dia. Sehari kalau tak memindah-mindahkan, atau memain-mainkan posisi si tahi lalat, Udin belum merasa hidup. Seringkali waktu libur ia habiskan bermalas-malasan di rumah bersama tahi lalat.
      Namun di depan umum, Udin berusaha menunjukkan kenormalannya dengan membiarkan tahi lalat dinamis itu bertengger di ujung hidung dengan rambut-rambut tipis teruntai ke bawah. Karena itu ia mendapat julukan Udin Tahi Lalat.
Julukan, hanya julukan. Tak berpengaruh untuk kepercayaan diri Udin. Malah ia dengan bangga mempertontonkan tahi lalatnya ke mana-mana. Hingga julukan tersebut menjadi nama baru yang harus diterimanya.
      Tetapi tidak buat Kodir. Seorang atase di pemerintahan provinsi tempat ia bekerja. Lelaki berkursi panas tersebut amat tak senang dengan tahi lalat Udin. Jijik. Demikian perasaan Kodir yang diutarakan ke Soleh-pamannya, tiap kali berpapasan dengan Udin.
      Dan itu pula perihal pertama yang disyaratkan kepada Udin saat promosi jabatan diberikan kepadanya. Lagi-lagi, Soleh menjadi penyampai terbijak buah tutur Kodir.
      ‘’Din. Kesempatan semacam ini jarang-jarang terjadi. Jadi tolong, jangan sia-siakan dan jangan kecewakan aku…’’
      Begitu kata Soleh sewaktu jam kantor habis. Di ruang bagian humas dan publikasi gubernur. Pegawai lain sudah setengah jam lalu meninggalkan kantor dengan wajah kelaparan. Kertas koran yang terpotong-potong sisa kliping, masih menari-nari di lantai dipermainkan angin senja.
Udin tercenung. Pikirannya terbang sesaat, memproses kata-kata yang diutarakan pamannya barusan. Promosi jabatan, naik status, naik taraf hidup, naik pencerahan masa depan, tahi lalat. Tahi lalat?
      Bah, apa hubungannya jabatan dengan tahi lalat! Seketika otak Udin hang, piranti lunaknya menemui bad sektor pada media penyimpanan hingga terpaksa di restart.
      Soleh bilang, ia dipromosikan menduduki jabatan di daerah tingkat dua yang hanya 60 kilometer dari sini. Naik jabatan berarti naik status, naik pula gaji dan tunjangan lain-lain, itu berarti masa depan cerah. Tapi sebelumnya ia harus membuang tahi lalat di ujung hidungnya!
Hang lagi. Restart. Terakhir Udin terpingkal-pingkal sendiri di ruang ukuran 10x10 meter itu. Saking gelinya, tubuhnya beberapa kali menabrak meja dan menerbangkan debu-debu ke seluruh ruangan.

***

       Masih tersisa senyum geli Udin di muka ruang kerja spesialis kulit RS Raden Mattaher pagi ini. Menunggu giliran periksa untuk memuaskan Kodir sekaligus Soleh. Ia diminta mengoperasi tahi lalat di hidungnya!
      Bayangkan, persoalan sederhana yang bisa diselesaikan Udin dalam sekian detik. Tahi lalat miliknya tak perlu dibuang, hanya diegeser sedikit ke wilayah tubuh yang tertutup pakaian, maka hilanglah tahi lalat itu dari pandangan.
      Tetapi, untuk memuaskan para kolega yang memegang nasib masa depannya, ia terpaksa menghabiskan waktu di gedung putih penuh bau obat pagi ini.
      ‘’Jumardin!’’
      ’Ya!’’ sahut Udin saat gilirannya tiba. Santai ia masuk ke dalam ruang tak sebesar kantornya itu. Duduk di depan seorang gadis cantik yang menyalaminya dengan ramah.
Di ruangan ini, bau kimia jauh lebih menyengat. Ia kerenyit-kerenyitkan hidungnya.
      ‘’Sakit? Berdenyut-denyut?’’
      Ujar gadis berbaju serba putih itu sok tahu memperhatikan hidung Udin.
      Udin senyum ringan, ‘’Tidak.’’
      ‘’Kadang pusing-pusing?’’
      "Juga tidak.’’
      Si gadis mencoret-coret kertas putih di atas meja.
      ’Saudari Dokter Rita?’’
      ‘’Bukan. Asistennya, Ana.’’ Jawab si gadis dengan sekilas senyum.
      ‘’Silahkan berbaring di dipan, Pak.’’
      ‘’Panggil Bang Udin saja, saya belum terlalu tua…’’
      ‘’Baik. Silahkan, Bang Udin.’’
      Asisten dokter Rita itu mengiringi Udin, dan mendampingi Udin saat rebah di kasur beralas biru laut.
      Suasana hening. Ana menyentuh-sentuh lembut tahi lalat di ujung hidung Udin. Dan seketika ramai ketika tahi lalat itu tanpa sengaja bergeser agak ke pangkal hidung oleh jari Ana. Ana terjerit!
      ‘’Astaga!’’
      ‘’Kenapa?’’
      Wajah Ana memutih. ‘’Tahi lalat. Tahi lalat Abang berpindah!’’
      ‘’Ssst… Jangan panik! Jangan ribut.’’
      Spontan Udin menutup mulut Ana. Dan membisikkan; ‘’Tahi lalatku memang bisa pindah-pindah, gadis cantik. Makanya aku sayang sekali jika dioperasi.’’
Entah apa di pikiran Ana saat Udin melepaskan bekapan tangan dari mulutnya. Hanya tercengang-cengang dan melotot saja matanya beberapa saat.
      ‘’Jadi, tahi lalat abang…’’
      ‘’Ya, itulah. Akupun semula heran dengan dinamisasinya. Tapi setelah bertahun-tahun hidup dan tak mempengaruhi organ tubuh lain, aku merasa ia adalah anugerah dari Sang Agung.’’
Udin merapatkan jarak ke Ana. ‘’Cobalah…’’ Singkat saja ia berbisik dan menuntun tangan Ana ke pangkal hidungnya.
      Setelah tahi lalat dicapit jari jempol dan telunjuk Ana, dituntun pula oleh Udin menggeser tahi lalat itu ke atas menuju jidat. Dari jidat terus ke pipi, terus dagu, terus ke leher. Ana mengikuti dengan tatapan kian takjub.
      Tak lama, tanpa dituntun Udin lagi, Ana telah bermain-main dengan tahi lalatnya.
      Bahkan Ana meminta Udin membuka baju agar lapangan gerak buat tahi lalat semakin lebar. Maka dengan senang hati Udin menanggalkan baju dinasnya dan membiarkan si gadis cantik bermesraan dengan tahi lalatnya hingga setengah jam terlewati.
      Singkat kata, Udin tak jadi operasi. Berkat Ana, ia mendapat surat rekomendasi bohong-bohongan jadwal operasi, untuk disampaikan ke atasan guna memberi izin ia tak masuk kerja selama tiga hari. Berkat Ana pula, tiga hari itu menjadi waktu terindah buat Udin.
Ditemani Ana, Udin menghabiskan waktu libur buat-buatan tersebut dengan tahi lalat. Sambil terpingkal bahkan, Ana dan Udin memindah-mindahkan tahi lalat berambut tiga helai itu ke seluruh tubuh Udin. Dan Udin mengerti betapa senang Ana akan tahi lalatnya.
      Berkat Ana lagi, sekarang Udin menjadi pejabat di daerah tingkat dua, sekalian menghilangkan status bujangannya. Malam pertama Udin-Ana, mereka habiskan bermain se puas-puasnya dengan tahi lalat. Baru setelah itu ‘permainan’ berikut dimulai hingga pagi menjelang subuh tiba.

***

      Perjalanan-perjalanan hidup Udin-Ana-tahi lalat berjalan seperti tol. Lancar sangat. Segala problema cuma menjadi angin lalu bagi mereka. Tak ada konflik besar kecuali pertengkaran kecil jika, Udin kesulitan mencari tahi lalat yang sengaja disembunyikan Ana.
      ‘’Lain kali, bilang-bilang kalau menaruhnya di pantat. Biar aku tak kesulitan melihatnya.’’
Rutuk Udin sebelum kerja Senin pagi. Ana, isterinya itu cuma mengangguk-angguk dan tersenyum ditahan. Lalu mereka berdua meninggalkan rumah dinas dengan kendaraan juga dinas ke kantor masing-masing.
      Lagi-lagi tak banyak kendala bagi Udin-Ana-tahi lalat. Hingga lebaran tiba, tradisi mengunjungi atasan adalah kewajiban kedua setelah sungkem dengan orang tua. Udin beserta isteri bertamu ke rumah Pak Kodir.
      Rumah mewah Kodir tampak berkilau dengan cat putih. Bercak-bercak putih masih tertinggal di bonsai depan pagar, tampak sekali baru dicat beberapa hari lampau. Udin memarkir mobil tepat di belakang Kuda bewarna merah.
      ‘’Rupanya Paman sudah duluan,’’ kata Udin menyapa tatap Ana.
      ‘’Iya. Itu mobilnya,’’ Ana memasati Kuda merah di depan mereka jarak se-meter.
      Tiba di pintu utama, Udin-Ana disambut Rina si sulung puteri Pak Kodir. Lalu giliran Udin serta Ana menyambut salaman tamu-tamu yang telah dulu memenuhi kursi sofa di ruang penuh tataan artistik eksekutif.
      Selesai menyalami seluruh penghuni kursi mewah, Udin menghampiri orang-orang yang lesehan di ambal biru berukir benang emas belakang sofa. Seperti tadi, mereka berdua menyambut gapaian tangan-tangan para badut yang tengah memainkan peran bodoh tersebut. Sampai juga di tempat duduk Soleh.
      Ketika akan bersalaman itulah, Soleh tiba-tiba melotot, mulutnya menganga lebar.
      ‘’Din, itu. Itu!’’
      Tangan Soleh seperti menunjuk-nujuk ke hidung. Ana mengekori dengan matanya.
      ‘’Bang. Ya, itu abang!’’
      ‘’Apa!’’
      Udin mengabaikan peringatan Soleh dan Ana. Dalam pikirannya mereka hanya bercanda saja, toh tak ada tahi lalat atau apa-apa di hidungnya. Kebetulan Pak Kodir belum pulang dari rumah gub. Jadi Udin mengambil posisi di sebelah Tante Warni, isteri Soleh. Menyusul Ana, di sebelahnya.
      ‘’Bang…’’
      ‘’Assamualaikum…’’
      ‘’Waalaikumsalam…’’ seperti diperintah, serentak tetamu menjawab salam dari luar. Suara khas Kodir mengena tepat di hati para tamu. Sementara suara Ana yang kecil itu, tak dapat ditangkap telinga Udin yang kini tengah berdiri menyambut Kodri seperti sekitar belasan pasang orang di ruang ini.
      ‘’Maaf lahir bathin, Pak. Maaf lahir bathin…’’
      ‘’Iya. Iya…’’
      Begitu terus sampai Kodir di tempat Udin berdiri. Dan Kodir seketika tersentak ke belakang, matanya melotot seperti Soleh tadi. Namun berat hati, tangannya menyambut uluran salam Udin lalu secepat kilat dilepaskan. Ana bahkan tak disalaminya. Kodir buru-buru menghilang ke dapur. Sampai waktu dzuhur tiba, tak juga ia menampakkan diri ke ruang penuh sesak bawahannya ini. Sampai-sampai para tamu meninggalkan rumah dengan dihantar Rina saja.
      Di perjalanan menuju rumah, Ana seperti takut-takut membuka suara setelah keheningan menyelimuti jeep yang dikendarai Udin.
      ‘’Bang, tahi lalat Abang… tadi pagi lupa dipindahkan dari hidung.’’
      ‘’Apa!’’ Buru-buru Udin menarik kaca spion atas dan benar saja, di hidungnya tampak tahi lalat itu mengejek nasib sialnya habis-habisan.
      ‘’Kenapa tak bilang!’’
      ‘’Aku sudah berusaha, tapi Abang…’’
      ‘’Alamak! Mati aku.’’
      Udin memutar arah. Sekarang ia kebut kendaraannya ke rumah Soleh, mencari informasi terbaru dari kejadian naas yang dialaminya. Sementara Ana hanya diam membeku, berpengang erat pada handel di atas jendela, berharap tak terjadi apa-apa diperjalanan se-kencang ini.

***

       Sejak insiden di hari fitri lalu, Udin seperti tahi lalatnya. Posisi kursi bergeser-geser terus, sering mutasi bahkan pindah domisili ke daerah kabupaten ke kabupaten lain. Itu membuat ia jadi sosok rendah diri. Ana sang isteri tercinta pun tak bisa berbuat banyak mengembalikan kepercayaan diri Udin. Lebih-lebih setelah ia larut dengan pelatihan-pelatihan ke berbagai kota besar, Udin semakin tak terurus dan kian kurus.
      Setelah hampir dua pekan pelatihan di sebuah daerah pulau Jawa, Ana termenung di dalam kamar sambil menatap surat lusuh bau alkohol yang ia temukan pada sela-sela selimut tebal yang biasa menghangatkan tubuh mereka.
     
      Aku dan tahi lalatku kini tak ada beda. Kami sama-sama kehilangan posisi tetap, sayang. Jangan tunggu aku, dan jangan cari aku. Hiduplah dengan ketetapan.

Jambi Hampa, akhir tahun

Sayangmu
Rd. Jumardin

      Dilipatnya surat lusuh itu hati-hati. Dan hati-hati pula dibuangnya ke dasar jiwa untuk selanjutnya larut dalam perenungan-perenungan di kemudian hari. Udin-Ana dan tahi lalat, kapan bisa bercanda lagi.***

Jambi, Desember 2003