"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Antrian
Cerpen : Monas Junior

   Entah sudah berapa kali bapak melarang aku untuk ikut antrian kayu seperti sekarang ini, tapi aku tetap saja melakukannya. Bukan karena aku keras kepala atau tak hormat pada Bapak, sama sekali bukan itu. Melainkan karena kebutuhan kayu kami beberapa hari lagi akan habis, sebab itulah terpaksa aku menyelipkan diri dalam antrian sepanjang jalan utama ke alun-alun desa, dimana 'orang-orang kaya' itu bersedia memberikan beberapa kebat kayu dengan cuma-cuma kepada kami.
   Lantas apakah kami ini termasuk golongan orang-orang miskin? Orang-orang tak mampu dari kacamata ekonomi? Ah tidak juga. Buktinya sebagian besar penduduk di desa ini, rata-rata telah memiliki televisi di masing-masing kamarnya. Lemari es, telepon; baik telepon rumah maupun ponsel. Ornamen-ornamen rumahnya bukan main menyiratkan alur seni tinggi. Lihat saja rumah Pak Oding, si gembala sapi, dari menginjak halaman rumahnya saja sudah dapat dilihat patung-patung keramik berbagai pose dengan macam-macam ekspresi berdiri menghiasi taman, dan pancuran yang airnya keluar dari 'senjata' patung cupid menampilkan kesan elegan. Bisa dibayangkan, seorang gembala sapi di desa kami ini saja bisa memiliki rumah sedahsyat itu.
   Dari semua itu, kami, warga desa ini jauh dari ciri-ciri kemiskinan apalagi kemelaratan. Lagi-lagi kalau itu dilihat dari kacamata ekonomi. Tetapi kalau dilihat dari kacamata kebutuhan pokok terutama kayu, maka lain lagi ceritanya. Soalnya cuma kayu lah yang tidak kami miliki di daerah ini. Cuma kayu yang seringkali menimbulkan keresahan diantara kami.
   Sekarang barulah kami sadari kebodohan yang telah kami lakukan. Kenapa dulu mau saja menuruti bujukan pengusaha-pengusaha kayu untuk bekerjasama. Hingga lahan-lahan hutan milik kami, kami jual kepada mereka dengan harga tinggi. Dan uangnya kami gunakan untuk merubah rumah, gaya hidup dan sikap kami menuju sifat sebuah kota. Untuk kemudian hutan-hutan itu, setelah habis masa panennya disulap menjadi lapangan golf, sirkuit formula satu, dan komplek perumahan.
   Makanya jangan heran, penduduk desa ini amat kesulitan untuk mendapatkan sebatang kayu. Dan makanya lagi, ketika Pak Ronda yang tak lain kepala desa mengumumkan hari ini ada pemberian kayu gratis, warga desa berbondong-bondong menyerbu alun-alun desa untuk mendapatkannya.
   Dan dibalik punggung Pak Oding, aku menunggu giliran. Kalau dihitung-hitung, tinggal 35 lima orang lagi di depan aku. Setelah itu barulah giliranku untuk mendapatkan jatah. Rasanya masih kebagian, sebab tiga truk yang terparkir di samping alun-alun itu masih sesak oleh kayu batangan.
Tetapi seketika aku tercekat, karena tiba-tiba antrian bagian depan pecah! Pekik ketakutan ibu-ibu, gemuruh keingintahuan orang-orang di antrian belakang dan derap-derap langkah tak teratur menciptakan ketegangan tak terkira.
   ''Lari! Lari! Ada orang gila pakai senjata ngamuk! Lari! Selamatkan jiwa kalian!'' suara Pak Ronda dari balik pengeras suara menyadarkan kepengecutan aku dan semua orang-orang di antrian belakang. Seketika itu juga orang-orang di dekatku berlarian panik meninggalkan tempat itu menyusul antrian depan yang telah lebih dulu kabur. Dan aku belum sempat bertindak ketika tanganku telah dicekal Pak Oding dengan keras lalu menyeret aku dalam ketakutannya.
   Diantara lariku, aku menoleh ke belakang. Dan di sana, persis di belakang tubuh Pak Ronda tampak sesosok tubuh dengan muka berkedok hitam tegak menghunus sebilah parang panjang. Dan dengan cepatnya ia menebas putus leher Pak Ronda!
   Crass!
   Aku sentakkan tanganku hingga terlepas dari cekatan Pak Oding. Lalu dengan nanar aku menatap tubuh tanpa kepala Pak Ronda jatuh bergedubakan di lantai alun-alun. Lalu darah berceceran kemana-mana, memenuhi lantai, sepatu hitam si penjagal itu. Dan tanpa aku sadari darah itu menyembur keras dan mendarat tepat di mataku hingga aku tak dapat melihat apa-apa. Semuanya gelap. Lalu semuanya hening.
   Dan entah berapa lama aku mengalami kegelapan itu. Sejam, dua jam, sehari, dua hari. Entahlah. Namun suara bisikan seseorang yang aku amat akrab menyadarkanku.
''Pssst. Sadar, Tok.''
   Aku segera membuka mata. Di depanku kini aku melihat Ayah dengan pakaian serba hitam dengan sebilah parang masih basah dengan darah di tangan kirinya. Seketika tubuhku tersurut ke belakang.
   ''Kau jangan takut. Ini aku, Ayahmu...'' Ayah berkata dengan ringannya. Seolah-olah ia baru saja menyembelih seekor ayam.
   ''Sebaiknya sekarang kau bantu ayah membawa kayu-kayu itu ke rumah kita. Biar urusan ini cepat selesai,'' katanya lagi dengan tegas.
   Dan ia menghilang di balik setir sebuah truk di samping alun-alun itu tanpa menghiraukan aku yang masih duduk tercenung di tengah jalan. ***

Jambi, 2001