"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Cincin

Cerpen : Monas Junior

      Tiba-tiba seorang lelaki berkumis tebal menghampiri Nardi yang tengah duduk dalam sebuah kedai kopi pagi itu. Lelaki asing begitu saja duduk di seberang meja Nardi sambil melempar senyum.
      ‘’Apa khabar Mas Nardi. Sudah lama kita tak ketemu,ya....’’ ujar si lelaki sembari menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Nardi tak langsung menyambut tangan lelaki itu, namun ia berpikir siapa, dimana dan bagaimana ia kenal lelaki berkumis ini?
      ‘’Saya, Tono. Ponakan Mas Parno. Tetangga sebelah Mas waktu di kampung,’’ lanjut si lelaki seolah bisa membaca pikiran Nardi.
Seketika wajah Nardi cerah. Ia langsung ingat bocah kecil yang suka mencuri mangga miliknya tiga belas tahun lalu. Saking seringnya si bocah mencuri, Nardi jengkel bukan main. Hingga ia menebang Mangga kesayangannya itu tanpa banyak pikir. ‘’Tono! Tono yang suka nyuri mangga saya, kan?’’
      ‘’Ssstt. Jangan keras-keras, Mas. Malu di dengar orang,’’ bisik Tono mendesis.
Nardi mengumbar tawa kecil diikuti Tono dengan sipu-sipu malunya. Sementara para pengunjung kedai kopi yang semakin ramai sesekali melirik mereka. Namun itu tak mengurangi kehangat diantara Nardi dan Tono. Waktu tiga belas tahun, menumpuk-numpuk rindu di dada masing-masing.
      Nardi tak menyangka si Tono bakal menjadi seorang lelaki kebapakan seperti sekarang ini. Karena ia tahu persis masa kecil Tono. Sangat nakal. Kalau boleh dibilang, cuma Tono sosok bocah yang paling dibencinya kala itu. Aneh memang, tak ada orang yang membenci anak kecil, dalam hatipun. Paling-paling kalau ada kesalahan, orang selalu bilang; ‘’Ah, mereka kan masih anak kecil’’. Lantas kesalahan itu pupus begitu saja melalui kesadaran akan kekecilan mereka.       Akan ketidaktahuan mereka mengenai batas-batas yang tak boleh dilanggar. Aneh, memang. Tapi mungkin karena hanya Tono yang berani mengusik pohon Mangga kesayangan Nardi, membuat ia kehilangan kesabaran terhadap anak kecil. Tentu saja cuma kepada Tono. Namun sekarang kebencian itu telah sirna dimakan waktu tiga belas tahun. Lebih-lebih dengan menatap kumis tebal yang melintang di atas bibir Tono itu, meyakinkan Nardi akan perubahan sikap si Tono.
      ‘’Sudah berkeluarga, Ton?’’
      ‘’Sudah, Mas.’’ Masih dengan malu-malunya Tono menjawab. Nardi tersenyum.
      ‘’Berapa orang anakmu?’’ Nardi seperti tak ingin memberi ruang kosong buat Tono.
      ‘’Dua, Mas.’’ Tono menjawab tak lupa dengan menambah kata Mas pada setiap jawabannya. Itu memberi kesan baik bagi Nardi. Berarti Tono benar-benar lelaki dewasa yang berkesopanan.
Selanjutnya pembicaraan beralih pada hal-hal pribadi masing-masing. Keakraban adik-kakak tercipta diantara mereka. Hingga semua rahasia begitu saja tercurah dari mulut mereka.
      ‘’Sebenarnya saya kemari buat menemui seseorang, Mas.’’
      Pernyataan Tono barusan menggugah keingintahuan Nardi. ‘’Siapa?’’
      Tono tak segera menjawab. Ia seperti tengah berpikir hingga sebuah helaan panjang dikeluarkannya, ‘’WIL. Selingkuhku....’’
      Nardi tersentak ke belakang. Ia tak percaya akan kata-kata Tono barusan. Bagaimana mungkin lelaki berkumis yang punya kesopanan itu bisa-bisanya melakukan tindakan tak terpuji semacam itu. ‘’Selingkuhmu?!’’
      ‘’Ya. Wanita cantik yang juga sudah berkeluarga.’’
      ‘’Kamu kenal dimana?’’
      ‘’Disini. Di kota ini. Kira-kira empat bulan lalu, sewaktu mengikuti sebuah seminar.’’
      Kemudian Tono menceritakan pengalaman pertama kali bertemu dengan selingkuhnya. Sampai akhirnya terjadi hubungan yang menyimpang itu. Selama Tono bercerita, Nardi banyak menggeleng-gelengkan kepala.
      ‘’Mmm. Mas sendiri bagaimana?’’ akhir cerita Tono.
      ‘’Maksudmu?’’
      ‘’Maksud saya. Punya Wanita Idaman Lain tidak?’’
      Nardi menggeleng keras. ‘’Tidak! Sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku bakal mengkhianati isteri sendiri.’’
      Tono ikut menggeleng. ‘’Luar biasa. Saya sangat salut kepada orang-orang yang sanggup mempertahankan kesetiaan terhadap isteri. Kalau boleh tahu, apa rahasianya Mas?’’
      ‘’Ini...’’ Nardi memperlihatkan cincin emas terselip di jari manisnya. ‘’Cincin ini. Semua berakar pada cincin. Kebanyakan pengantin sekarang hanya menganggap cincin kawin sebatas simbol pengikat saja. Tanpa tahu apa manfaat dari cincin itu sendiri. Kalau mau menerapkan apa yang saya lakukan terhadap cincin kawin, mungkin setiap keluarga dapat terhindar dari bahaya perselingkuhan.
      Aku selalu menitipkan isteriku bulat-bulat ke dalam cincin ini. Mulai dari mata coklatnya. Bibir seksinya. Tubuh indahnya. Jari lentiknya. Suaranya. Rayuannya. Desahannya. Semua telah ku masukkan ke dalam cincin melalui imajinasi. Jadi setiap kali merasa ada ‘ancaman’, seperti bertemu dengan wanita yang hampir mirip atau bahkan melebihi isteriku. Cepat-cepat aku melihat ke cincin ini dan mengecupnya dengan lembut sambil membayangkan bahwa yang kukecup adalah isteri sendiri,’’ tutur Nardi panjang lebar.
      ‘’Sederhana memang. Namun dari kesederhanaan itu membuahkan hasil luar biasa. Sudah lima tahun menjelani bahtera rumah tangga, tak sekalipun aku mencicipi perselingkuhan. Tak sekalipun!’’ Nardi menegaskan.
      ‘’Mas termasuk yang beruntung. Jauh lebih beruntung isteri yang telah mau bersuamikan Mas.’’ Nada bicara Tono seolah menyesal. Kepalanya tertunduk.
      ‘’Aku rasa belum terlambat buat kamu kembali pada isterimu, Ton. Sebelum kamu benar-benar hanyut dalam dunia penyimpangan moral itu...’’
      ‘’Terlambat, Mas....’’ Tono memotong. ‘’Dia sudah datang.’’ Mata Tono membedah keramaian pengunjung kedai ke ambang pintu.
      Tampak di sana, seorang wanita bergaun merah mengenakan topi lebar juga dengan warna merah, melangkahkan kaki menuju tempat kami duduk. Tono berdiri kemudian menyambut kedatangan wanita itu dengan senyum bahagia. Ada sirat-sirat kepuasan terpancar dari senyum Tono. ‘’Selamat datang sayang. Aku rindu kamu....’’ Tanpa malu-malu Tono berkata sambil memeluk tubuh ramping wanita itu. Sayang, tubuh Tono memunggungiku hingga aku tak dapat memasati wanita selingkuhan si Tono.
      ‘’Mas. Kenalkan, Sundari. Kekasihku...’’ ujar Tono setelah membalikkan badan.
Tubuh wanita itu tersurut selangkah. Tiba-tiba ia menurunkan topi lebarnya makin kebawah hingga menutupi sebagian hidungnya.
      ‘’Dari... Kenalkan, Mas Nardi. Teman pamanku di kampung,’’ sambung Tono lagi. Namun wanita bertopi lebar terus menunduk dan membisikkan sesuatu pada telinga Tono.
      ‘’ Kamu ini kenapa, Ndari? Kenapa harus buru-buru pulang?’’ Tono protes. ‘’Ayo duduk dulu.’’ Setengah memaksa, Tono menarik tangan Ndari hingga terhempas di kursi depan Nardi.
Si wanita makin dalam menunduk tanpa berniat keluarkan kata-kata sedikitpun. Itu menimbulkan tanda tanya di pikiran Nardi. Siapa wanita ini. Kok tingkahnya seperti cemas akan sesuatu. Tapi apa?
      ‘’Supaya santai. Topinya dibuka saja, ya...’’ Tono berkata dan menarik agak keras topi di kepala Sundari. Hingga wajah asli Sundari kelihatan oleh Nardi.
      ‘’Kau Tini! Isteriku!!!’’

Jambi, 01 Juni 2001