"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Kucing belang
Cerpen : Monas Junior

      Gdubrak! Gdubruk! Pyar!
Suara gaduh dari dapur membangunkan Pak Topan dari istirahat malamnya. Bergegas ia menuju arah suara itu dengan mata sedikit nanar.
      Setibanya di mulut pintu dapur, Pak Topan menjulurkan kepala menatap ruangan penuh sesak seperti kapal perang itu seksama. Ia melihat periuk, kuali, kompor, tutup saji, sampai beberapa piring kini sudah tak karuan letaknya. Seketika hatinya panas terbakar amarah. Bergegas pula ia meraih sebilah parang yang selalu terselip di bawah karpet dekat pintu dapur dimana ia kini tengah berdiri mengintip.
      Setelah parang panjang itu berada di genggamannya, ia melesat ke dapur sambil menghardik.       ''Siap! Siapa yang berani ganggu Topan tidur. Keluar!'' Sambil berkata begitu, Pak Topan mengacung-ngacungkan parang ke segala arah, menebas angin kosong. Sorot matanya begitu tajam mengiris malam yang kian dingin.
      ''Aku bilang keluar! Keluar!'' hardik Pak Topan sekali lagi.
      Tak lama tampak sebuah mahluk kecil perlahan keluar dari bawah kolong tungku. Meooong!
'      'Bangsat! Rupanya hanya kucing busuk. Kupikir maling atau garong, atau rampok yang perlu dihabisi Topan! Tapi bagaimanapun, aku harus memberi pelajaran sama semua pengusik Topan, mahluk apapun itu, Topan tak pernah memberi ampun. Termasuk kucing sekalipun!''
Sesuai mengumbar amarah, Pak Topan menyergap kucing belang dengan cepat. Seketika saja kucing itu telah berada di cengkeraman sebelah tangannya, sedang tangan satu lagi masih menggenggam parang panjang tadi.
      ''Meooong! Meong! Ampun, Tuan. Ampun! Jangan sakiti aku. Kumohon...''
      Pak Topan terkejut dan tanpa sengaja melepas kucing itu dengan cepat.
      ''Aku mohon ampun, Tuan. Aku tak bermaksud mengusik tidur, Tuan. Karena aku hanya butuh sekerat tulang atau sesuatu yang bisa kumakan. Aku lapar benar, sudah lima hari perjalanan aku tak makan apa-apa.'' Kucing itu masih memelas kasih sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke atas-ke bawah.
      Dan kelakuan kucing itu malah membuat kengerian makin menghajar Pak Topan. ''Kau! Kau binatang atau apa? Kau mahluk apa? Kenapa kucing bisa bicara. Cepat jelaskan!'' Muka Pak Topan pucat seperti kertas. Keringat dingin perlahan turun dari jidat ke alis matanya.
      Lain lagi dengan si kucing, melihat ketakutan Pak Topan membangkitkan keberaniannya. Kini dengan tenang ia duduk menghadap Pak Topan. ''Aku si Belang, dari perkampungan kucing. Beberapa waktu lalu aku hidup tenang dengan sejumlah kucing lain yang juga bisa bicara selayaknya manusia. Hingga... Hari khilaf itu memaksa aku meninggalkan perkampungan kucing.''
      Si Belang menjilat sebuah kakinya lalu menggosok-gosokkan ke mukanya. Ia sedang mandi sementara Pak Topan masih tercenung takjub. ''Aku khilaf telah memperkosa anak kandungku sendiri. Kucing kecil yang dilahirkan isteriku. Oh, aku sungguh-sungguh menyesal telah melakukan kebejatan semacam itu. Aku bodoh!'' Kucing itu memukul-mukuli kepalanya dengan sebuah kaki.
      Pak Topan tibia-tiba sadar dari ketercenungannya dan dengan sadar pula menahan gerakan tangan si Belang yang memukul-mukuli kepalanya sendiri.
      ''Sudahlah,'' kata Pak Topan jauh lebih tenang. Tampaknya ia telah bisa menguasai keadaan.       ''Tak baik kau merutuki diri sendiri, kawan. Karena kita senasib.''
Si Belang menatap heran Pak Topan.
      ''Ya. Aku juga diusir dari kampung karenna kasus yang sama. Memperkosa anak kandung sendiri. Jadi kita senasib, kawan. Dan karena itulah kau pantas menjadi temanku di rumah ini.       ''Pak Topan berkata sambil tersenyum.
      Lalu ia mengulurkan tangannya yang disambut sebelah kaki si Belang. ''Selamat datang, Sobat,'' kata Pak Topan senang.***

Jambi, 2001