"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Surat putih
Cerpen : Monas Junior

     Kenapa putih. Kenapa tidak merah, hijau, biru, ungu, abu-abu atau hitam sekalian. Lagi-lagi kenapa harus putih yang harus dipersembahkan dari sebuah kebenaran.
     Sinar mentari, putih. Keheningan air, putih. Awan cerah, putih. Sepasang angsa, putih. Embun pagi, putih. Uap air di perebusan, putih. Semuanya putih dalam kadar-kadar kejernihan tanpa tercemar oleh apapun dan bagaimanapun. Bahan baku awal untuk pemrosesan lebih lanjut.
     Putih itu pula yang mengilhami kelahiran seribu warna lain. Ya, magenta. Ya, kuning. Ya, biru dasar. Untuk kemudian pembauran dari ketiga warna tadi menjadi warna-warni. Sekian persen magenta dicampur sekian persen biru menjadi warna ini. Sekian persen kuning dicampur sekian persen magenta menjadi warna itu. Begitu terus, hingga kelahiran demi kelahiran warna terus mengikuti perkembangan perkawinan warna hasil dari kemurahan hati si putih. Mengizinkan perjodohan antar warna.
     Tapi putih tak lebih dari komponen sebuah kerapuhan. Kelemahan. Ketidakberanian. Kebangsatan pendirian! Ia sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan warna lain. Lebih-lebih kalau hitam sudah menggoda, maka kecerahan si putih akan pudar menjadi keburaman abu-abu. Dan abu-abu tak akan pernah menjadi putih lagi. Paling-paling putih ke abu-abuan.
     Bahkan mentari pun tak bisa mempertahankan sinar putih kebanggaannya. Dikala pagi menoreh malam, maka sesumbar putih keperakan keluar dari mulut sang mentari. Sesumbar itu yang menganaktirikan segala kegelapan. Sesumbar putih itu pula yang menyegarkan pori-pori flamboyan di tengah hutan. Namun tatkala senja datang menggoda. Mentari harus merelakan kepergian sinar keperakannya mengikuti kemerahan senja yang merona. Senja yang memerah.
     Hei, dimana keberanian mentari! Hei, kemana kejantanan sebuah prinsip putihnya. Segala sesumbarnya. Kemana raibnya semua itu? Kemana! Yang tinggal hanya sisa-sisa keberanian putih yang harus rela dianaktirikan kemerahan senja.
     Dalam tarikh bermiliar tahun kalender lalu, putih selalu dijadikan simbol Yang Maha oleh orang-orang putih. Ada yang menyembah mentari. Mendewakan air. Bertuhankan roh-roh. Dan semua yang dianggap bisa menimbulkan putih. Tapi tak sedikit yang menjadikan api, gunung, lembah, goa dan banyak lain sebagai sesembahan. Kenapa demikian? Lagi-lagi karena mata mereka masih putih. Tak tahu mana kebenaran dan mana kesesatan.
     Dulu hari-hariku putih. Makanku putih. Minumku putih. Langkahku putih. Periuk nasiku putih. Tidurku putih. Sampai mimpi pun aku putih. Polos dalam kesahajaan kejujuran. Sayang... Selama itu aku merasa dikukung oleh keinginan mempertahankan prinsip putih hidupku. Hingga sampai pada klimaks kebosanan.
     Aku bosan harus berkata putih. Bosan mesti berbuat putih. Muak bekerja untuk urusan-urusan putih. Benci harus memimpi-mimpikan hal-hal putih. Karena dalam kesucian putih aku harus rela diperanaktirikan oleh orang-orang hitam. Tak jarang aku dijadikan kambing hitam oleh orang-orang tertentu hanya untuk menutup segala perbuatan hitam mereka. Lagi-lagi aku harus tabah seperti biasa dilakukan para penganut putih. Manut. Nurut. Carut!
     Segala carut buat putih. Segala sumpah serapah untuk kesucian. Karena tak ada sehelai keuntungan pun dapat diraih dari makna putih. Selain kekesalan, kebodohan, ketimpangan, kesemena-menaan. Dan ke... ke... lainnya. Kenapa putih tak menghasilkan putih pada zaman sekarang. Kenapa putih tak lagi menghasilkan warna-warni indah. Kenapa harus putih yang selalu menjadi tumbal. Ah! Persetan dengan putih.
     Aku ingin menjadi hitam. Aku harus menjadi hitam. Pemonopoli keadaan. Pencipta kemenangan. Meski dengan berbagai cara. Yang penting aku tak ingin menjadi putih yang dikambinghitamkan. Aku tak ingin dibodohi lagi.
Kemudian aku menjadi penganut hitam. Hari-hari ku mulai hitam pekat. Makanku hitam. Minumku hitam arang. Langkahku hitam. Periuk nasiku hitam. Tidur ku hitam diselimut kegelapan. Sampai mimpi pun takut mendekati tidurku.

     Aku adalah orang-orang hitam yang dulunya pernah putih. Aku selalu hitam dalam kesendirian yang menghitam. Sekarang timbul pertanyaan, kenapa harus hitam menghasilkan hitam. Tidak seperti putih yang tak selalu menghasilkan putih. Kenapa begitu? Andai dulu putih melahirkan putih, aku tak akan terkukung dalam penjara gelap ini. Aku tak harus menghakhiri perjalanan hitamku di moncong senjata para algojo yang sudah siap melapas gelar kehitamanku. Tapi... mau apalagi.

Penghuni penjara, 1505


     ‘’Hanya ini permintaan terakhirmu,’’ ujar seorang sipir kepada tahanan yang akan dieksekusi.
     ‘’Ya. Hanya ini...’’ ujarnya pelan. Kemudian tahanan itu meninggalkan sehelai surat itu di tangan sipir dan beranjak pergi menuju tembok tebal dihadapan sepuluh pasukan tembak.
     ‘’Tolong sampaikan suratku itu pada dunia! Pada seluruh umat di atas permukaan bumi ini!’’
     Dorrr!
     Serentak kesepuluh moncong senapan memuntahkan peluru ke arah dada si tahanan tadi. Ia roboh bersimbah darah dalam penyesalan hitamnya.***

Jambi, 01 Juni 2001