"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara. |Home|About Me| Friends |Mail-me|

Filosofis:
"Yang menyerah, hanya orang MATI!"
(owner)

"Sejarah, adakah yang lebih penting dari itu?"
(owner)

"Perjuangan itu menuntut harga mahal. Dan harus dibayar!"
(dari literatur manajemen)

"Masa depan adalah rangkaian waktu yang dibangun dari masa lalu, saat ini, besok, lusa dan seterusnya. "
(dari literatur berbau bisnis)

"Hidup adalah rentetan kenangan yang alpa. "
(Gazali Burhan Riodja--Alm. Sastrawan Jambi seangkatan Chairil Anwar)

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- BBM
- Termurah

Filsuf
- Beberapa nama

Counter

My Book

Sign Guestbook
View Guestbook

 


Minggu, 19 Mei '07 | 12.25 WIB
Bau


      Hari ini aku benar-benar bau. Busuk yang menyengat, sukses sudah membuat siangku tak berketentuan. Meski sulit bernafas, aku, masih saja mencium baumu dari sini, sobat-sobatku yang tak pernah mandi hati. Bagaimana hatiku bisa wangi, jika kau lagi-lagi melemparinya dengan sampah-sampah dapur.
Senin, 08 Januari '06 | 17.20 WIB
Menuju kepuasan


      Sampai di mana kepuasan itu? Apakah sampai kita menjumpai segala sesuatu yang bisa menimbulkan respek-respek kebahagian? Atau sampai tidak ada energi lagi untuk sekedar melepaskan senyum.
      Sebatas ini, aku melampaui banyak kepuasan yang kian hari kian tidak memuaskan. Pencapaian target, pencapaian jenjang karir, pencapaian emosi, pencapaian hasrat, pencapaian renungan, semua tak tercapai-capai hingga aku capai sendiri.
      Yang bisa aku lakukan, hanya berusaha bijak, bijak dan bijak. Tapi lihatlah, aku kian tak mengerti pada batas mana kebijakan itu berhenti, kalau kebenaran makin hari makin menjauhiku. Makin absurd, seperti kita.    


Sabtu, 10 Desember '05 | 16.15 WIB
Bertindak, cukup itu saja


      Kemarin aku bernostalgia dengan catatan harianku. Aku menemui fakta yang berbeda dari emosi ku saat itu dalam menyikapi sebuah persoalan atau fenomena.
      Contoh kecil ketika Inul Daratista menjadi Mahadewi mendadak, tiba-tiba ia harus terbunuh oleh tindakan Rhoma Irama sang Raja Dangdut menyangkut norma-norma agamis yang rasanya (saat itu) tidak masuk di akalku sebagai salah seorang pelaku seni. Bukankah seni tidak bisa diukur oleh alat ukur lain selain keindahan dan daya cipta? Lalu aku memberi cap buruk bagi Pak Haji tersebut. Sebagai pembunuh seni melalui tokoh Inul.
      Setelah bertahun-tahun kemudian, sekarang aku baru sadar, bahwa tindakan Pak Haji tidak lain sebagai trik luar biasa dalam menggiring kebangkitan Dunia Dangdut lebih terarah dan terkontrol. Sungguh, aku tak menyangka betapa Rhoma begitu jeli melihat sebuah kebangkitan meski masih kecil bersosok Inul. Lihat sekarang dangdut, ia bukan lagi seni panggung yang terpinggirkan dan bukan buat orang-orang pinggiran, melainkan lebih berderajat dan bergengsi layaknya visi kebudayaan Indonesia yang dibawanya. Rhoma, luar biasa.
      Catatan lain, perihal agresi Amerika terhadap Irak. Waktu itu (2003), emosi ketidaksetujuanku benar-benar terasa hingga sekarang. Api benci-nya demikian menyala-nyala. Sampai-sampai sebuah cerpenku berjudul "Pengecut" mewakili kebencianku terhadap tindakan Amerika yang didukung PBB. Meski "Oil for food" menjadi tameng tindakannya, Amerika tidak pernah mendapat maaf bagiku bahkan seluruh umat. Dilarang membunuh! Dilarang menghabisi sebuah peradaban!
      Catatan itu benar-benar sempurna sebagai wujud penyaluran emosi tertinggi. Sekarang, ketika aku membacanya dalam kondisi berbeda. Ketika harga BBM melonjak hingga berlipat-lipat persen dengan akibat harga kebutuhan melambung ke langit, tiba-tiba ada maaf buat "Dia". Oil is real for food, yah akhirnya pencapaian ini terpaksa datang. Meski lewat kerelaan yang terpaksa.
      Jadi, kesimpulan apa yang didapat dari semua ini. Aku rasa tindakan. Apapun jenis tindakan yang diambil asal konsep dasarnya kuat tentu akan menghasilkan. Karena setiap tindakan pasti membawa dua resiko, baik-buruk. Itu sudah pasti. Tinggal lagi seberapa berani kita membuat tindakan demi kemajuan atau demi demi yang lain. Bertindak, cukup itu saja yang diperlukan kawan. Yang lainnya serahkan saja pada waktu dan keberuntungan situasi.***        


Sabtu, 10 Desember '05 | 16.10 WIB
Ternyata sangat dekat2


      Kadar-kadar kebahagiaan, bagaimana mencari nutrisarinya? Atau adakah kebahagiaan yang sebahagia-bahagianya? Mmm... entahlah.
      Setelah melakukan pencarian, perenungan, dan pembelajaran sekian waktu, tidak ada yang lebih dekat dari agama. Yah, sebuah agama dengan nilai-nilai agung dengan janji tak teringkar dan berani!
      Kebahagiaan sebagai cita-cita, hanya Islam yang menjawabnya. "Kebahagiaan di dunia dan akhirat," demikian janji salah satu surat dalam kitab Alquran. Jadi mana lagi yang bisa begini ini? Jadi kenapa harus bersusah-susah melakukan pencarian kalau segala-galanya telah ada di situ, di tulisan-tulisan Tuhan sebagai rangkuman segala panduan kehidupan peradaban sebelum-sebelumnya.
      Titik akhir yang baru disadari. Ternyata sangat dekat... Sangat dekat kawan.   


Rabu, 09 November '05 | 17.30 WIB
Ternyata sangat dekat...


      Kau tahu, sebelumnya aku menganggap hidup ini selalu mengandung unsur-unsur kesusahan. Dalam rupa apapun lah. Masalah demi masalah seperti tali menali menjadi buhulan kuat yang tak terputuskan. Lagi-lagi pencapaian kebahagiaan tak pernah tertuntaskan.
      Aku mencari pengertian 'bahagia' dari berbagai versi dan sudut pandang. Tapi selalu sampai pada pemahaman tentang; "kesementaraan". Yah, itu lagi.. itu lagi... Tak ada yang abadi, kecuali kesementaraan itu sendiri.
       Namun anehnya kesusahan menjadi teman setia dalam dimensi kehidupan kita-manusia. Seolah-olah tak ada yang membahagiakan di dunia ini, terlebih jika logika berperan sebagai tokoh utama. Pemikiran menjadi pemimpin. Literatur sebagai senjata pamungkas.
       "Dunia ini memang diciptakan sebagai penjara bagi manusia. Wilayah sempit tempat orang-orang terhukum. Bukankah Adam dan Hawa 'dibuang' ke bumi tersebab kesalahannya?"
       Karena itulah, kesusahan adalah hal biasa kita temui selaku manusia, selaku narapidana sampai masa hukuman habis.
       Tersebab alasan di atas lalu aku memandang pesimis kehidupan. Semua tak pernah benar-benar membahagiakan. Pencapaian demi pencapaian hanya mitos belaka, hanya fatamorgana tak berkesudahan.
       Bahagiakah aku jika; pintar? kuat? populer? berkuasa? memiliki segala? ahli bercinta?
       Jawabannya; Iya. Tapi kembali hal yang sama harus diakui; untuk sementara. Yah, untuk sementara... kawan.
       Aku terpuruk, jatuh terjerembab. Demikian susahnya aku sampai-sampai aku mengibaratkan diri bertahun-tahun sebagai 'mayat hidup'!. Hidup tapi tak hidup. Mati tapi tak mati. Namun sebenarnya aku telah mati pada kadar-kadar tertentu.
       Tatapan kosong? Tak punya harapan? Tak tahu yang harus dilakukan? Tak bisa memilih arah langkah menuju? Tak peduli apa? Dan tanpa aku sadari aku telah larut pada penjara ini. Dipersempit lagi; penjara bernama 'rutinitas'!


Sabtu, 02 Oktober '05 | 22.05 WIB
Kesementaraan, hanya itu yang abadi


      Yah, kesementaraan. Kita selalu dihadapkan pada situasi-situasi atau kenyataan yang mengarah pada; "Yang abadi itu, ialah kesementaraan." Lebihnya hanya pelengkap belaka.
      Segala sesuatu. Sekali lagi, Segala Sesuatu selalu membawa sifat sementara selagi kau masih berada pada siklus kehidupan. Siklus kehidupan; lahir-hidup-mati. Demikian terus hingga peradaban demi peradaban mengalir dalam perubahan.      


Kamis, 24 Agustus '05 | 18.50 WIB
Apa yang Kau Lihat


      ''Berkacalah, apa yang engkau lihat, kekasihku?''
       Kedua malam ini, Nanda lagi-lagi tak bisa menentukan jawab. Ia demikian ketakutan akan kejadian malam kemarin. Di matanya Putra telah menjadi penyelia kuis tak berketentuan jawabnya. Karena itu ia hanya berdiam saja sembari menatap dalam lelaki yang dicintainya.
      ''Apa yang kau lihat?'' Antara cermin, hidung mancung Putra, wajahnya sendiri, Nanda mendapati kegalaun kembali.
      ''Jawablah, sayang. Banyak ketentuan setelah engkau menjawab, jika itu benar.''
      ''Aku… Aku tak tahu?''

Selengkapnya


Kamis, 24 Agustus '05 | 18.40 WIB
Cyberlove

Cerpen - ....Rasanya baru kemarin, duhai. Kau duduk-duduk di atas angan-angan sambil meng-cropping gambar jiwa se halus mungkin. Lalu kau taburkan di atasnya teks-teks kenangan sembari senyum ringan, dan hei, sadarkah kau, kau kini menjadi designer asmara profesional.
     Aku iri hati, duhai. Aku yang hari-hari biasa mencumbui komputer dan rekan-rekannya, tidak mampu rasanya menyamai hasil olahan gambar milikmu. Begitu halus, begitu cantik, begitu hidup, begitu cerdas, begitu berbicara, begitu sempurna!
     Andai aku tak kenal pendesainnya, sudah pasti telah kuvonis karya estetik itu sebagai ciptaan orang-orang Jepang, atau setidaknya konsultan desain koran-koran besar dan biro-biro iklan ibukota.
Selengkapnya


Kamis, 24 Agustus '05 | 18.30 WIB
Kepada hatiku yang tak berbentuk,

Romansa - Masih berupa bintik-bintik putih mengkilat di langit, mata ini menterjemahkan engkau sebagai bintang. Masih menjelma buih yang berkilau di atas laut biru, mataku memaknai kau sebagai intan terindah yang menggapai-gapai aku di tepian pantai berpasir emas. Masih berujud bulatan putih termahsyur di kerang dasar laut, aku melihat mutiara itu sebagai engkau, Gadis.

Engkau telah mencandai jiwaku beberapa pekan, bahkan berkali-kali aku tertawai keabsurdan ini sebagai realita sejati. Seolah-olah, kau telah terwujud. Berupa bintang, berupa intan, berupa mutiara, berupa… macam-macam warna.

Aku membiarkan kau, aku menyilahkan engkau, aku memerdekakan engkau, asal kau bisa terus menjadi 'sesuatu' di dalam bagianku. Padahal tetap saja, otakku mahfum benar bahwa engkau hanyalah imajiner belaka.

Ya, sama sekali tak berwujud, tak berupa apa-apa. Masih maya, masih bayang-bayang, masih mimpi. Tapi aneh memang, aku masih saja mengizinkan ini berjalan terus. Sewajar-wajar mungkin. Seolah-olah! Seolah-olah kau telah terwujud. Padahal belum.

Lalu agar otak bisa serasi dengan rasa, aku membuat nama lain buat engkau, mendeskripsikan engkau sebagai; "hati yang tak berbentuk". Ya, hati itu, telah lama diibaratkan dengan jiwa, sebab jiwa sama sekali tak punya wujud dan sukar dikenali. Makanya hati menjadi piawai karena diangkat simbol kejiwaan. Lantas bagaimana jika hati malah yang tak berbentuk?

Itulah yang terjadi diantara kita, duhai pengagum kesemuan. Kita sama-sama tahu bahwa kita sama-sama tidak tahu apa-apa tentang diri masing-masing. Antara kau-aku, jurang-jurang berlapis ternganga luas. Kebohongan demi kebohongan terpapar sempurna. Hanya satu yang tampak mulai menonjolkan diri, yakni rindu kita. Rindu akan jiwa-jiwa yang sempurna. Juga rindu tentang segala kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan yang padahal, kita juga tahu di dunia ini hal semacam itu hanya dongeng belaka. Mereka jauh lebih semu dari kita, duhai.

Demikianlah Na, kita hanya punya satu peluang, yakni membiarkan hati kita tak berbentuk. Aku-kau, hanya torehan kenangan yang pasti akan terlupa. Oleh waktu, oleh nasib, oleh usia dan oleh keberakhiran.

Dan kau, tetap menjadi "hatiku yang tak berbentuk" dalam beberapa dekade usiaku.

Send to: una


Minggu, 21 Agustus '05 | 21.15 WIB

Truth/False -  Saya tidak tahu pasti definisi kegilaan zaman sekarang. Dan saya jauh sekali dari tahu setelah membaca uraian mengenai bentuk-bentuk kegilaan Focult maupun teori-teori Freud. Mereka malah menggiring saya ke kegilaan terbaru, "realitas sebagai kewarasan valid!".
       Padahal semula saya beranggapan bahwa orang gila itu, si jenius yang punya imajinasi total. Saking kuatnya efek imajinatif mereka, tak ada unsur alam satu pun yang sanggup menggoyahkan kondisi tubuh mereka. Hingga, lagi-lagi focult barangkali benar, "orang gila adalah orang-orang yang anti alam."
      Lihat, uraian membingungkan bukan. Sampai saat ini saya terus saja berpikir bahwa saya tidak akan memiliki imajinasi sekuat orang gila. Yang bahkan, kehidupan mereka berada di alam imajinasi. Yah, suatu penggalian terdalam.
      Namun dengan kenyataan seperti ini bukan berarti saya ingin jadi orang gila. Kalau definisi-nya seperti; anti alam, tak berealitas, kumal, lusuh, tatapan kosong, dianggap mati di dunia nyata dan masyarakat. Saya lebih ingin menghindari realitas sewajarnya, sekedar membebaskan sisi-sisi kemanusiaan belaka. Tidak lebih.

Sabtu, 20 Agustus '05 | 22.30 WIB

Truth/False -  Semakin banyak yang saya tahu, semakin nyata ketidaktahuan yang saya rasa. Mengabur kian pudar hingga terkubur di kebingungan. Apa ini awal dari segala ilmu, kebingungan?

Selasa, 10 Agustus '05 | 20.05 WIB

Truth/False -  Pukul 14.45 WIB tadi siang. Saya mengumpulkan kru-kru baru pengelola website yang saya asuh. Di basecamp sempit berukuran 5x5 m persegi itu, wajah-wajah penuh kebingungan memperhatikan setiap gerik dari mulut saya yang seolah-olah tak mau berhenti memuntahkan kata-kata.
      Saya memulai pembicaraan dari sejarah berdirinya website, visi-misi hingga perjalanan terakhir per tri wulan kepada lima orang calon kru kami. Dan sepanjang itu, tidak ada yang berkesan bagi saya sendiri kecuali ketika entah mengapa terlintas kalimat indah bernuansa heroik lalu berwujud dalam monolog singkat siang tadi.
      "Perjuangan itu menuntut harga mahal. Dan harus dibayar!"
      Yah, demikianlah inti monolog yang saya jabarkan lebih kurang 15 menit kemudian.
      Dan kalimat ajaib itu seperti bensin yang membakar semangat rekan-rekan baru kami hingga kobaran semangat lewat sorot mata mereka menyilaukan hati kami.
      Bagaimanapun, sobat. Perjuangan itu menuntut harga mahal yang harus dibayar. Baik berupa waktu, materi, tenaga, pikiran, juga kepentingan-kepentingan bersifat ego.

Minggu, 07 Agustus '05 | 21.25 WIB

Truth/False -  Dua hari lalu aku mendapat pelajaran tak terduga lagi. Mungkin bisa digolongkan pelajaran ilmu etika pergaulan. Dan aku termasuk murid-murid yang gagal dipermulaan, semoga tidak diakhir materi.
      Bermula pukul 12 lebih sekian menit di siang Sabtu, aku dan seorang rekan karib berkunjung ke sebuah warnet kelolaan salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini (Jambi). Di sana kami berjumpa dengan seorang penjaganya, lalu terlibat pembicaraan yang kian memanas. Bertambah panas ketika ketua warnet tersebut ikut terlibat dalam diskusi. Intinya, kedua belah pihak sama-sama merasa benar, sama-sama merasa paling baik, dan parahnya, sama-sama merasa bahwa engkaulah pecundang itu.
      Di pihak mereka kemampuan-kemampuan teknis program web menjadi senjata mematikan. Kami hanya bisa menangkis sesekali, itupun dengan tameng tak seberapa kuat. Lalu kami pun membalas serangan dengan mempertontonkan kemampuan melobi pejabat-pejabat di provinsi ini serta link-link pengusaha ternama di kota kecil mulai berkembang ini. Siang Sabtu kian panas dengan ulah kami, pengunjung warnet sesekali mengernyitkan dahi mensitatap ke arah kami berempat.
      Selama lebih kurang 1 jam, perang bicara tersebut akhirnya bisa cair ketika aku meletakkan topi di depannya dengan menjual segala kelemahan kami dengan harga sangat murah. Melihat itu, mereka seperti jenderal perang memenangkan sebuah pertempuran, makin jadi saja mereka menikam hati kami hingga berdarah-darah dan berlelehan di dendam-dendam tak berujung.
       Hari itu, tidak ada capaian kerjasama yang diharapkan. Kecuali arogansi kian tertunduk dalam disela-sela hati yang mulai membusuk.
      Kuantar rekanku pulang, lalu aku sendiri pulang dalam kebisuan serapat cat yang menempel di dinding kamar kost. Hingga malam selesai, jiwaku benar-benar lelah menahan beban dendam di hati yang membusuk ini. "Bah, apa dia pikir cuma mereka manusia terpintar di dunia ini!"
     Renunganku di pagi panjang setelah malam terlewat sampai pada, "salahkah jika kukibarkan bendera putih sebelum peluru habis termuntahkan? Hingga kami terbunuh sia-sia. Ya, sia-sia."
       Entahlah. Lagi-lagi entahlah. Toh yang paling aku tahu di dunia ini adalah, bahwa aku tidak tahu apa-apa.
      Kecuali pendekatan psikologis ini yang menenangkanku; "Jika sama-sama merasa benar, maka kebenaran itu tidak akan menampakkan diri dalam wajah sucinya. Kecuali perang tak berkesudahan."

Kamis, 04 Agustus '05 | 12.55 WIB

 Time4 - Sudah kubilang, sekarang sama saja dengan minggu-minggu kemarin. Ketika waktu hanya sesuatu yang bisa dipermainkan. Lagi-lagi aku berhasil mengangkangi pagi, melecehkan siang dan memperkosa malam dengan begitu gagahnya.
      Aku hanya bisa minta maaf atas ketidaksopanan ini tersebab kawan, banyak yang harus didahului hari ini. Maaf, aku sudah menjadi pembunuh kematian, maka waktu bukanlah musuh besar bagiku.

Kamis, 04 Agustus '05 | 04.48 WIB

      Time3 - Lihatlah, waktu itu masih saja seperti anak kecil yang tak berpendirian. Ia gampang saja berubah secepat kilat mencakar pohon kelapa, terlebih jika kesungguhan jauh tertinggal di belakangnya. Aku sudah berkali-kali menghardiknya, konsisten! Konsistenlah engkau! Tapi berkali-kali pula ia mangkir lewat janji-janjiku.
      Banyak orang tua yang bilang; "pintar-pintar lah bagi waktu, niscaya hidup kau selamat." Bah! Bukankah waktu tidak bisa dibagi!
      Sekarang begini saja, anggaplah waktu itu sebuah persimpangan yang harus di lalui, simpang ke kiri dan simpang ke kanan. Nah, kira-kira mau kemana kau melangkah? Ke kanan atau ke kiri? Tentu di sini yang dituntut adalah membuat keputusan mana yang lebih didului. Kalau ke kanan ya harus ke kanan, kalau ke kiri ya ambil ke kiri, tidak bisa dua-duanya kan? Kalau pilih ke dua arah sekaligus, ya, bagi saja tubuhmu! Belah saja ragamu! Mau? Tidak kan!?
      Jadi sepanjang hari bulan tahun abad, aku kau kalian kita semua, sebenarnya bermain-main dahulu mendahului. Tidak lebih dari itu. Benar tidak?

Selasa, 02 Agustus '05 | 21.15 WIB

      
Time2 - Sekarang suasana berkebalikan dengan kemarin. Bahkan untuk menuliskan banyak kata di web ini, aku mengalami kesulitan memanage-nya. Yah, si waktu itu! Dasar benda abstrak yang menyebalkan!

Senin, 01 Agustus '05 | 20.00 WIB


      
Time1 - Hari ini aku memarahi diri sendiri. Kau tahu kenapa? Karena aku menghabiskan waktuku dengan tidur yang panjang. 12 jam! Bukankah itu kelalaian fatal! Sementara satu jam waktu sadar manusia bisa menghasilkan banyak produk dalam berbagai bentuk. Lagi-lagi karena manusia itu mahluk produksi. (kira-kira beginilah pikiran high level manajer menilai seseorang)
       Sementara; "masa depan adalah rangkaian waktu yang dibangun dari masa lalu, saat ini, besok, lusa dan seterusnya". Jika waktu saat ini kubangun dengan ketiduran yang panjang, kira-kira bagaimana masa depan yang nanti bakal kuraih?
       Padahal, seminggu yang lalu aku telah berhasil mengangkangi pagi, melecehkan siang dan memperkosa malam dengan begitu gagahnya. Tiba-tiba hari ini, semua telah membalasku dengan satu rapalan mantera tidur. Maka habislah perencanaan dan peluang-peluang saat ini.