"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Sepotong Lengan
Cerpen : Monas Junior

      Cinta itu butuh pengorbanan. Rasanya filsafat itu berlaku untuk masa dahulu, lima atau seratus tahun lalu. Ketika cinta tak terlalu mengenal kebutuhan materi, tak mengenal sentuhan harga diri dan martabat, tak tahu apa itu pangkat, jabatan dan segala macam titel kesarjanaan. Cinta saat itu bisa dibanggakan, pengorbanan tatkala itu dapat diacungkan jempol. Rasanya pada zaman serba haus kebutuhan saat ini, tak tepat jika pengorbanan tanpa perhitungan. Seperti apa yang dialami Randi, sahabat dekatku sejak masih duduk di bangku es-de. Karena berkorban demi cintanya, ia terpaksa menjalani kehidupan sebagai seorang pengemis yang mengharap belas kasihan orang lain. Pernah aku tawarkan untuk kerja padaku, namun mungkin karena malu dulu tak mendengarkan perkataanku, ia menolak meski sangat membutuhkannya.
      Tiga tahun lalu, Randi datang tergopoh-gopoh ke kamar kostku yang kebetulan sepi. Anak-anak pada keluar mencari bahan makalah untuk presentasi besok.
      ‘’Lan! Aku lagi suntuk !’’ dengan beban tubuh atletisnya ia hempaskan diri ke kasur sebelahku. Sprei putih beriak menerima hempasan tubuh Randi. Seketika ku hentikan kegiatan membaca.
      ‘’Ada apa, Ndi?’’
      Randi menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kencang.       ‘’Aku tak tahu mesti berbuat apa lagi. Semua sudut tak bertemu. Bahkan sisi-sisi pun tak bisa dikaitkan satu sama lain.’’
      ‘’Masalah apa yang kamu hadapi, Lan. Kulihat tak ada segurat cahayapun bersinar dari matamu?’’
      ‘’Aku kematian ide, Lan. Aku kematian pemikiran untuk satu masalah yang kini kutantang!’’ Randi setengah berteriak.
      ‘’Apa itu?!’’ lagi-lagi aku menanyakan hal yang sama. Aku menggeser duduk lebih dekat kepadanya.
      ‘’Aku menantang cinta, Lan. Tapi aku terhalang dinding tebal bak karang terjal mengganjal perahuku.’’
      ‘’Adakah kemungkinan untuk kau tembus? Atau kau butuh pembor raksasa untuk menembus dinding itu?’’ Aku menawarkan diri.
      Randi mendudukkan tubuhnya. ‘’Terimakasih, Lan. Untuk masalah satu ini cuma aku yang bisa memecahkannya.’’
      Seperti yang dilakukan Randi tadi, aku menarik napas berat dan menghembuskannya dengan keras disertai tundukan badan. ‘’Kalau memang demikian, aku berharap kamu bisa menemukan solusi terbaik.’’
      Aku berdiri, meraih gitar yang masih asyik bersandar di dinding kamar. Sambil menenteng gitar aku kembali duduk di samping Randi. Ia masih terpekur dalam tunduknya. ‘’Bagaimana kalau kita nyanyi dulu, buat hilangkan sumbatan di pikiranmu itu.’’ Setelah berkata demikian, jari-jariku dengan lincah menggelitik senar gitar satu demi satu. Denting-denting halus terdengar mengalun dari bibir gitar sampai aku hampir terhanyut dengan permainanku sendiri.
      ‘’Dia teramat berharga buatku, Lan. Teramat....’’ desah Randi membuatku terpaksa berhenti permainkan senar. Perlahan gitar kubaringkan di atas bantal. Aku menatap penuh perhatian ke muka Randi.
      ‘’Mulanya aku tak menyangka bakal benar-benar bernafas karena dia. Dia gadis tercantik yang pernah aku temui sepanjang kelahiranku. Dari dialah aku memahami getar-getar indah ini, kerinduan ini, kebutuhan ini, dan kehampaan ini. Hampir aku memutuskan untuk menyembah dia.’’
      ‘’Cukup! Kamu boleh mendewakan dia, kamu boleh mengagungkan dia, tapi tak boleh lebih dari itu! Kamu hampir menyekutukan Tuhan, Ndi. Ingat..... Cepat cabut omonganmu barusan. Sebelum kamu menerima adzab dari-Nya.’’ Aku menghardik Randi. Seketika emosi memanjat ubun-ubunku, karena kunilai Randi sudah kelewat batas!
      Dengan mata agak berair ia menatapku. ‘’Tapi itu benar, Lan. Aku.... Aku seolah-olah cuma robot yang tak bisa apa-apa tanpa baterai. Dan dia adalah bateraiku, Lan.’’
      Entah apa yang harus aku lakukan terhadap sahabat kentalku ini. Disatu sisi aku kesal dengan ketakberdayaannya, namun disisi lain aku kasihan melihat wajah polos memelas itu. Dan kepolosan itulah yang menyebabkan emosi menuruni jenjang demi jenjang ubun-ubunku. ‘’Ya... sudah. Sekarang aku mau tanya, kamu sudah ungkapkan perasaanmu kepada gadis itu?’’
      Randi menjawab dengan gelengan. Dan itu menciptakan kerenyitan di dahiku. ‘’Kenapa bisa begitu? Katanya kamu mencintai dia, lantas bagaimana dia bisa tahu kalau kamu cuma membisu,’’ aku kembali melanjutkan.
      ‘’Kamu seperti tak tahu saja. Ketika lelaki benar-benar mencintai seorang gadis, ia tak akan bisa menyatakan kecintaannya kepada sang gadis dengan kata-kata. Hanya sikap dan perhatian yang banyak bicara.’’
Kali ini mau tak mau aku membenarkan ucapan Randi.
      ‘’Dia ibarat gunung di tengah lautan, dimana orang tuanya adalah karang-karang terjal yang siap melahap ku,’’ desah Randi untuk kesekian kali.
      ‘’Pernah aku berenang bermodal sebilah kenekatan. Tapi sayang, belum sampai di tepi gunung itu, karang-karang menggelincirkan ku ke tengah lautan kembali. Tak ada jalan lain selain pulang dan cepat-cepat mencari obat luka.’’
      ‘’Siapa mereka, Ndi....’’
      Untuk beberapa menit Randi cuma termenung. ‘’Ratih...’’ ujarnya pelan.
      ‘’Ratih...?’’ ulangku.
      ‘’Putri tunggalnya Pak Sinto.’’
      ‘’Pak Sinto Arka, dosen pembimbing kita?’’ aku mencari ketegasan.
      ‘’Ya..... ’’
      Pelototan mataku dijawab hembusan napas Randi. Ia membaringkan tubuhnya kembali begitu tak mendapat tanggapan dariku. Terus terang, keheranan ini tak bisa kuungkapkan. Masalahnya aku tahu bagaimana watak Pak Sinto. Keras, disiplin, wibawa, sok kuasa, dan sok materialis. Watak biasa dimiliki orang-orang baru mengenal dunia kegemerlapan harta.
      ‘’Boleh aku tidur disini sebentar, Lan.’’ Randi berkata nyaris menyerupai bisikan. Aku tahu beban pikiran menggantungi kelelahannya.
      ‘’Rumahku adalah rumahmu. Aku kan sudah bilang untuk tinggal sama aku...’’ Ops! Aku segera menahan mulut, karena aku sadar kata-kata ini sudah tak terhitung keluar dari bibirku. Sampai aku hapal apa yang akan dikatakan Randi.
      ‘’Pamanku menyangkarkanku....’’ Seperti igauan Randi berucap sambil bibirku mengiringi ucapannya.
      Mata Randi tertutup rapat, namun tak begitu rapat untuk menyembunyikan buncahan masalah yang mengeruti wajahnya. Aku jatuh kasihan melihat nasib sahabatku ini. Setahuku baru pertama ini ia menemukan cintanya. Karena sejak dulu ia tak pernah bercinta meski dengan seorang gadis pun. Mungkin karena faktor keluarganya yang tak mampu.
      Aku meraih gitar dari atas bantal, untuk kemudian pindah duduk di kursi samping meja belajar jarak tiga depa dari tempat tidur. Dengan perlahan aku memainkan melodi yang tadi sempat terhenti oleh keluhan Randi. Melodi itu mulai bergulir seiring semilir angin dari luar jendela, begitu simponik dengan detakan jam dinding yang seolah tak mau berhenti.
      ***
      Lebih kurang dua minggu aku tak mendengar kabar dari Randi. Ia seperti ditelan bumi dimakan lautan saja. Di rumah pamannya tak ada, di kampus tak pernah masuk, di tempat ia biasa nongkrong juga tak ditemukan. Lantas kemana ia sekarang? Kemana aku harus mencari lelaki yang tengah dilanda asmara itu?
      Setelah kasak-kusuk melakukan pencarian, akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat kostku. Disamping pencarian tak menemui hasil, badan kurus ini terasa lelah sekali. Rasanya kaki sudah tak kuat lagi menopang berat beban ku sendiri. Alangkah terkejutnya aku begitu dua langkah menginjak lantai kamar, ternyata sosok tubuh yang begitu kukenal tengah duduk di atas kasur membelakangi ku.
      ‘’Randi!’’ Setengah teriak aku menyebut namanya. Lalu kuhampiri ia.
      ‘’Remuk redam badan ini karena mencari kamu, Ran. Tak tahunya kamu malah terpekur di kasur tak bernyawa ini.’’ Aku duduk di samping Randi.       ‘’Kamu kenapa, Ran?’’ Tersirat kekhawatiran begitu melihat reaksi Randi yang hanya terdiam dalam keheningannya.
      ‘’Kumohon jangan tertawakan aku, Lan. Jangan tangisi kebodohanku, dan jangan pernah rutuki aku. Kumohon....’’
      Semakin khawatir mendengar keluhan Randi barusan. ‘’Bodoh kalau aku tertawa sementara kau menangis, tragis aku jika menangisi kesalahanmu dan terkutuklah aku merutuki kamu. Karena kamu satu-satunya teman yang kukenal dari sejak aku mengenal bahasa.’’
      ‘’Aku percaya...’’ Sehabis berkata, Randi mengangkat tangan kirinya melewati kepala.
      Astaga! Seakan tak percaya mataku menyaksikan banjiran darah segar keluar dari tangan kiri Randi yang kini buntung!
      ‘’Randi! Apa yang terjadi terhadap tangan mu itu? Apa, Ran. Siapa yang melakukannya!’’ Girisku membalikkan tubuh Randi hingga berhadapan badan dengan aku. Ceceran darahnya mengenai baju kemeja yang aku pakai, dan aku tak peduli. Dengan agak gemetaran aku menurunkan tangan kirinya. Randi hanya menurut dilatarbelakangi wajah pucatnya yang mengkertas.
      ‘’Katakan cepat! Katakan, Ran! Siapapun pelakunya, tak kan kubiarkan ia menikmati mentari esok pagi. Biar kubuktikan tak ada malam tanpa siang, biar dia tahu hukum sebab akibat itu nyata! Akan kuhabisi dia! Katakan!!’’
Plak!!! Randi menampar keras pipiku. ‘’Diaaam! Orang sok tahu biasa makan ludah sendiri. Mau kamu apakan pelaku itu, mau kamu bunuh, kamu cincang atau mau kamu hanyutkan di rawa berbuaya! Haaa!!!’’ Randi merontokkan kemarahanku.
      ‘’Kamu mau tahu siapa pelakunya?!’’ Randi bertanya kepadaku, nadanya mula merendah. Sementara aku tak tahu harus berkata apa. Aku kini tengah dikuasai nafsu amarah, sampai-sampai untuk bernafas saja kesulitan.
      ‘’Pelaku itu adalah aku sendiri....’’
      Mungkin gelegar guntur bisa dikalahkan oleh keterkejutanku mendengar pengakuan Randi.
      ‘’Aku memotong tanganku sendiri, Lan.....’’
      Belum sempat aku mendorong kata-kata selanjutnya, Randi kehilangan kesadaran hingga kasur bersimbah darah itu menjadi korban tubuhnya. Tanpa pikir panjang, sambil merutuki kesalahanku kenapa tidak segera membawa Randi ke rumah sakit, aku menggendong Randi untuk kemudian melajukan kakiku keluar.
      ***
      Seminggu lebih Randi tak sadarkan diri. Kehidupannya bergantung penuh sama selang infus beserta cairannya. Dan selama seminggu itu, tiap kali menjenguk Randi aku tak ubahnya calon bapak yang tak boleh menengok isteri serta calon anak pertamanya di dalam ruang bersalin. Aku cuma bisa duduk di kursi panjang menyandang seribu kegelisahan sembari menikmati rokok kegemaranku. Ditambah beban kesalahan dari orang tua Randi. Mereka beranggapan akulah penyebab Randi sampai menjalani penginfusan ini, akulah biangkerok dibelakang semua ini.
      ‘’Bapak sudah bilang. Randi itu anak lemah, jangan diganduli bermacam kekerasan yang sering kau terima selama ini, Lan. Bapak kecewa, kenapa mesti Randi yang menjadi korban kebrutalan pergaulan yang kau jalin. Kenapa mesti dia?’’ Begitulah kira-kira monolog menjurus penuduhan terhadap ku oleh bapaknya Randi.
      Aku tak mempermasalahkan kesalahpahaman mereka. Karena mereka dibawah hipnotis emosi dan kesedihan. Perkataan orang emosi jangan ditantang; itu prinsip dasar yang selalu kubawa tiap aku menetapkan untuk berdiri.
      Setelah menghabiskan berpuluh bungkus rokok, beratus jam juga berbagai ocehan orang tua Randi, akhirnya Randi kelar dengan semadi infusnya. Dari bibirnya yang pecah itu ia menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya. Kenapa sampai ia membuntungi tangannya sendiri tanpa tendeng aling lagi. Pada saat pengungkapan itu, disana ada ibu-bapak Randi, dua orang adiknya dan aku seorang diri. Kami semua mendengarkan Randi bertutur.
      ‘’Aku dirajam cinta. Kenyataan ini harus aku reguk meski aku belum merasa haus. Pak Sinto menolak hasratku untuk mencintai anaknya. Dengan berbagai dalih ia mendepak aku seperti sampah.’’ Sebatas itu. Randi meminta diambilkan segelas air.
      Pagi-pagi, ketika surya baru merencanakan langkahnya. Randi menyinggahi rumah Ratih, setelah sekian lama tak juga bisa menemukan cara untuk menemui putri tunggal Pak Sinto itu. Tepat di depan teras, Pak Sinto yang sudah siap dengan pakaian dosennya melangkah ditemani isteri dan putri tercintanya. Randi segera menghentikan langkah beliau seraya menyatakan ia mencintai putri tunggalnya. Dan bermaksud ingin mempersunting Ratih.
      Mendengar itu Pak Sinto murka, sampai tak bisa membedakan mana yang lebih seram setan atau muka ia. ‘’Apa yang kau pertaruhkan sehingga begitu yakin bisa mempersunting putriku.’’
      ‘’Cinta, ‘’ jawab Randi pasti.
      ‘’Kamu pikir jaman sekarang bisa hidup dengan cinta. Kamu pikir sehari-hari bisa makan cinta, bisa minum cinta, bisa bangun rumah berbatakan cinta? Tidak bung! Tidak! Sebelumnya kamu harus menyiapkan bantal untuk menyandarkan cintamu itu. Sementara aku tahu pasti siapa kamu ini. Kamu mahasiswa teraneh yang pernah kutemui. Kerjamu cuma bolos kuliah, keluyuran, belum kerja dan berbagai informasi buruk mengenai kamu singgah di kupingku. Jadi jangan pernah berpikiran untuk menikahi anak saya dengan bermodalkan cinta nekatmu itu!’’ hardik Pak Sinto.
      Wajah Ratih juga merah padam, mungkin karena malu atau tak paham ekspresi apa yang pantas dikeluarkan mengiringi keterkejutan itu. Seingat Ratih, ia baru sekali bertatap muka dengan Randi.
‘’Tapi aku benar-benar mencintai Ratih, Pak. Lagian nasib ditangan Tuhan. Siapa tahu setelah menikahi Ratih, jalan hidupku berubah dan aku jadi orang sukses. Kan itu bisa saja terjadi.’’
      ‘’Bisa. Kalau kamu hidup di dalam dunia khayal. Sekarang, kamu harus menghilangkan pikiran nikah-menikahi itu. Pikirkan saja status kemahasiswaanmu dan jalan hidup mana yang nanti bakal kamu tekuni.’’
Isteri Pak Sinto hanya menggeleng-gelengkan kepala. Demikian juga Ratih.
      ‘’Aku harus menikahi Ratih, Pak. Kalau tidak, aku terpaksa menikahi cinta dengan kematian.’’
      ‘’Oh, ya!? Sebesar apa cintamu itu, sehingga kau sesumbar mempersembahkan kematian demi cinta yang kamu junjung? Sebesar apa?!’’
‘’Sebesar ini.’’ Randi meraih sebilah parang yang dibawa tukang kebun Pak Sinto dari balik garasi. Dan seper sekian detik. Cras!! Randi memutuskan lengan kirinya.
      ‘’Aaaa!!’’ pekik Ratih berbarengan dengan ibunya. Mereka berdua berpelukan. Sedang Pak Sinto tersurut beberapa langkah.
      ‘’Kupersembahkan lengan ini demi cinta. Bahkan nyawapun akan kupersembahkan bila cinta memerlukan!’’ Randi menyerahkan potongan lengannya kehadapan Pak Sinto.
      ‘’Anak gila!’’ Pak Sinto menepis tangan Randi hingga potongan itu jatuh tergeletak di lantai teras. ‘’Pergi kau! Jangan pernah kemari lagi. Tempatmu di rumah sakit jiwa!’’
      Seolah mengerti, tukang kebun Pak Sinto menyeret tubuh Randi keluar perkarangan diikuti tatapan nyalang Pak Sinto. Sementara Ratih tersegukan dalam pelukan ibunya. ‘’Takkan kubiarkan dunia memenangkan cinta! Tak akaaan!!!’’ pekik Randi di balik tembok pagar.
      ‘’Sekarang apalagi yang mau kamu potong! Kakimu, kepalamu, jantungmu! Apa! Jawab anak bodoh!’’ Ibu randi memukuli tubuh Randi setelah mendengar penuturan Randi. Ia begitu terpukul dengan kebodohan yang dilakukan anaknya. Setelah sekian tahun mensuplai cinta, sama sekali tak pernah ia membayangkan untuk mendapati kebodohan Randi ini. Anak kandungnya. Bapak Randi memeluk isterinya.
      ***
      Tekad Randi terkabul. Dunia tak akan bisa mengalahi cinta! Buktinya, sebulan kemudian Ratih datang menemui Randi. Ia bersedia menjadi pengantin Randi tanpa syarat apapun. Bahkan ia rela meninggalkan segala kemewahan yang biasa ia peroleh di rumah.
      Pada akhirnya Randi menikah disaksikan kedua orang tua Randi, aku dan paman Ratih. Sedang Bapak dan Ibu Ratih sama sekali tak mengetahui resepsi yang diadakan di kediaman Paman Ratih itu. Sebab jika mereka tahu, pasti mereka akan mencegahnya. Selain itu Ratih sudah seminggu minggat dari rumahnya.
      Pasangan Randi hidup berbahagia meski tak ada pesta. Angin dingin ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan mereka, bahkan awan pun seolah mendukung mereka dengan menutupi keterikan mentari. Tapi itu cuma sebulan. Kedua orang tua Randi meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Nasib Randi diujung tanduk, diantara kegelisahan dan kesedihannya ia memboyong isterinya pergi dari rumah duka itu. Entah kemana tanpa memberitahu aku. ***

(Pinggiran Batanghari, 06 Mei 2001)