"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Mati Suri

Cerpen : Monas Junior

      Ayat-ayat suci yang keluar dari puluhan orang dalam sebuah rumah terdengar begitu menyayat hati. Betapa tidak, di sela-sela pengajian itu juga terdengar ratapan sendu beberapa penghuni rumah itu. Mereka adalah keluarga yang ditinggalkan oleh sosok kaku yang kini terbujur di atas kasur panjang. Sosok itu tertutup kain bercorak batik seluruh tubuhnya. Bunga-bunga melati diletakkan begitu saja di sekeliling tubuhnya, hingga menimbulkan bau harum khas melati, bunga kematian. Sementara itu masih di dekat sosok tak bernyawa itu, orang-orang bertambah banyak yang membuka kitab dan membaca bersama-sama sambil berurai air mata. Mereka adalah kerabat-kerabat yang ditinggalkan mayat tersebut. Dilihat dari batapa banyak pelayat yang hadir di hari kematiannya, dari situ bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa sosok tersebut termasuk orang penting. Pejabat barangkali.
      ''Kami dari pihak kampus, sangat-sangat berduka cita atas kepergian anak bapak. Karena selama ini, almarhum yang kami kenal merupakan salah seorang penggiat kampus. Dan dia juga andalan kami semua. Sekali lagi kami turut berduka cita, semoga almarhum dapat iterima di sisi-Nya dengan damai...'' ucap Rektor dimana almarhum kuliah kepada lelaki tua yang merupakan ayah dari almarhum.
      Ops, ternyata salah. Sosok yang terbujur kaku di atas kasur tersebut bukanlah seorang pejabat, melainkan seorang aktivis ampus. Dia salah seorang anggota resimen mahasiswa di kampusnya. Dan keaktifannya hampir melebihi komandan menwa yang mengepalainya karena banyak kegiatan positif yang lahir dari ide-idenya. ''Kenapa bukan kamu saja yang jadi Danmenwa, Jik...'' Begitu ungkapan salah seorang rekan almarhum. Tapi memang benar adanya. Zaman sekarang ini para pemimpin banyak yang menerapkan sistim 'wait and see', lihat dan menunggu, tanpa mereka tahu bahwa keadaan akan selalu berubah dalam setiap detik jarum jam. Menunggu dan menunggu hingga lupa hal-hal lain yang lebih baik dan bermanfaat ketimbang hanya menunggu.
      Di luar sana, di halaman rumah, tampak seorang lelaki mengenakan rompi coklat dan topi hitam menggandeng tas hitam tengah mengamati rumah almarhum yang seperti gula dikerubuni semut. Kemudian lelaki berompi coklat menghampiri seorang pelayat yang kebetulan baru mau masuk ke dalam rumah almarhum.
      ''Siapa yang meninggal, pak?'' kejar pria tersebut yang tak lain wartawan salah satu media.
      ''Ajik...'' jawabnya pelan.
      ''Siapa Ajik?'' kembali wartawan tersebut mengejar dengan naluri kewartawananannya.
      ''Seorang aktifis...''
      ''Bagaimana kejadiannya, pak?''

*****

      Siang itu, suasana benar-benar riuh dengan suara-suara teriakan dan cacian di depan kantor de-pe-er. Mereka adalah para mahasiswa mengenakan seragam hijau-hijau dengan baret ungu. Diantara mereka ada yang membawa spanduk bertuliskan macam-macam, tapi intinya cuma satu yaitu menolak pembubaran menwa. Seorang bertubuh agak ceking maju ke depan panggung yang dibuat dari tumpukan kardus. Sosok itu berorasi dengan nada keras membahana, begitu jelas dan lantang.
      Sementara di depan mereka, berkumpul barisan berseragam loreng lengkap dengan senjata api di tangan membelakangi anggota dewan. Mata-mata sangar mereka membelalak seolah-olah ingin menyantap bulat-bulat para mahasiswa yang ada di hadapan mereka. Tangan-tangan mereka gatal semua untuk menarik pelatuk dan segera memuntahkan peluru timah panas.
Detik berikutnya entah siapa yang memulai, tiba-tiba terjadi kericuhan yang menjurus kebrutalan. Dimana para mahasiswa melontarkan kata-kata kotor disertai kotoran-kotoran lain seperti batu, sampah pisang, juga botol air plastik.
      Ujungnya sudah bisa ditebak. Anggota berseragam loreng melakukan reaksi balik dari aksi mahasiswa barusan. Begitulah, siang yang panas bertambah panas oleh pertempuran dua kubu. Letusan-letusan senapan api saling berburu dengan teriakan-teriakan histeris dari kalangan mahasiswa. Benar-benar tidak aman dan terkendali!
      Dari arah berlawanan jarum jam, tiga panser bergerak menuju kerumunan massa. Dan Ajik-lah yang pertama kali melihat kedatangan panser itu. ''Rekan-rekan. Ayo cepat kabur! Cepat!'' teriak Ajik lantang sambil melambai-lambaikan tangan.
      Mahasiswa yang melihat lambaian tangan Ajik segera ambil langkah seribu, dan diikuti oleh semua mahasiswa. Hingga suasana semakin bertambah kacau. Kubu mahasiswa seperti ayam kehilangan induk; ribut, panik dan tak tahu arah mana yang mau di tuju.
      ''Hoii!!! Kesini! Kesiniii!'' pekik Ajik sekali lagi. Tangannya kembali melambai-lambai namun lebih kencang dari yang tadi. Kerumunan mahasiswa berlarian menyerbu ke arah Ajik berdiri. Disitu, ia berdiri dengan gagah sembari terus menyemangati rekan-rekannya untuk melarikan diri. Setelah semua berhasil melarikan diri, Ajik menyusul mereka.
      Langkah-langkah lebar Ajik masih kurang panjang dibandingkan kecepatan panser dari tim berbaju loreng. Hampir saja Ajik berhasil tertangkap jika tidak dengan sengaja ia terperosok ke dalam sungai di tepi jalan, atau lebih tepatnya parit besar berbentuk sungai agak dalam. Maka tanpa menghiraukan bau busuk menyengat dari air parit, Ajik membenamkan tubuhnya ke dalam air kotor itu sambil berenang ke arah hulu.
      Namun sayang, tim berbaju loreng masih bisa mendeteksi keberadaan Ajik di dalam parit tersebut. Setelah jelas melihat gelembung-gelembung udara dari dalam air parit, salah seorang aparat di atas panser mengarahkan senapan api laras panjang ke arah air yang bergelembung. Dan...
      ''Ajik tewas di tangan aparat itu! Terkena timah panas, dan langsung mati di tempat?!''
Wartawan bertopi hitam mengejar dengan pertanyaan bertubi-tubi. Nafsunya karena mendapat berita menarik semakin tinggi.
      ‘'Tenang dulu, pak... Ceritanya belum berakhir. Dengar dulu orang bercerita, kalau tidak sampai habis bisa-bisa salah pengertian lagi, seperti bapak sekarang ini.'' Pelayat yang mengenakan sarung berkata santai.
      ''Lalu, lalu bagaimana kelanjutan ceritanya, pak. Siapa yang menyebabkan Ajik tewas?'' Wartawan tersebut masih terus memburu.
      ''Baiklah. Begini...''
      Senapan yang dipakai aparat tersebut ternyata tidak ada pelurunya. Hingga setelah beberapa kali ditarik pelatuk, namun tidak ada bunyi maupun peluru yang keluar dari moncong senapan. Sementara Ajik masih terus berenang dengan kencangnya.
      Hari telah malam, Ajik berhasil dengan gemilang meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan kini ia duduk bersender di bawah pohon kelapa dekat tepi parit. Baju basah dibiarkan begitu saja menempel pada tubuhnya. Dada Ajik naik turun tak beraturan serta keletihan membayang dari roman mukanya.
      Ditengah kelengahan Ajik, sekonyong-konyong tanah yang tengah ia duduki bergetar hebat. Air parit bergejolak dahsyat. Ternyata gempa! Belum lagi sadar akan keadaan, tiba-tiba buah kelapa agak besar mendarat dengan kencang dan sukses di atas kelapa Ajik hingga menimbulkan suara... Kraaak!!!!
      ''Nah, begitulah ceritanya, Nak wartawan.'' Pelayat bersarung menutup ceritanya.
      ''Oooo... Jadi ia tewas akibat buah kelapa itu, toh...'' Angguk wartawan itu mengerti. Kemudian ia sibuk menulis di 'notebook'-nya.
      ''Toloooong!!!! Ada mayat hidup!!!'' tiba-tiba sebuah pekikan terdengar dari arah dalam rumah Ajik. Disusul kemudian, beberapa orang pelayat berlarian keluar rumah dengan wajah ketakutan.
Dengan rasa keingintahuan tinggi, wartawan bertopi hitam mencekal tangan seorang pelayat yang tengah berlari. Ia menanyakan perihal pekikan dan ketakutan dari dalam rumah almarhum. Dan si pelayat menjawab dengan tergagap-gagap, ''A-A-Ajikhidup lagi.Ya, Ajik hidup kembali,'' katanya singkat untuk kemudian melanjutkan larinya.
      Di dalam rumah, dua orang tengah berpelukan sambil bercucuran air mata. Ia adalah Ajik dan ibunya. Sambil mengusap-ngusap kepala anaknya, tangisan dari ibunya Ajik semakin kencang terdengar, sebab ibu mana yang tidak senang bila anak lelaki satu-satunya tidak jadi dipanggil Yang Kuasa. Sementara lelaki separoh baya mengenakan peci hitam tersenyum haru menatap perlakuan antara anak dan isterinya, untuk kemudian ia juga memeluk mereka berdua.
      Kekuasaan... kekuasaan. Kekuasaan Dia jauh lebih kuasa daripada penguasa yang sok kuasa. Apapun yang akan terjadi, maka jadilah. Tak ada ruang pembatas jika ia berkehendak. Tidak ada satu unsur pun yang dapat menahan kemauan-Nya. Yang mati bisa jadi hidup, yang hidup bisa jadi mati. Tapi akankah sesuatu yang diperjuangkan Ajik bisa hidup lagi setelah kematiannya? Atau tidak sama sekali. Itu adalah pertanyaan besar yang ada di benak wartawan mengenakan topi hitam.
      Wartawan tersebut melangkah keluar rumah dengan cepat. Ia sudah tidak sabar lagi untuk mengetik berita aneh yang baru saja dihadapinya. ***

Jambi, 2001