"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Cyberlovetika
Cerpen: Monas Junior

     Ini bukan sekedar retorika perasaan sewaktu kertas wangi terukir huruf-huruf yang selesai kubaca, kucampakkan ke keranjang sampah. Bukan juga kebencian akan design buruk dari si pembuat undanganmu. Bukan, bukan itu.
     Melainkan kemunafikanku mengakui kekalahan setelah tahu benar bahwa Minggu esok sedari pagi sampai selesai, kegadisanmu resmi dikalahkan sebuah resepsi. Acara resmi yang mewah!
Undangan angkuh itu membawa aroma ketulian akan jeritan luka yang sepertinya telah menetap di sini, di balik dada rapuhku. Duhai yang kurindui, betapa.
     Betapa kemarin kita berhasil merubah warna hati dari RGB ke CMYK dengan paduan yang apik. Apalagi kau kuatkan sedikit cyan, cinta kita tampil benar-benar biru lepas, sepadan laut yang terbayang di langit. Lantas hati aku-kau menjadi image digital terbaik saat itu.
     Rasanya baru kemarin, duhai. Kau duduk-duduk di atas angan-angan sambil meng-cropping gambar jiwa se halus mungkin. Lalu kau taburkan di atasnya teks-teks kenangan sembari senyum ringan, dan hei, sadarkah kau, kau kini menjadi designer asmara profesional.
     Aku iri hati, duhai. Aku yang hari-hari biasa mencumbui komputer dan rekan-rekannya, tidak mampu rasanya menyamai hasil olahan gambar milikmu. Begitu halus, begitu cantik, begitu hidup, begitu cerdas, begitu berbicara, begitu sempurna!
     Andai aku tak kenal pendesainnya, sudah pasti telah kuvonis karya estetik itu sebagai ciptaan orang-orang Jepang, atau setidaknya konsultan desain koran-koran besar dan biro-biro iklan ibukota.
     Lain hari aku kepanasan ide, kuobrak-abrik fasilitas photoshop pada sebuah file gambar. Pertama kumainkan layer, drop shadow, croping pakai lasso, terakhir kutaburkan warna pelangi dengan bantuan gradasi spiral pada foto lukisan pemandangan. Maka jadilah gambar hasil editing, yang kurasa agak memenuhi standar keindahan.
     Ketika gambar tersebut kuimpor-kan ke pagemaker, aku kehilangan akal lagi. Aku kehabisan ide penempatan. Di mana kutaruh hasil olahan digital image ini. Di kirian-kah, di tengah-tengah halaman-kah, di atas, atau malah di bawah sekali. Sudah, kutaruh saja sembarangan. Hasilnya juga sembarangan, tersebab psikologi mata tak bisa menerima pemandangan yang sembarang.
     Sial. Masih banyak waktu untuk merubah. Tiga jam, empat jam, seminggu, setahun, seabad. 'Masih banyak waktu', kau bilang begitu seusai kita bertempur dalam kenistaan norma.
Seperti dipicu, aku tak mau kalah oleh keadaan. Kuulang lagi proses import image kemarin. Kali ini gambar itu kutempatkan sebagai grafis untuk tabel pariwisata yang ber-raster cyan 50 persen.
Tapi hasilnya benar-benar buruk, sayang. Luar biasa amburadul. Image olahanku membawa sisi-sisi putih sisa cropping-an hingga teks-teks pada tabel terhimpit olehnya. Seketika aku teringat sebuah proses yang tertinggal. Ialah path. Ya, aku lupa me-path-kan bagian terpilih hingga backgroundnya ikut serta jika diimpor ke pagemaker. Padahal kau sudah berulangkali mengingatkan itu padaku.
     ''Path-kan, path-kan janji-janjimu. Jangan kau rusak dengan kemunafikan dan jutaan alasan analog.''
     ''Iya, tapi…''
     ''Tuh, kau beralasan lagi.''
     Usai cemberut kau berangus aku dengan kesunyian. Tak ada yang bersisa sepeninggal engkau, kekasih. Jiwaku kerontang saat itu juga.
     Kakiku berhamburan mengejar tubuhmu sembari meneriakkan luka atas nama sunyi, sementara namamu sebagai lampiran belaka. Barangkali kau tahu itu, makanya tubuhmu melesat dengan kecepatan sekian terrabyte per detik. Aku gagal menyusul kau. Bayangmu pun tak sempat kuraih, Dinda. Benar-benar kasip.
     Esok, kulacak lagi engkau. Via pos, via phone, via email, via search browser, via link-link di dunia maya segala lokasi. Tapi, tak juga kutemukan sudut-sudut tubuhmu. Tak se-byte-pun.
Kau menghilang sekian waktu. Imajinasi digitalku mati menggenaskan dibuatnya tanpa detik-detik kelahiran karya. Sebab, ah, aku butuh kau sebagai power supply.
     Baru sekitar dua dekade kau muncul lagi dalam karakter-karakter tersusun di email pribadiku. Itupun cuma beberapa paragraf. Intinya kau hanya ber-hai-hai-an saja. Lah, kemana rindu berat yang kita banggakan dulu, kemana kesangsian tak jumpa yang sering kita perdebatkan, kemana pula khayalan-khalayan pertemuan yang kita buat sebagai alam digital nan elok masa esok. Kemana itu semua, kekasih… Kalau yang ada hanya karakter-karakter pendek tanpa basa-basi kecintaan.
     Jadi jangan rutuki aku tersebab men-trash-kan suratmu. Lalu membuat email baru pada situs baru di kenangan terbaru. Beberapa saat, aku bahagia dengan kesendirian. Tenang di pertapaan sepi. Bahkan sempat aku menjadi rahib dalam kuil webmaster dan melakoninya dengan sesungguh hati, selengkap jiwa.
     Namun itu bertahan sebentar. Sejak kau temukan aku, lalu kau gelitik aku dengan kemanjaanmu, bercanda lewat suara-suara huruf yang sejuk lebih dari kesejukan kuil yang kudiami, aku terpaksa keluar menuju wujud manusia kemarin. Dan terpaksa pula kuikuti birama yang kau tawarkan di dunia tak berujud.
     Lantas kita menjadi pecinta maya terbaik. Pemenuh bandwith terbaik, pengisi server terbaik, pengunjung situs yang juga terbaik. Tiada kesemuan melebihi kita, duhai. Berhari-hari tak kenal lelah kita gumuli dunia tak jelas rimba ini dengan cerita cinta yang luar biasa seru. Seolah-olah tak ada lagi netter selain kita. Hanya kita, duhai.
     Sekejap nickname aku dan kau menjadi top, menjadi rumor, menjadi nama situs, menjadi judul buku, menjadi novel, menjadi skenario, menjadi sinetron, menjadi film layar lebar, menjadi komunitas, menjadi wah!
     Sampai kita tercengang-cengang dengan keramaian di luar kita. Lalu engkau menertawakan itu sambil menuding gila mereka semua. Aku hanya mengiyakan sikapmu dengan senyum seorang artis.
     Lagi-lagi itu tak bertahan lama, duhai. Hanya beberapa hitungan tahun saja, aku-kau kembali ditantang kesemuan dengan kejemuannya.
     Pengembaraan kita berjalan cepat dan panjang, kasih. Setahun separoh, kira-kira begitulah hitungan waktu yang sempat kucatat, tapi kau masih bersembunyi di balik mantel kerahasiaanmu. Bahkan tak sebertik pun kau bermaksud menunjukkan wajahmu lewat webcam seperti yang aku lakukan ketika kita chating beberapa saat lalu. Tidak juga alamat lengkap.
     Padahal kerinduanku telah merangkak ke langit-langit harapan dari gerbang kenangan, terus menyusuri bukit dan gunung penasaran. Duhai… Menjerit aku di kelelahan puncak bayang-bayang. Merintih aku di kumpulan awan suaramu yang selip terus bergelinciran ke dataran tak tentu.
     Maka jangan salahkan aku melempar email-emailmu ke keranjang sampah seperti juga undanganmu barusan. Lalu tertawa perih aku tatap data-data error itu tertelantang di bangkai barang-barang tak guna lainnya; kertas koran, bungkus mie, bongkahan telur, sobekan kain, dan sekotak arogansi-ku.

***

      Menuju langit, malam dikejar pagi. Aku masih meratapi kesendirian di muka monitor, di tengah-tengah kepungan asap rokok dalam ruangan 4x4 meter, di bujukan musik pengecut yang berbau cengeng. Duhai, hatiku telah kehilangan bentuk lalu remuk sambil batuk hampir ambruk.
Lagi-lagi waktu ikut memburu, aku menggigil. Jiwaku tak lagi menempati hati, tak jua mengenal diri, sama saja ketika kecil aku tak kenal lain selain ibu. Dan, tiba-tiba aku rindu sosok mahligai kebijaksanaan itu, wanita berkeriput seluruh kulit, berambut putih, dengan tubuh masih gemuk dan pipi kempot. "Ah, aku masih saja seorang anak-anak", rintih hati ku lemah.

Jambi, September 2004

Catatan
(terjemahan semi bebas dari kata-kata italik di atas)

· RGB: Jenis warna dasar (Red/merah, Green/hijau, Blue/biru).
· CMYK: Jenis warna dasar (Cyan/biru, Magenta/merah, Yellow/kuning, Black/hitam).
· Image Digital: Gambar digital.
· Cropping: Proses pengeditan/pemotongan bagian tak perlu pada gambar digital.
· Photoshop: Salah satu program aplikasi pengolahan gambar digital.
· Layer: Lapisan.
· Drop shadow: Fasilitas memberi bayang-bayang.
· Lasso: Salah satu fasilitas photoshop untuk memilih bagain dari suatu image untuk dimodifikasi.
· Gradasi spiral: Fasilitas photoshop untuk campuran warna yang punya kombinasi dan pola spiral.
· Pagemaker: Program aplikasi untuk menyusun sebuah halaman. Biasa digunakan koran-koran atau offset dan percetakan.
· Raster: kotak berlatar warna.
· Path: Fasilitas photoshop untuk melakukan pemilihan pada bagian tertentu di gambar digital dan mengabaikan sisi tak perlu.
· Terrabyet: Ukuran kapasitas data=1024 Gigabyte.
· Trash: Keranjang sampah.
· Bandwith:
· Server: Komputer yang telah terhubung ke internet.
· Netter: Operator/pengguna internet.
· Nickname: Nama pendek/alias.
· Webcam: Kamera kecil yang bisa diletakkan di atas monitor.
· Chatting: Proses bercakap-cakap pada waktu yang bersamaan tetapi beda tempat dengan penghubung aplikasi chat.