"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Durian

Cerpen : Monas Junior

      Pohon durian depan rumah kami sebenarnya tak patut disalahkan. Ia hanya sebatang tanaman yang juga punya hak hidup. Napasnya tak mengganggu manusia-manusia di muka bumi kala malam. Dan tak terlalu mengusik, kala siang. Ia berdiri di sana, di atas rerumputan hijau karena kehendak manusia yang merindukan buahnya. Sekali lagi, keberadaannya sama sekali tidak mengganggu.
      Lain cerita kalau Pak Erwan turun tangan. Lelaki telah berkeluarga itu sikapnya menjengkelkan umat. Bayangkan, tiap tahun durian itu berbuah ia akan sigap memanjat dan memasang tali rapia ke setiap tampuk durian. Tujuannya apalagi supaya tidak jatuh ke tanah. Supaya tidak diambil oleh pejalan kaki yang kebetulan lewat. Hal itu membuat aku tanpa sengaja menyayangkan keberadaan si pohon durian. Coba kalau tidak ada, pasti Pak Erwan tak berbuat begitu. Dan pasti aku tidak mengandung kejengkelan atas ulah Pak Erwan.
      Sudah acapkali aku berniat nekat menghakimi sebatang pohon durian itu dengan mengapaknya sampai ambruk saat tengah malam. Paginya yang tersisa hanya seonggok mayat durian saja. Dengan posisi rebah dan buah yang berserakan! Sudah bisa dipastikan, Pak Erwan akan kebakaran jenggot mendapati kenyataan bahwa buah durian yang ditunggunya telah berpulang ke rahmatullah. Amin. Maka selesailah kejengkelanku.
      Namun Sri, isteriku yang cantik selalu menggagalkan niatku dengan berkata; ''Adalah kebodohan yang amat jika menghadapi kebodohan orang dengan kebodohan baru, Mas... Lagian kita kan tidak dirugikan oleh dia.''
      Kalau sudah begitu aku banyak diam. Rasanya tak ada yang perlu diperdebatkan karena persoalan kecil ini. Namun sesekali hatiku terusik dan berkata ; ''Iya Di Ajeng. Memang tidak merugikan, tapi menjengkelkan. Apa Pak Erwan tidak sadar bahwa durian itu tumbuh di tanah negara. Kita ini kan sama-sama tinggal di rumah dinas. Satu copel lagi. Bagaimana mungkin ia merasa paling memiliki dan memonopoli seenak perut durian di depan halaman kita itu. Kita juga punya hak terhadap durian itu. Enak kalau dibagi, ini tidak sebutirpun tidak.''
      Sri menyentuh jemariku dan membawa ke pipinya yang halus. ''Biarkan saja, Mas. Kita kan masih mampu beli barang sebutir dua di pasar. Asal jangan ribut gara-gara durian sebatang.. Malu sama tetangga lain.'' Bibir mungil Sri bergerak pelan. Sangat indah disandingkan dengan hidung bangir dan mata bulat bersih itu. Ditambah kalau dia mengerjip-ngerjipnkannya seperti sekarang ini. Dan aku paling tak tahan untuk segera menarik lengannya yang masih menggenggam jemariku ke kamar. Sri mengikuti dengan langkah manja.

***

       Minggu pagi aku memperhatikan Sri menyapu halaman depan lewat kaca jendela ruang tamu sambil menghirup kopi. Rambut panjang dilingkari bando putihnya menari-nari mengikuti gerakan tubuh. Sesekali ia menyibaknya karena mengahalangi pemandangan. Gaun putih itu serasi betul dengan tubuh ramping dan kulit mulus Sri. Aku sudah berulangkali bilang sama dia kalau mengerjakan pekerjaan rumah itu mbok yo jangan pakai baju bagus. Kan sayang kalau kotor. Tapi isteriku itu membantah dengan berkata; kalau orang senang menatap kita, Mas, kita dapat pahala. Lagi-lagi aku tak berkutik dengan hati lembut Sri.
      Untuk kesekian kali aku mempertemukan bibir gelas ke bibirku, tanpa sengaja mataku bertabrakan dengan sebuah kunci dengan mainan miniatur bola tenis. Rasa-rasanya aku pernah melihat kunci seperti ini dan yang jelas bukan kunci rumah kami. Karena mainan kunci kami buah apel kecil berwarna merah menyala.
      ''Jeng... Ini kunci siapa di atas meja?!'' Setengah teriak aku menanyai Sri.
      Ia menghentikan kegiatannya, melangkah ke arahku. Kejap berikut kepalanya sudah menjulur ke dalam memperhatikan meja di depanku. ''Kunci Pak Erwan. Pagi-pagi benar ia dan isterinya pergi ke kota pakai motor. Katanya nanti sore baru pulang,'' isteriku menjelaskan dengan nada halus.
      ''Ya, sudah.'' Aku mengakhiri. Sri melangkah kembali ke halaman depan. Ia melanjutkan menyapu.
      Beruntung rasanya aku menyunting Sri Rahayuning. Ia dapat menjadi seorang isteri idaman setiap suami. Seperti tadi, waktu aku tanya soal kunci, ia bukan menjawab dengan teriakan melainkan langsung datang ke tempat aku. Seringkali dia begitu. Aku, sebagai seorang suami merasa sangat dihargai. Dan kesopanan itulah yang membuat aku makin mencintai Sri.
      Mataku tertuju lagi ke miniatur bola tenis itu. Ah, bisa dibayangkan bagaimana lelaki bertubuh kurus keling itu pagi-pagi sudah memanjat batang durian dengan pisau dan tali rapia di kantong celana pendek. Dengan cekatan, sebentar saja ia sudah sampai di batang terendah pohon itu. Memotong durian yang sudah bergantungan dari semalam, dan memasangi rapia di tampuk durian lain. Setelah itu suara bergedebukan akan terdengar seperti dentuman speaker mikrolet. Selesai itu Pak Erwan turun dan memungut semua durian di atas tanah untuk dibawa masuk ke rumahnya dan menjualnya di kota. Rutinitas itu hampir tiap pagi ia lakukan, sayangnya hari ini aku bangun agak terlambat hingga tak sempat memperhatikan rutinitas Pak Erwan.
      Semula berkenalan dengan Pak Erwan, aku menaruh simpati padanya. Ia tetangga paling baik, paling perhatian dan paling ringan tangan. Kepindahanku ke rumah ini terasa ringan dengan bantuan dia. Entah berapa banyak perabot yang Pak Erwan bantu mengangkatnya. Entah berapa hari ia dengan sabar memberi tahu seluk beluk kampung kecil lengkap dengan penghuninya. Mulai dari kepala desa, lurah, warga sampai tukang jamu gendong yang setiap pagi datang menawarkan jamunya pun dikenalkan Pak Erwan kepadaku. Ngatijah, si penjual jamu itu. Wanita beranak lima tanpa suami dan tinggal di samping rumah Pak Rosyid, Kepala desa.
      Seiring waktu berjalan, aku semakin paham watak asli Pak Erwan. Ternyata ia sosok pandai berminyak air. Mulutnya manis penuh cita rasa. Tetapi hatinya menyimpan kebusukan yang amat sangat. Tak jauh beda dengan isterinya itu, Bu Dewi. Perempuan judes dan suka menceritakan keburukan orang. Entah sudah berapa kali aku pergoki ia ketika memburuk-burukkan aku dan Sri. Katanya kami keluarga yang tidak harmonis. Hampir tiap malam bertengkar hanya karena sudah tiga tahun tidak punya anak.
      Kedatangan kami ke desa ini tak lain karena di kota ada kasus. Isu yang disebarkan Bu Dewi itu; aku diusir karena kasus korupsi. Korupsi pupuk, demikian tepatnya yang disampaikan kembali oleh Ngatijah, si penjual jamu gendong kepada Sri.
      Aku memang tak bisa lepas dari pupuk. Sebab pekerjaanku juga berkaitan dengan pupuk dan insektisida. Aku sarjana pertanian yang begitu tamat kuliah langsung diterima di dinas pertanian. Setelah setahun bekerja aku mempersunting Sri yang waktu itu mengajar di salah satu SD kota. Tiga tahun pernikahan kami, aku memboyong Sri ke desa ini untuk menambah pengalaman dan mencari kedamaian. Terlalu sulit menemukan kedamaian di kota.
      Buk!
      Lamunanku terputus ketika dari halaman muka aku dengar suara sesuatu jatuh. Seketika aku tersenyum membayangkan bahwa yang jatuh itu adalah durian. Ternyata ada juga yang tidak diikat Pak Erwan, aku tersenyum. Bergegas aku berjalan ke muka. Namun tenggorokanku langsung tecekat melihat di halaman itu tertulungkup 'wanita yang hatiku mencintainya'* dengan kepala mengeluarkan darah segar. Di samping tubuhnya tergeletak juga sebuah durian ukuran kepala bayi. Tanpa pikir panjang, aku memburu tubuh Sri dan menggendognya ke dalam rumah. Seketika aku menyesali tindakan Pak Erwan yang kelupaan mengikat sebuah durian. Coba kalau semua durian diikatnya, pasti sekarang isteriku tidak mengalami cidera seperti sekarang ini.***

Muarabulian, November 2001

* Dikutip dari salah satu Sketsa Khalil Gibran.