"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Lalat-lalat hijau
Cerpen : Monas Junior

      Aku berdiri tercenung di depan bak sampah kuning simpang pasar induk kota ini. Mataku mencari-cari mahluk menjijikkan yang kemarin masih mengusik jalanku. Namun separuh hari telah kuhabiskan untuk mencarinya tak juga kutemukan.
      Rasanya yang perlu diherankan itu bukan kehilangan mahluk-mahluk jijik itu, tapi hatiku yang merasa ada sesuatu yang hilang dari hari-hari biasa ini yang pantas diperdebatkan. Tapi aku menghibur diri dengan mengenang saat-saat mereka, lalat-lalat hijau itu menghalangi langkahku setiap tiba di jalan ini, di depan bak sampah yang sudah menggunung oleh barang-barang busuk.       Dan kehadiran mereka selalu membawa kenyamanan buat aku, buat seluruh pengunjung pasar, dan buat siapa saja, barangkali. Persoalannya, sampah dan juga lalat-lalat itu seperti dua sejoli tak terpisahkan hingga menjadi simbol pasar ini.
      Oleh sebab itu ketidakhadiran mereka menjadi teka-teki besar di benakku. Kemana gerangan mereka pergi. Kenapa mereka tidak setia hingga sebegitu tega meninggalkan tempat sampah dan pasar ini. Ketidakadaan mereka membuat aku seolah berada di suatu tempat, bukan pasar. Ah, aku betul-betul kehilangan mereka.
      Dengan kegamangan menggayut di dada aku mengusik pedagang baju beberapa meter dari tempat sampah. Lelaki tua itu tengah asyik menghisap sebatang rokok sebelum akhirnya aku mengacau keasyikannya.
      ''Maaf, Pak. Saya mau tanya sedikit,'' ucapku berbasa-basi. Dan tanpa menunggu ekspresinya aku meneruskan; ''Sebenarnya saya cuma mau tanya apakah bapak melihat kemana lalat-lalat hijau yang biasa terbang mengitari tempat sampah itu pergi?'' kejarku lagi.
      Mendengar pertanyaan dariku barusan, entah kenapa lelaki tua itu membuang sebatang rokoknya dengan keras ke atas aspal tepat beberapa centi dari jempol kakiku. ''Kenapa kau tanya itu. Susah, anak muda sekarang kurang kerjaan. Selalu saja yang aneh-aneh dikerjakannya. Sana pergi, cari kerjaan!'' Ia berkata ketus. Lalu masuk ke dalam warung tendanya entah mau mengerjakan apa.
      Aku sama sekali tak perhatian lagi. Karena aku kembali ke tempat sampah tadi dan mengamati seksama kalau-kalau ada barang seekor dua tertinggal di situ. Tapi akhirnya aku menyerah kalah, tak satupun dari mereka yang kutemukan. Seolah-olah mereka telah raib ditelan hari, ditelan sampah-sampah busuk itu.
      Akhirnya aku paksa kaki untuk melangkah menjauhi tempat itu. Namun beberapa langkah terpaksa kuhentikan kakiku. Sebab dari arah depan mataku menangkap mereka! Lalat-lalat hijau itu. Mereka terbang riang gembira diatas... Sebuah mobil?
      Setengah percaya aku mengedip-ngedipkan mata. Bukankah itu kendaraan dinas milik seorang pejabat teras kota ini. Bukankah itu kendaraan yang selalu menjadi kebanggaan para kepala-kepala instansi. Tapi kenapa lalat-lalat hijau itu lebih memilih mengerumuninya ketimbang tempat sampah itu. Rumah yang paling pantas buat mereka? Untuk sekali lagi aku mengedip-ngedipkan mata seolah tak percaya.
      Masih menanggung seribu tanya aku mengekori kepergian lalat-lalat hijau di atas sedan hitam itu hingga akhirnya berhenti tepat di depan sebuah mobil berplat merah lain, yang lagi-lagi di atasnya berkerumun sekelompok lalat-lalat hijau! Lalu di sana, beberapa meter samping mobil itu ada lagi sekelompok lalat-lalat hijau di atas... lagi-lagi mobil dinas!
''Astaga, sudah gilakah dunia?'' pikirku getir untuk kemudian berlalu dari tempat gila itu dengan langkah lunglai.***

Jambi 2001