Rindu ikan akan
ayam
Penulis: Monas Junior
Kapal telah merapat. Satu persatu penumpang berjejalan
mengangkat barang bawaan ke bawah menuju dermaga yang telah menyambut
dengan riangnya di siang terik musim panas tahun ini. Aku, mengenakan
rompi coklat, bertopi hitam celana jeans biru mengikuti jejak-jejak
telapak kaki mereka. Akhirnya sejam lebih di laut, tubuhku merasa nyaman
berdiri di tanah Si Hang Tuah, laksamana angkatan laut Kerajaan Bintan
atau terkenal dengan nama Kerajaan Malaka masa bauhelak ini. Masih sempat
aku memandang laut di kejauahan, berharap dapat melihat gundukan permukaan
gunung laut, ialah kepulauan Natuna. Tempat aku diizinkan bernafas oleh
ibu hingga memberi anak-anakku kesempatan bernafas sampai detik ini.
Tapi sia-sia, air yang mem-bah itu amatlah luas dan datar dengan ujungnya
menyentuh langit. Lautkah, atau langitkah yang menghambat mataku menikmati
kampung yang kini tengah dinanti isteri cantikku? Juga ketiga putraku?
Berat hati, aku paksa kaki melangkah. Terus, terus,
terus hingga mencapai warung nasi beratap rumbia tak jauh dari dermaga
ini. Tampak sedikit kumuh memang, ditambah wanita kurus berkerudung
putih dengan baju kumal yang menyilahkan aku masuk, lengkap membuat
aku ingin segera mencari tempat yang, setidaknya, bisa melepas dahaga
keindahan.
Namun tak ada pilihan. Pesan singkat di inbox mail-ku
menginstruksikan agar aku menunggu di sini, di warung nasi beratap rumbia
menghadap laut pukul 13.45 WIB. Kulirik arloji, sudah satu lebih seper-empat
menit. Masih ada setengah jam lagi untuk aku mementahkan kesangsian
lalu naik kapal penyeberangan ke Natuna untuk kembali ke pelukan Ninda,
isteriku yang manis.
''Bertahun sudah tak dengar kabar kalian, aku rindu.
Tunggu aku di...'' Begitu isi mail box-ku, maka di sinilah aku sekarang.
Terjerumus dalam bau ikan yang hilir mudik mengikuti nelayan.
Tiba-tiba aku ingin beranjak dan sepertinya tak satupun
bisa menahan keinginanku, tidak juga pelayan kurus itu yang kini tengah
meletakkan segelas kopi. ''Sebentar, bu...'' kataku sepelan mungkin.
Lalu aku melangkah ke arah parkiran ferry beberapa
meter di depan, mengabaikan kerenyitan dahi si ibu penjaga warung. Kuperhatikan
selusin anak usia amat belia sedang menyodor-nyodorkan dagangan asongan
mereka ke satu per satu penumpang, ''Rokok, om. Aqua, Pak. Tissue, Tante...''
bujuk salah seorang dari mereka sementara keringat bocah itu terus saja
menggelincir dari dahi turun ke alis. Kepala botaknya menampar-tampar
cahaya mentari yang memang terik siang ini.
''Rokok, Dek. Sebungkus!''
''Tujuh ribu, Bang.'' Ia menyambut permintaanku dengan
keriangan tak dibuat-buat. Dan tambah riang lagi ketika aku menyerahkan
sepuluh ribu kepada dia tanpa meminta kembalian.
''Makasih, Bang. Makasih...''
Kemudian tubuh tanpa baju itu meloncat-loncat riang
ke arah rekan-rekannya yang sedang bersender pada tiang pengikat tali
kapal sebelah sudut dermaga. Ekor mataku menangkap tatapan-tatapan iri
dari rekan-rekan si bocah botak ketika ia menceritakan kebaikanku.
Aku kembali memerintahkan kaki untuk terus beraktivitas,
maka dibawalah oleh dia tubuhku kembali ke dalam warung tadi. Walau
sebenarnya enggan, tapi aku tak menghardik kaki-kaki letih ini untuk
merubah arah gerakannya, tersebab, ah kami sudah sama-sama lelah. Rasanya
posisi duduk dan diam adalah satu-satunya tindakan paling bijak bagi
semua.
Ya, sudahlah. Sekarang aku sudah duduk di warung
beratap rumbia ini. Dan tenanglah seluruh organ tubuhku. Hampir saja
aku dengar ucapan terima kasih mereka atas kebersediaan aku untuk duduk
dan diam seperti begini. Aku tersenyum sendiri memikirkannya.
Sudah batang ke lima rokok filterku mencemplung ke
dalam asbak, namun mahluk tanpa nama itu masih belum juga menampakkan
wujudnya. Dan waktu jauh melesat dari perjanjian yang telah ia dan aku
sepakati. Sudah pukul dua lewat lima menit, telat belasan menit, Bung.
Sial. Masih banyak juga manusia-manusia yang tega mengecewakan waktu.
Aku berdiri, keluar, lihat sana-sini, lalu kembali
duduk. Keluar warung lagi, toleh sini-sana, masuk, kemudian duduk untuk
kesekian kalinya. Lama-lama lelah juga yang bertambah. Hampir saja aku
mengemas tas sandang dan membayar kopi jika seruan seseorang tak menghentikanku.
''Apakah aku seekor ayam, dan kau ikan tongkol yang
mendendam hingga bulu-buluku pun ingin kau santap juga?''
Suara itu berat, menggigit dan mengenangkanku akan
dongeng orang-orang di kampung; 'Ikan tongkol memakan bulu ayam'. Sesaat
kilasan alkisah itu melintas, bagaimana sekawanan ikan tongkol memohon
kepada rekannya si ayam jago di satu malam untuk membangunkan mereka
saat pesta di rumah seorang nelayan usai subuh nanti. Sebab waktu itu
air laut akan menyurut, takut-takut nantinya ribuan ekor ikan tongkol
yang tertidur karena kekenyangan memakan sisa jamuan pesta, akan mati
akibat kekurangan air.
Tapi sayang disayang, ternyata ayam-ayam jago juga
terlelap dengan perut penuh. Subuh datang, air laut menyurut. Ribuan
ikan tongkol terbangun lalu menggelepar-gelepar di lumpur pantai. Nelayan
yang sudah siap berangkat melaut, langsung menyelamatkan ikan-ikan tongkol
itu dengan tawa dan muka gembira. Saat keramaian makin menjadi dan suasana
kian riuh, ayam-ayam jago baru terjaga, kemudian menatap penuh penyesalan
ke arah rekan-rekannya yang tewas kehabisan nafas di tangan para nelayan.
Dari peristiwa tragis tersebut, beberapa ikan tongkol
berhasil menyelamatkan diri. Lalu mereka mendendam kepada ayam dan tercetuslah
semacam maklumat; 'jangankan batang hidungmu, bulu-bulumu pun akan kumakan
wahai ayam-ayam!' Sembari berenang ke tengah laut, menjauhi bangkai-bangkai
rekan mereka dan tatapan sesal para ayam jago.
Hingga kini beberapa nelayan tua di kepulauan Natuna,
masih banyak yang memancing ikan tongkol dengan umpan bulu ayam. Mereka
yakin para ikan tongkol itu tetap menyimpan dendam mereka pada bangsa
ayam. Dendam turun temurun.
''Kau masih ingat? Ketika cerita itu adalah dongeng
terindah menemani engkau hendak merayap ke ranjang, bermanja-manja,
dan belum terlelap jika belum dikisahkan tentang dongeng-dongeng karya
pentutur jaman lalu? Masih ingat kah, kau? Esoknya kau pasti menagih
lagi untuk diceritakan tentang apa sajalah, asal mimpimu terpancing
datang, lalu kaupun lenyap ditelan malam dalam ketiduran yang nyenyak.''
Sosok lelaki agak pendek. Bertopi hitam dengan hidung
topi yang panjang menutupi matanya. Tubuh besar dan gempal terbungkus
kaos putih. Kulit legam. Jenggot keriting di dagunya begitu kaku membiarkan
angin lewat tanpa sapaan. Bibir tipis, hidung pesek.
''Tentu aku masih ingat, Bapak. Lebih ingat lagi
dengan istilah 'terlambat dari perjanjian'.''
Aku menebak, lelaki inilah yang kutunggu.
''Saya minta maaf...''
Benarlah ini orangnya.
''Sedianya kapal merapat di sini, tetapi keburu menyangkut
beberapa ratus meter dari garis pantai oleh barisan semut bersenjata
lengkap. Mereka mencium barang selundupan pada kargo bawaan kami, dan
mereka benar. Kutinggal saja kapten dengan masalahnya lalu bersekoci
aku ke sini untuk menjumpai engkau...''
Ia membuka topinya, kemudian menatap aku dalam sangat.
Dan jantungku, tiba-tiba berlaku gila. Gerakannya liar sekali..
''Kau!'' Aku histeris.
''Bertahun-tahun sudah...'' Ia berusaha tenang, namun
gagal. Pengunjung kedai juga memperhatikan kami dengan wajah haus ingin
tahu.
''Duduklah dulu, kita bicarakan waktu-waktu yang
luak oleh kita...''
Ia menarik kursi, lalu dengan tenang dibuat-buat ia duduk. Menatapku.
''Tak bisakah kita berdamai dalam lima belas menit ke depan saja.''
Matanya memelas.
''Aku terlalu banyak kesibukan sekarang. Berjumpa
dengan anda adalah kesia-siaan terbesar yang pernah aku buat. Permisi.''
Tak bisa dirayu, bergegas kupecut langkah tanpa tolehan ke dia sedikitpun.
''Bung, kopinya belum bayar!'' selintas aku dengar
jeritan penunggu warung memalukan langkahku. Karena terlanjur, hal itu
pula yang membuat aku kian mempercepat kaki.
Sebuah ferry meraung-raung memanggil penumpang, aku
menyelusup cepat diiringi calo tiket dengan ucapan ''hati-hati, bung.''
Kupandang ke belakang, tak lagi ada wajah lelaki itu. Entah kemana raibnya
ia? Yang ada hanya pria berkaos oblong hitam tengah merayu-rayu seorang
gadis cantik, kemudian gadis itu mengangguk-angguk lalu menyerahkan
beberapa lembar rupiah ke si lelaki. Aku senyum sinis, ''dasar vampir,''
ocehku ketus.
Masih membawa kecemasan, mataku mencari-cari lelaki
tadi ke sekeliling arah. Tak ketemu juga. Setelah agak lama, barulah
kelegaan menyeruak ke dada dan membuat jantungku kembali waras.
Kapal mulai merayap, pelan dan berat, orang-orang
di anjungan berkerumun memandang pelabuhan yang pelan-pelan menjadi
kecil. Camar berputar-putar di atas beberapa meter tiang kapal tertinggi
dengan latar langit biru keputih-putihan awan. Angin menggasak habis
pakaian seluruh penumpang. Dan bau muntah dari penumpang pemula, membuat
kepalaku mengerang ganas.
Kududukkan diri di bangku panjang, belakang tiang
menghadap laut. Laut itu seperti liukan sekumpulan ular bersisik biru,
terus mengiringi kami dengan harapan kapal ini kandas agar mereka bisa
menyantap darah-darah segar.
''Woi anak muda. Masih senang bermain fantasi kau rupanya!''
Sebuah suara. Sebuah suara itu, lagi-lagi membuat
jantungku gila.
''Bertahun-tahun lalu hingga kini, kiranya kerjamu masih kebanyakan
melamun, melamun dan melamun! Mau jadi apa kau!''
Kepalaku mengejar arah suara, kudapati lelaki tadi
di permukaan laut beberapa meter bawah sana. Sekoci coklat dengan mesin
pendorong 60pk mensejajari kapal yang kutumpangi. Matanya bersinar-sinar
kalahkan mentari yang memang hendak mengalah pada senja.
''Orang tua gila,'' bisikku.
''Hei. Kau yang gila. Kenapa kau menghancurkan kenyataan
yang semestinya dihadapi. Inilah aku. Kenyataanmu. Inilah perjumpaan,
sesuatu yang tak bisa dielakkan. Maka kemari, turunlah, naiklah ke sekociku,
dan biarkan kita bicarakan tentang segala keluakan di perpisahaan kita
bertahun-tahun ini!''
Teriakannya mengusik beberapa penumpang. Terbukti beberapa di antara
mereka telah berbaris di sekitarku dan memandang penuh tanya ke lelaki
bersekoci itu.
Nasib mujur buatku, malang buat si lelaki tua, sekocinya
menghantam sebuah puncak gunung laut hingga tak bergerak lagi. Masih
terdengar maki-makian dari mulut dia ketika ferry yang kutumpangi menjauhkan
diri, juga kerasnya tawa-tawa tak tertahankan orang-orang yang menonton
kami barusan. Di sana, si lelaki telah tertinggal bersama kenanganku.
Tetapi tidak dengan dendam. Dendam ini terus mengikuti hingga ke batas
manapun perjalanan kulalui. Amat menyiksa...
***
Hampir tengah malam. Kopi di gelas besar nyaris tak
bersisa. Sebungkus rokok bernasib sama, sekarat. Dan ketika batang terakhir
kubakar, Eva menegurku dengan kemanjaannya.
''Pa... Mama bilang, Papa harus tidur. Besok pagi
kan sudah tugas lagi.'' Masih garing suara si bungsu ini di sampingku.
Kepalanya terkulai di bahuku yang tengah duduk menghadap komputer.
Aku tak bisa menahan kemanjaan masa kecil kalau sudah
dekat Eva begini. Kuusap-usap pipinya, lalu kucubit agak keras, ''tukang
ribut, bilang sama Mama-mu, kerjaan Papa lagi tanggung.''
Eva meringis, bibirnya berlipatan tak jelas bentuk
dan bergerak-gerak liar. ''Jahat!'' Lalu seenaknya saja ia berlalu ke
kamar.
Aku yakin ia pasti mengadu, dan benar saja. Seorang
wanita cantik telah berjalan dengan gemulai gadis ke arahku. Aku, pura-pura
tak tahu kebereadaannya. Menatap lagi ke monitor se tekun-tekun mungkin.
Sementara asap mengimbangi keseriusanku.
''Sudahlah, Pa. Masih ada esok, tak perlu menghabiskan
masa rehat untuk pekerjaan jika tak terlalu penting.''
''Ini penting, Ma.''
''Bisa diguyur Subuh, usai sholat, menjelang mandi
dan sarapan. Tidurlah dulu...''
Aku menopang dagu sambil menatap ia.
''Maksa, kenapa?''
Kukerling mataku berkali-kali. Ia mencubit barhuku
kemudian.
''Jahat!'' ketusnya.
Seperti Eva, wanita yang telah mengalahkan hatiku
itu kembali disembunyikan kamar, menghilang dengan harapan aku akan
ikuti keinginannya.
Tapi tidak bisa. Malam ini aku harus menyusun hipotesa
buat liputan khusus esok. Sebab Prapto, sang koordinator liputan telah
meminta aku untuk menulis berita ini, dan adalah kehormatan buat aku
menyelesaikannya dengan baik.
Sambil mencari tambahan inspirasi pertanyaan, malam terus menunjukkan
keangkuhannya. Dengan pongah pula ia pertontonkan kekuatan dingin dan
sunyi ke tubuhku yang meronta untuk segera dilelapkan.
Tok! Tok!
Sayup pintu depan memanggil.
Tok! Tok! Tok!
Lebih lantang lagi ketukan yang dikeluarkan pintu
itu menyeret langkah raguku ke arahnya.
''Siapa!''
Jam selarut ini, terlalu asing untuk bertamu. Pantas
jika teriakanku memekakkan telinga malam.
''Aku. Bukalah dulu, aku membawa pesan dari ibumu...''
Suara serak, berat dan mengenangkan masa lalu itu!
''Kau. Tak ada waktu lain buat bertamu, Pak Tua...''
Benar dugaanku. Ia lelaki tua bersekoci yang terdampar
seminggu lalu.
''Maaf. Tapi keinginanku untuk pulang amatlah besar.
Aku telah menyerahkan banyak air mata ke ibumu, dan ia menyerahkan keputusan
ke engkau. Ia bilang; 'jika Rahim sedia, aku juga'.''
Kutarik gagang pintu, si lelaki masih dengan pakaian
sama berdiri kedinginan di beranda. Tubuhnya se anyir ikan. ''Jadi,
Bapak ingin pulang?''
''Ya.''
''Pulanglah...''
Secepatnya pintu kututup, tirai kurapatkan hingga
tak bersisa untuk se intip pun. Dengan langkah panas kembali aku mendudukkan
tubuh ke depan meja kerja. Meraih keyboard, dan seolah-olah tak terjadi
apa-apa sekian detik lalu.
''Rahim... Rahim, anakku. Kau telah melihat ikan,
ayam dan segunung dendam di dataran kisah kehidupan. Kau juga mencium
perseteruan sebagai kekokohan Tapi tidakkah kau ingat betapa keakraban
masa lau, telah terpatri dalam rupa kenangan-kenangan indah yang tak
bisa kau hapus, anakku...''
Seperti orator, si lelaki menghardik dari luar. Aku
tertegun.
''Dan kenangan itu... Kenangan itu membuat jiwamu
mencari-cari, aku mencari-cari, kita saling mencari di banyak daerah
nusantara, di selaut Indonesia, di tiap muara. Negeri ini sampai bosan
melihat kita hilir-mudik tapi tak juga berketemuan, anakku...
Andaikata mereka bisa bertindak lebih, pasti ia akan
mempertemukan kita se cepat mungkin. Se cepat-cepat mungkin! Biar tak
ada lorong buat dendam bersarang, biar tak jadi rindu berkarat, biar
tak tercipta penumpulan nurani.
Sekarang aku di sini, anakku Rahim. Dekat sekali
dengan kau, dekat amat dengan jiwamu, rindumu. Tapi kenapa kau malah
menampilkan dendam lebih ke depan. Bukan tubuhmu, jiwamu, rindumu itu.
Ke sinilah, Nak. Jemput aku, peluklah aku... Aku sekarang di hadapanmu,
dekat sekali...''
Tak ter-dam lagi, aku menghambur dengan jiwa dan
kerinduan, menembus dinding, pintu dan jeruji kebekuan ke beranda. Lalu
di sana kami saling berpelukan, meraung-raung tangis dan ocehan tak
jelas. Air mata, sempurna menggenangi pakaian, lantai serta kekeringan
kenangan selama ini.
***
Desember 2003