Stum
Palalao
Cerpen : Monas Junior
Sebagai seorang
intelek, Rizal sama sekali tak percaya hal-hal berbau mistis. Seperti
mitos, pameo, atau sampiran yang ditularkan orang-orang tua terdahulu.
Dan sampai tujuh bulan lalu ia masih bersikukuh pada pendiriannya, bahwa
suatu yang mistis itu cuma berasal dari sugesti pada akal secara terus
menerus hingga mempengaruhi kejiwaan.
Tapi akhirnya ia terpaksa menelan
ludah sendiri, ketika dengan tanpa disadari ia telah terkena guna-guna
dan merubah drastis perjalanan hidupnya.
***
Dalam perkebunan karet di sebuah
desa kecamatan Muara Siau, orang-orang sibuk melakukan pekerjaan masing-masing.
Ada yang mengiris-iris batang karet, mengumpulkan getah di dalam cawan
ke dalam dirijen besar yang tutupnya telah dibelah hingga berbentuk
baskom, kemudian ada juga yang membawanya pada tempat penampungan berupa
bak-bak berbentuk empat persegi panjang. Lalu beberapa orang menuangkan
sejenis cairan keras ke karet cair itu sedikit demi sedikit. Sedang
beberapa orang lain sedang mengangkat karet beku pada bak lain yang
sudah berbentuk balok ke atas timbangan. Dan disitulah, di balik timbangan
tergantung itu, sesosok lelaki berkulit coklat duduk bersila di atas
rumput sementara dua rekannya menghitung berat karet balok itu.
Lelaki itu tampak sekali tengah
hanyut dalam arus pikirannya. Hal itu dapat dilihat betapa ia tak memperdulikan
aktifitas orang-orang di sekitarnya, ia juga tak mengubris betapa matahari
telah sebegitu kasar menghujam lengan kirinya yang menyeruak dari sela-sela
daun karet dan mendarat tepat di lengan lelaki setengah baya itu. Sementara
itu ia tetap tak bergeming dari duduknya ketika seorang lelaki tua yang
tadi menghitung berat karet menegurnya; ''Engkau sedang tak enak badan?''
Seketika itu, barulah ia mengerjapkan
mata beberapa kali. Lalu menjawab perhatian lelaki tua yang biasa dipanggil
Pak Kodir itu dengan muka memelas. ''Lebih dari sakit. Dan sakit ini
menyerang pikiran, juga hati saya, Pak.''
Sejenak Pak Kodir yang bertubuh
kurus hitam mengernyitkan dahi. Dia menangkap buncahan masalah di mata
lelaki yang adalah juragannya itu.
''Kalau pikiran dan tubuh tidak
sejalan, tak sepantasnya seseorang membiarkan diri dalam situasi bekerja.
Karena itu, saya sarankan Adek segera pulang dan beristirahat. Biar
saya yang melanjutkan pekerjaan di sini.''
Rizal, lelaki muda itu adanya, serta merta menatap Pak Kodir. Ia mencari
kesungguhan dari perkataan yang dilontarkan Pak kodir tadi. Dan ia tersenyum
tatkala Pak Kodir melontarkan senyum tegas.
''Tak enak merepotkan Pak Kodir...''
Masih tersisa sebuah keseganan. Segan menyusahkan orang tua dengan tiga
orang cucu itu.
Hingga setelah Pak Kodir tersenyum
tegas untuk kedua kalinya, Rizal baru menegakkan tubuhnya. ''Terima
kasih...'' ucapnya. Kemudian ia melangkah berat menuju sepeda motor
yang bersender sekenanya di salah satu batang karet. Detik berikutnya
ia telah memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan
asap tipis yang mengepul diantara sampah daun, karet dan tubuh-tubuh
para pekerjanya.
Dalam perjalanan pulang, pikiran
Rizal membaca kembali record perkataan Pak Swandi kemarin. Ketika ia
dan mertuanya itu duduk di teras muka rumahnya. Bercakap-cakap sambil
ditemani kopi dan beberapa batang rokok. Yah, seperti basa-basi mantu
dan mertua biasa.
Namun bukan itu yang mengusiknya.
Melainkan kata-kata jujur Pak Swandi telah membuka selimut yang selama
ini menutupi alam bawah sadarnya. Dan ia seperti baru terjaga dari tidur
panjang.
''Sebelum aku berkata-kata, anakku.
Ada baiknya kau siapkan kesabaran sebanyak mungkin. Karena kau bakal
membutuhkan itu setelah aku selesai berkata-kata.'' Pak Swandi melontarkan
pembicaraan baru setelah sekian topik telah mereka selesaikan.
Di sisi Rizal, ia seperti akan menemui
sebuah kenyataan. Sebab kata-kata 'sabar' tak lain adalah kunci sebuah
pintu rahasia. Makanya ia segera membenarkan duduk dan menekan mati
puntung rokoknya, meski itu tak bisa menghapus debar-debar kecemasan
yang ia rasakan.
Pak Swandi melirik Rizal sejenak,
kemudian ia ikut-ikutan mematikan puntung GP-nya.
''Aku sudah memikirkan ini sejak
seminggu lalu. Hal ini teramat berat untuk ditutupi. Akan lebih baik
menyimpan sebilah belati di kantung baju ketimbang sebuah rahasia keluarga.
Karena itu aku memutuskan untuk menceritakannya kepada engkau. Selain
aku sudah tak sanggup menyimpannya, aku beranggapan kau sudah cukup
kuat menerima kenyataan dibalik rahasia ini.''
Rasanya Rizal sudah tak sabar mendengar
rahasia apa yang akan diceritakan mertuanya itu. Ingin saja ia mengejar
dengan lecutan-lecutan pertanyaan, tapi tatakrama keluarga melarangnya
untuk berbuat hal itu. Jadilah ia menunggu detik-detik berikut dengan
gelisah.
Sementara Pak Swandi sama sekali
tak menunjukkan gejala gelisah. Ia dengan tenang kembali membakar sebatang
rokok baru. Lalu menyelipkannya di sela bibir.
''Perlu kau tahu. Perjodohan kau
dan Munah tidak murni dari rasa cinta. Melainkan....''
Lalu Pak Swandi mulai bercerita
panjang lebar asal muasal pertemuan Rizal dan Munah. Bagaimana sesungguhnya
percintaan mereka cuma sandiwara orang tua belaka. Dalam artian tidak
murni lahir dari hati masing-masing.
Seperti diketahui, Munah ialah permata
sulung tak ternilai bagi pasangan Pak Swandi dan Bu Ijah. Dua pasangan
kaya pemilik sekian hektar kebun karet warisan. Sebab itu Munah disayang
mati-matian oleh pasangan itu bak menjaga telur di ujung tanduk, salah
langkah sedikit bisa berakibat fatal.
Namun apa dikata, kata orang hati-hati itu perlu tapi terlalu hati-hati
malah akan menyulitkan. Buktinya ketika Munah beranjak dewasa dan berhasil
mendapatkan gelar sarjana agama, ia terkena stum palalo.
Stum Palalao adalah kutukan adat
pada gadis yang menolak tiga kali lamaran. Kutukan ini entah sudah berapa
tahun ada dalam masyarakat desa Siau, dan asal muasalnya tak jelas darimana,
namun kemungkinan berakar dari turunan adat masyarakat sumatera barat.
Sebab kutukan serupa ini juga berkembang di masyarakat Padang dengan
nama Santuang Palalai. Cara kerjanya juga sama yakni menjauhkan jodoh
penderitanya. Dan hanya bisa diobati dengan pernikahan. Tentu saja pernikahan
yang dipaksa.
Oleh karena itu orang tua Rizal
dan orangtua Munah sepakat menjadikan anak mereka sepasang suami isteri.
Melalui jalur magic juga. Munah dan Rizal dihembuskan 'pengasih' hingga
kedua-duanya seperti telah lama mengenal. Dan setiap saat selalu kerinduan
menyesakkan dada keduanya. Rindu untuk bertemu, bercakap-cakap, berkasih-kasihan
hingga sampailah waktu yang ditetapkan itu. Pernikahan.
Resepsi pernikahan Rizal dan Munah
diselenggarakan di kediaman Pak Swandi, mertua Rizal. Dengan acara yang
amat meriah. Sampai tujuh hari tujuh malam, desa Siau berubah menjadi
pasar malam. Orgen tunggal dan pedagang-pedagang keliling ikut-ikutan
bertengger di balik pagar rumah Pak Swandi.
''Demikianlah kalian sekarang, anakku...''
Pak Swandi menutup cerita. Entah untuk batang keberapa, ia mematikan
api rokok ke asbak di atas meja sambil melirik Rizal yang melotot kosong.
Betapa bingungnya Rizal mengungkapkan
perasaan yang ia alami sekarang. Marah, kesal, bodoh, malu, semuanya
berkecamuk seperti ombak di lautan lepas. Bergemuruh menghantam-hantam
pinggiran jantungnya hingga menimbulkan suara, gup! Gup! Gup! Gup, yang
keras. Namun tak ada reaksi apa-apa dari sekujur tubuhnya, selain menegang
dan pucat.
Mungkin cuma malulah yang lebih
besar ia rasakan sekarang. Betapa malunya Rizal pada dirinya sendiri.
Karena selama ini ia sama sekali tak mempercayai hal-hal berbau magic
dan perjodohan yang diatur orang tua. Ia merasa dirinya adalah pemuda
produk masa kini. Dimana segala hal dipandang dari realitas, logika
dan penjelasan-penjelasan yang bersumber dari pikiran. Bahkan ia berikrar
akan memerangi sebuah akar masyarakat indonesia umumnya; tradisi! Ya,
ia merasa dirinya adalah obor kecil yang nyala apinya bisa membakar
tradisi-tradisi kampungan semacam; perjodohan orang tua dan sekelumit
kebiasaan adat lainnya. Ia juga memandang betapa tidak majunya negeri
ini jika segala sesuatu harus berlandaskan pada adat-adat yang hampir
selalu merumitkan itu.
Tapi kenyataan yang harus diterimanya
kini memaksa ia untuk mengakui betapa tradisi dan adat istiadat itu
seperti buncahan larva dari gunung merapi. Apinya panas menyala yang
tak ada apa-apanya jika dibandingkan ia, obor kecil. Bahkan lahar-lahar
itu kini menenggalamkan ia dalam ketidakberdayaan.
''Mantuku, Rizal. Sekarang bagaimana?''
Pak Swandi menegur.
Rizal menarik napas, ia kumpulkan kembali kesadarannya, ia pusatkan
pikirannya kembali.
''Agar kau tahu. 'Pengasih' itu
akan hilang seketika setelah diceritakan kepada yang bersangkutan. Berarti
mulai detik ini, kau akan menjadi engkau sebelum terkena 'pengasih'.
Idealis, logis, egois dan macam-macam seperti diceritakan orangtuamu
kepadaku sebelum pernikahan kalian. Jadi, selamat datang di dunia normalmu
kembali, Rizal, mantuku.''
Pak Swandi benar. Tiba-tiba Rizal
seperti baru bangkit dari mimpi panjang. Ia merasa betapa pandangan-pandangan
idealis itu seperti hantu yang berkelebat kembali di kawasan otaknya,
terus mengalir ke dasar hatinya dan perlahan mulai mengaburkan debar-debar
kerinduannya terhadap, Munah. Sampai akhirnya cinta itu benar-benar
tak berbekas lagi di hatinya, di kenangannya, lalu digantikan oleh Rizal
sang idealis. Juga, sedikit dendam!
''Aku tahu perasaanmu sekarang.
Emosi, marah, merasa ditipu. Namun seperti telah kuingatkan dari awal,
kau butuh kesabaran sebelum kuceritakan semua rahasia ini. Nah, sekaranglah
kesabaran itu perlu kau terapkan. Setelah kau tahu cerita yang sebenarnya,
aku harap kau mau membiarkan dirimu merenung beberapa waktu. Jangan
ambil keputusan disaat emosi, bisa-bisa kau akan menyesali perbuatanmu
ketika kau telah kembali dalam keadaan tenang.'' Pak Swandi menutup
ucapannya dengan tatapan bijak. Kemudian ia berdiri, memandang Rizal
sambil menjalin tangan di perutnya yang sedikit besar.
''Aku ingin kau pulang, bicarakan
ini sama Munah. Tapi harus dengan baik-baik, karena aku tak ingin mendengar
anakku menjerit kesakitan. Bawa ia dalam pengertianmu, bimbing ia ke
sebuah kenyataan ini dengan tenang. Dan apapun keputusan yang akan kalian
buat, aku siap menerimanya.''
''Satuhal yang perlu jadi pertimbangan
kalian berdua. Kalian bukan hanya hidup berdua. Pernikahan kalian juga
pernikahan beberapa keluarga. Ayahmu, ibumu, aku, isteriku, saudara-saudaraku,
ipar-ipar kalian, semuanya tergantung kalian. Andai perpisahan adalah
keputusan itu, kau harus siap menerima perpecahan dari dua keluarga
besar ini. Kau harus bersedia menjadi panglima dari perang saudara ini.
Kalian, kau dan Munah adalah meja perundingan buat perang ini. Mau damai
atau tempur, semuanya terserah kalian...''
''Pulanglah...'' Pak Swandi berjalan
mendekati Rizal yang masih duduk termenung. Ia memukul beberapa kali
pundak Rizal. Lalu ia dekati bibirnya ke telinga Rizal, ''Jangan kecewakan
kami...'' bisiknya pelan. Kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.
***
Aspal jalan yang dilalui Rizal seakan-akan
ingin teriak minta diperbaiki. Debu-debu menempel erat di atasnya, belum
lagi tumpukan daun dan rerumputan liar yang tumbuh di pinggirnya mulai
merangkak naik ke atas wajahnya. Aspal itu benar-benar menderita, ia
butuh perawatan ulang.
Namun tentu saja itu tak mengusik
Rizal. Ia masih menarik gas motornya dengan perlahan diantara angin
yang menerpa wajahnya sementara pikirannya telah lebih dulu sampai di
rumah.
Ia merencanakan akan menceritakan
hal ini kepada Munah. Setelah seharian hanya berdiam saja, ia putuskan
untuk hari ini sebagai awal dan akhir semuanya. Mungkin keputusan yang
dibuatnya bakal mencetus perang dua keluarga. Ya, karena ia telah bertekat
untuk menceraikan Munah!
Terlepas dari ego, atau kembalinya
kesadaran. Karena merasa dirinya ditipu itu yang membuat ia terpaksa
harus membuat keputusan ini. Cerailah jawaban untuk menghilangkan kesan
bodoh pada dirinya. Lagian obor kecil itu belum lah padam benar apinya,
meski kecil api itu tetap menyala menerangi jiwa Rizal. Dan itu sudah
cukup menciptakan kekuatan untuk sebuah peperangan sekalipun.
Ia juga telah siap keluar dari rumah-dimana
ia dan Munah tinggal-- dengan mengenakan pakaian melekat di badan. Tanpa
membawa apa-apa selain itu, karena sekali ini saja ia mau mengikuti
tradisi. Tradisi yang menetapkan bahwa seorang suami yang cerai harus
keluar rumah isteri tanpa membawa apa-apa selain pakaian di badan. Ya,
biarlah. Bathin Rizal. Lebih baik mengalah selangkah demi kemajuan berlangkah-langkah
menuju masa depan.
Akhirya sampailah Rizal di muka
pagar rumahnya. Ia turun lalu mendorong sendiri pagar yang masih tertutup
itu untuk kemudian membawa masuk motornya ke dalam pekarangan depan
rumahnya. Standar motor ia turunkan, setelah benar-benar berdiri, motor
itu ditinggalkannya menuju teras.
Disitu tak ditemukannya Munah sedang
asyik merangkai bunga seperti hari biasa. Tak dilihatnya beo kesayangannya
berjingkrak-jingkrak riang menyambut setiap kedatangannya, juga tak
dijumpainya senyum manis Munah melihat ia pulang. Hm, kemana semuanya.
Sambil terus bertanya-tanya, Rizal
melangkah masuk setelah memutar kunci pada pintu depan. Lalu ia hempaskan
tubuh di kursi L ruang tamu. Kelelahan yang ia rasakan membuat ia terlelap.
Hingga suara sapaan dari seseorang di muka pantu membangunkan Rizal.
''Assalamualaikum...''
''Alaikumsalam...'' balas Rizal
sembari berdiri menyambut pemilik suara yang tak lain Munah di ambang
pintu.
Serta merta Rizal menarik lengan
Munah ke dalam. Ia membiarkan barang belanjaan Munah tergeletak begitu
saja di lantai teras. Namun Munah memang isteri penurut, ia hanya mengikuti
langkah suaminya hingga di kursi tamu. Disitu ia didudukkan Rizal dengan
pelan. Dan Rizal duduk di samping Munah.
Sebuah helaan napas berat keluar
dari mulut Rizal. Lalu ia mengatur napasnya kembali diiringi kediaman
penuh arti Munah.
''Begini, Munah...'' Rizal memulai.
Meski tenggorokannya serasa sesak, ia terus memaksa untuk bicara.
Munah menggeser badan hingga kini
tepat menghadap wajah Rizal yang masih sibuk dengan pencarian kata-katanya.
Mata Munah sayu dan sesekali terpejam lambat menatap suaminya.
''Munah...''
''Bang...''
Sekali lagi Rizal menarik napas
amaaat panjang. ''Kemarin Abang bertemu dengan Bapak. Ayahmu. Beliau
menceritakan sebuah rahasia yang...''
''Bang...''
''Dapat merubah hubungan kita...''
''Abang...''
''Rahasia itu teramat menyakitkan,
Munah...''
''Bang...''
''Tapi, sepertinya kau juga harus...''
''Bang, Rizal...''
''Tolong dengar aku, Munah. Jangan
memotong pembicaraan..'' Bagaimanapun Rizal merasa sedikit kesal oleh
perbuatan Munah yang memotong kata-katanya. Matanya membulat ke arah
Munah yang juga menatapnya dengan pandangan sayu.
''Aku hamil, Bang. Sudah dua bulan...''
Munah berkata pelan. Matanya berkaca-kaca menatap Rizal.
Dan Rizal seketika terbungkam. Ia
seolah menemukan tembok tebal yang amat keras. Tiba-tiba saja pertempuran
telah terjadi dalam dadanya. Pertempuran antara keputusan dengan keinginan
memiliki seorang anak. Ya, seorang anak. Setelah itu resmilah ia sebagai
seorang lelaki sejati, juga seorang ayah sejati.
Munah masih saja berdiri dalam diam.
Matanya, pipinya sudah penuh semua dengan air mata. Ia sama sekali tak
berbuat apa-apa selain menunggu dan menunggu reaksi Rizal. Calon ayah
dari anaknya nanti.
Sekitar beberapa menit berdiam,
Rizal menemukan solusi. Ia menarik tangan isterinya ke kamar dengan
langkah tergesa-gesa. Dimatanya terpancar sebuah sinar kehidupan, dan
kebahagiaan itu terbayang begitu saja dari senyum mekarnya. Lalu kedua
suami isteri berbahagia itu lenyap di makan kamar. Dalam canda, dalam
senyum dan dalam impian baru pada kehidupan baru.
Biarlah rahasia itu tetap menjadi
rahasia di hati Rizal. Ia sama sekali tak lagi berniat membicarakannya
kepada Munah. Bahkan keputusan untuk menceraikan Munah, telah dibuangnya
jauh-jauh ke angkasa bersama awan-awan kenyataan. Biarlah semua ini
jadi pelajaran buat perjalanan angkuh seorang pelawan tradisi. Karena
bagaimanpun, tradisi itu tak bisa dilawan. Ia adalah larva yang keluar
dari gunung merapi, dan panasnya membakar langit, menghanguskan tanah
sekalian obor-obor kecil di sepanjang jalan.
Namun di dalam kawah hati Munah,
Rizal tak tahu betapa pergulatan hebat telah terjadi. Sebab ayah Munah
juga telah menceritakan semuanya kepada Munah, kemarin. Sewaktu Rizal
buru-buru pergi dari rumah orang tuanya. Saat itulah ayahnya membuka
seluruhnya pada Munah. Ia sama seperti Rizal. Bahkan keputusan yang
ia tentukan juga sama, tetapi cabang bayi yang dikandungannya memaksa
ia berbuat lain.
Biarlah... Biarlah semua ini menjadi
rahasia buat mereka berdua, juga buat kehidupan baru. Meski cinta itu
harus dibina kembali bersama pertumbuhan seorang bayi menjadi anak-anak,
menjadi remaja, menjadi dewasa, untuk kemudian menjadi seperti mereka.
Orangtua yang tahu letak ketuaannya.***
Jambi, Maret 2002