"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Isteri
Cerpen : Monas Junior

      Banyak orang berdecak kagum melihat dia, gadis itu, tatkala dengan gemulai ia melangkahkan tubuh rampingnya. Dan banyak orang ingin menikmati bibir tipis merah dengan sebaris gigi putihnya. Bahkan tak terhitung orang ingin menikahinya karena tubuh mulusnya benar-benar sepadan jika disandingkan dengan salju. Ia sungguh putih mulus, dan tubuh ramping itu, ditambah jika ia mengenakan gaun merah jambu, alamak cantiknya ia.
      Lalu orang-orang mulai bertanya-tanya; ''Siapakah dia? Anak siapa dia? Tinggal dimana ia?'' dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tujuannya ingin mencari tahu keberadaan dia, gadis teramat cantik itu. Apalagi kalau bukan untuk mendatanginya, mengencaninya, kemudian menikahinya jika ia bersedia.
      Tapi betapa orang-orang penasaran itu akan kecewa begitu tahu bahwa gadis yang mengagumkan itu... ialah isteriku. Wanita yang berpuluh tahun lalu telah kunikahi. Dan kami sudah bersama menjalani kehidupan ini sepanjang pergantian peradaban. Tapi, inilah anehnya. Meskipun aku telah berusia sekarang, meskipun jenggotku telah memutih semua, isteriku tetap saja seperti gadis yang pertama kali kujumpai. Cantik, ayu, mempesona, ramah, lembut, baik, sopan, tak banyak tingkah, dan tetap awet muda. Andaikan ia berjalan-jalan berdampingan dengan aku, orang-orang akan menganggap kami sebagai bapak-anak. Bukan suami-isteri.
      Namun, isteri tetap saja isteri. Wanita rumahan separuh pembantu. Hal ini disadari atau tidak telah semua orang terapkan dalam berumahtangga. Lihat saja buktinya, isteri-isteri kita kebanyakan menghabiskan waktunya di rumah, mengurus dapur, merapikan kasur, membersihkan rumah, menyediakan segala keperluan suami dan anak-anak sepanjang hari, dan begitulah terus sepanjang ia masih menjabat sebagai isteri. Kemudian malamnya, para suami malah menindihnya dengan bersemangat.
      Akh, itu kan memang sudah kodrat mereka. Demikian para suami bahkan juga para isteri berkata pasrah. Dan itu adalah benar adanya, kodrat dan mengkodratkan suatu kondisi. Semua tergantung pada kesediaan kedua pasangan menjalani kehidupan berumah tangga, bahkan ada beberapa isteri yang malah mencari nafkah sementara suaminya tinggal dan mengurusi segala pernak-pernik rumahan.
      Tetapi hal itu tak berlaku buat isteriku. Wanita yang teramat kucintai itu. Ia masih tetap setia dengan pekerjaan rumahnya sampai batas kesabaran itu datang juga menghampirinya. Hingga suatu ketika, pagi masih belum sempurna benar. Embun masih asyik menggelayut di ujung anggrek depan rumah kami dan mentari belum penuh menyibakkan tirainya. Isteriku telah mengoceh sepanjangan detik dengan kata-kata bias.
      ''Aku sudah capai kau perlakukan sebagai pembantu. Sepanjang hidup, aku menyerahkan seluruh raga dan jiwaku untukmu, buat kau. Tapi yang kudapatkan dari kau hanya segudang kata cinta, semiliar kata rindu dan segala macam perhatian-perhatian semu yang sama sekali tak kubutuhkan.''
      ''Kau tahu, aku hanya membutuhkan sedikit waktu dari kamu untuk memelihara aku. Untuk menjaga kesucianku dari tangan-tangan kotor, dari jiwa-jiwa liar, dari kemusnahan. Tapi tak juga kudapatkan dari kau.''
Isteriku berkata-kata sambil mengurai air mata. Dan ia terus menangis hingga air matanya membasahi lantai, dan jempol, dan lutut, dan pinggang, dan.. akhirnya aku berdiri dengan seluruh tubuh terbenam. Sementara itu ia masih terus menangis.
      ''Cukup kuhabiskan waktu dengan kau. Karena sekaranglah waktu yang tepat untuk memberi pelajaran buat kau juga kaummu.''
Lalu ia menghilang. Tinggallah aku dalam lautan air yang mem-bah. Lalu dari rumah ku, air itu terus menggenangi halaman, kemudian rt, kemudian kelurahan, kemudian seluruh Jakarta. Air itu tak lain berasal dari tangisan isteriku. Dan ini pasti membuat kau bertanya-tanya, siapakah isteriku itu. Kenapa air matanya bisa membawa malapetaka sebegitu dahsyat.
      Lantas aku cuma tersenyum kecut dalam benaman air sambil berteriak; ''Hei! Dia, isteriku itu adalah alam dan segala keindahannya. Ia telah begitu lama aku dan kau kecewakan! Maka habislah aku juga kalian yang menyiksa dia.''
      Tapi terang saja kau tak akan paham dengan teriakanku, karena yang kau dengar cuma Blup! Blup! Blup! Dan.. Blup!**

Jambi, 2002