"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Kematian damai

Cerpen : Monas Junior

      Seorang lelaki setengah baya dengan tubuh agak condong ke depan, berjalan terhuyung-huyung di atas trotoar jalan utama sebuah kota. Ia berpakaian kumuh amat kumuh hingga tak pantas lagi disebut pakaian. Barangkali sudah sepuluh musim ia tak mandi dan mencuci pakaian. Entah apa yang terjadi pada ia. Tapi yang jelas, ia telah cukup matang dalam pengalaman hidup. Demikian terpancar dari mata hitam bening milik lelaki berkumis jarang itu.
      Ia tak mengubris langkahnya sedikitpun, meski beberapa mobil yang melewatinya memercikkan air dari kubangan jalan protokol yang tak terawat. Bahkan ia tetap menyodorkan senyum ketika sebuah mobil sedan hitam menghantam tepi trotoar persis satu langkah di depannya. Dan ia sama sekali tak melawan ketika lelaki berstelan jas hitam-hitam keluar, menghardik dan memaki-maki wajahnya habis-habisan.
      Heran, dunia seperti sudah sedemikian bodoh! Kenapa yang salah harus selalu kuat dari yang benar. Kenapa yang benar harus diam pada setiap kesalahan yang ditimpakan padanya, dan kenapa kedua-duanya seolah saudara dekat.
      Tapi tetap saja kekaburan antara kebenaran dan kesalahan itu tak mempengaruhi si lelaki berpakaian kumal agak bungkuk. Ia melanjutkan langkahnya ketika lelaki berbaju parlente tersebut mengencangkan pedal gas mobilnya, menerobos siang di atas jalan protokol sembari meninggalkan sekelompok wangi-wangian alkohol.
      ''Aku salah lagi...''
      Sebuah monolog akhirnya keluar dari bibir kering lelaki tersebut diantara lengkingan siang yang makin garang. Keningnya berkerut, ''Tak selamanya, tempat yang paling ramai itu adalah tempat yang menawarkan kesepian. Ya, tak selamanya demikian.''
      Kembali lelaki tersebut bermonolog pelan, halus, dan nyaris tak terdengar. Lagi-lagi lengkingan siang dengan terik mentarinya mengalahkan suara-suara hati lelaki kumal dengan tubuh tak terawat itu. Hingga pada akhirnya lelaki kumal tersebut mendudukkan tubuhnya di bawah pagar bonsai yang menjadi perhiasan sepanjang trotoar jalan protokol. Di sana, di bawah bonsai itu, ia merebahkan tubuh dalam tatapan kosong dan pikiran melompong. Ah, ada apa dengan lelaki itu?
      Untuk lebih jelas lagi mengenai lelaki kumal dengan pandangan penuh pengertian tentang hidup itu, marilah kita ulang kembali catatan kehidupan beliau beberapa bulan lalu.
      Kira-kira hari itu hujan baru saja menyelesaikan tugasnya membasahi bumi. Dan sore benar-benar basah dibuatnya. Dua orang lelaki dengan pakaian jauh berbeda tak kalah basahnya menebarkan percikan-percikan ludah dari kata-kata yang dilontarkan masing-masing. Percakapan mereka begitu seru.
      ''Kematian saudara. Kematian akan menjemputmu dalam hitungan detik. Bisa saja setelah aku menitikkan kalimat ini kau akan menghembuskan nafas untuk terakhir kali.''
      Tik! Tik! Tik! Jam weker di ranjang sal kamar rumah sakit menawarkan kesunyian kepada dokter dan pasiennya.
      ''Bagaimana. Teori Pak Dokter sama sekali tak benar. Buktinya telah detik ke berikut, saya masih sehat wal afiat. Belum mati-mati juga seperti yang bapak ancamkan pada saya barusan.'' Pasien tersebut berkata pelan. Kepalanya sedikit menengadah memandangi raut muka dokter lelaki berkalung stateskop yang tengah berdiri di hadapannya kini. Sementara ia tetap dalam duduk panjangnya di atas ranjang berselimut putih bergaris-garis hitam.
      ''Saudara belum juga percaya akan penyakit ini. Saudara belum juga paham akan kematian,'' ujar dokter itu sambil melangkah keluar pintu.
Namun segera pasien tersebut menghentakkan tubuhnya, berdiri dan mensejajarkan diri dengan dokter yang masih melangkah.
      ''Pak Dokter terhormat. Saya betul-betul kecewa dengan perlakuan Bapak. Karena Bapak jauh sekali dari seorang dokter ideal. Amat jauh!''
''Bagaimana?'' Akhirnya dokter itu berhenti juga. Sesaat mereka saling tatap, sorot kemarahan terpancar dari mata keduanya.
      ''Ya. Anda seorang dokter tak bermoral. Bagaimana bisa Bapak bicara sebegitu kejam terhadap pasien seperti saya. Bapak terlalu menyodorkan fakta-fakta penyakit dan realita sebuah kematian ke hadapan pasien. Sementara Bapak tidak tahu betapa kata; 'Anda tidak usah khawatir, penyakit Anda akan sembuh. Asal banyak-banyak istirahat, berolahraga teratur, dan makan obat yang saya berikan. Insya Allah akan sembuh', jauh amat berharga ketimbang kenyataan yang Bapak sodorkan. Kematian yang Bapak paparkan.''
      ''Karena saya bukan tukang kecap. Saya seorang dokter. Dokter asli. Yang bukan hanya menawarkan kesembuhan semu pada pasien, bukan hanya memberi ancaman-ancaman kecil di rumah sakit untuk kemudian menjanjikan kesembuhan di ruang praktek. Bukan seperti itu! Saudara!'' Dokter tersebut membalas tak kalah kerasnya. Dan kini, ia benar-benar marah. Langkahnya terburu-buru menuju gang-gang rumah sakit umum tersebut.
      Demikianlah. Akhirnya hari itu juga, pasien yang tak lain lelaki kumal di tepi jalan protokol tersebut memutuskan untuk keluar dari rumah sakit yang telah tiga hari mengurungnya. Ia berjalan agak terhuyung. Dadanya sesak, perutnya mual, seluruh tubuhnya pegal-pegal tak karuan. Namun itu sama sekali tak membuat ia berhenti menahan langkah. Karena tujuannya sudah pasti. Mencari kematian!
      Ia telah yakin bahwa kematian itu pasti tiba. Apalagi pada dirinya yang sudah tak punya harapan hidup lagi. Penyakit AIDS yang ia derita seperti segerombolan singa, perlahan-lahan melahap sistem kekebalan tubuhnya, mencabik-cabik kekuatannya. Karena itu ia harus mencari kematian, sebab itu ia harus menjemput kematian. Tapi dimana, dan kemana ia harus mencarinya?
      Beberapa hari kemudian, di sebuah dusun kecil dengan sealir sungai jernihnya, tampak lelaki setengah tua tersebut tengah berjalan di atas sebuah jembatan. Ia berhenti sejenak, ditatapnya sungai yang airnya amat jernih itu, hingga batu-batuan tampak begitu nyata dari atas jembatan dimana kini ia tengah berdiri. Ikan-ikan yang entah apa namanya, meliuk-liuk di sela bebatuan tersebut. Ah, betapa eloknya pemandangan ini. Ah, betapa segarnya udara di daerah ini. Dan, Ah, betapa indahnya kematian di tempat sesunyi ini.
Lelaki tersebut melanjutkan langkah dengan senyum mengembang. Dalam pikirannya terbentang perdebatan panjang mengenai surga dan neraka. Dimana nanti ia harus menuju. Ya, surga. Oh, tempat idaman akhirku. Bisik lelaki tersebut.
      Surga itu adalah kesusahan teman. Surga itu ialah tempat termashgul. Cara pencapaiannya amatlah susah, dan banyak belokan tajam harus dilalui menuju gerbangnya. Dan kalaupun sampai di gerbang surga, masih ada beberapa tantangan lagi terbentang di sekitarnya, ialah nafsu dan angkara murka. Sanggupkah manusia menghadapi kesulitan-kesulitan menjelang pintu surga dibuka. Sanggupkah mahluk hina dina seperti kita menetapkan bahwa; akulah penghuni surga? Sanggupkah?
      O, saudara-saudaraku sesama manusia. Rasanya tidak cukup sekedar keyakinan akan kebaikan dan ketetapan akan kesalahan untuk masuk ke dalam surga. Untuk menetapkan diri adalah penghuni surga. Karena kita amat dekat dengan nafsu. Kita teramat sering mendekati nafsu-nafsu berbau angkara murka. Kitalah korban-korban dari ujian untuk masuk surga itu. Dan kitalah, para pecundang itu. Kita semua.
      Sementara neraka saudaraku. Neraka itu amatlah gampang memasukinya. Cukup menawarkan seulas senyum pada gadis-gadis, kemudian memacarinya, kemudian menindihnya dengan cinta yang dibuat-buat dalam tegakan alkohol. Maka terjadilah perzinahan itu. Maka tamatlah karir kita menuju pangkat penghuni surga. Dan terimalah jabatan penghuni neraka buat kau, buat kita, buat semua budak nafsu.
      Ah, betapa bodohnya aku. Betapa sakitnya kematian yang harus kuhadapi ini. Karena aku tak dapat berkata untuk mengingkari semua kesalahan yang telah kulakukan. Semua perjalanan hidup laluku, seperti hantu menakutkan. Ia selalu saja hadir pada setiap mimpi-mimpiku hingga aku benar-benar takut untuk tidur.
      Demikianlah perdebatan di dada dan benak lelaki tersebut. Sementara langkah-langkahnya kian berat menyusuri jalan tanah dusun kecil ini. Beberapa orang dengan pakaian petani; berbaju kaos oblong putih, celana dasar hitam, dan bercaping bambu, memikul cangkul-menatap ia dengan penuh perhatian. Bahkan ada beberapa dari mereka menawarkan pertolongan kepadanya demi melihat penderitaan di mata lelaki tersebut. Namun ia tolak dengan halus sambil berkata; ''aku menuju kematian, Saudara. Jangan kalian sulitkan diri hanya karena memperturutkan niat baik.'' Lalu para petani tadi melanjutkan langkah, membawa sejuta rasa penasaran di dada.
      Sampailah ia di sebuah perkuburan, pinggir desa. Lelaki tersebut berdiri termangu. Ia menatap hamparan tanah bergunduk-gunduk di depannya dengan tajam. Ia pusatkan perhatian pada serakan daun-daun yang telah berwarna kecoklatan di sana-sini sambil menyatukan seluruh penyakit yang dideranya.
''Di sinilah aku akan tidur. Dan di sinilah semua harus berakhir...''
      Tak lama, penyakit yang berkomplikasi tersebut mulai mempengaruhi tubuhnya. Perlahan-lahan mereka ibarat ratusan tombak menghujam jantung, hati, pikiran dan jiwa lelaki malang itu. Hingga ia terduduk lemas. Dalam ringisan panjang dan raungan kesakitan.
      Namun baru saja ia akan memejamkan mata, menghadapi malaikat kematian. Ia melihat sekawanan srigala berjalan menuju perkuburan tempat ia kini tengah terduduk. Mereka, dengan taring-taring berlendir dan mata merah merangkak penuh nafsu. Dan detik berikut, puluhan srigala itu mulai sibuk menggali sebuah kuburan yang masih basah dan ditaburi bermacam kembang yang masih segar di atasnya.
      Lelaki tersebut giris. Ia menyurutkan tubuhnya ke belakang sambil terus memperhatikan srigala-srigala lapar itu. Dan di balik makam dengan nisan agak besar dan tinggi, ia mengintip segala kebrutalan srigala-srigala tersebut.
Betapa sadis, kuburan itu telah terkuak oleh cakaran-cakaran mereka. Dan dengan segera beberapa ekor srigala masuk ke dalamnya, keluar lagi sambil menyeret sebuah mayat! Ya, mayat manusia yang baru saja dikubur. Dan setelah tiba di atas tanah hasil galian kuburan itu, mereka mencabik-cabik tubuh mayat itu dengan buas. Maka, tamatlah mayat itu. Hingga yang tersisa adalah tulang-tulang tanpa kulit!
      Tak lama, sekawanan srigala tersebut pergi meninggalkan tempat itu dengan kepuasan. Meninggalkan tulang belulang itu tanpa dosa sedikitpun. Dan lelaki di balik nisan tinggi menatap dengan tubuh bergetar.
      ''Ya, Tuhan. Dunia sudah benar-benar gila. Apakah ketuaannya yang terlalu dini ini, membuat dunia menjadi tak waras lagi. Apakah tak ada kebiasaan yang biasa lagi di atas muka bumi yang indah ini. Oh, rinduku pada kematian. Tundalah dulu kehadiranmu, karena aku tak ingin meregang napas di tempat terkutuk ini. Dan aku tak ingin tubuhku habis dilumat srigala-srigala kelaparan itu. Aku tak ingin!'' jeritnya dalam hati.
      Ajaib. Tiba-tiba saja seluruh komplikasi penyakit tadi, perlahan-lahan mengurangi serangannya ke tahap menengah, rendah dan akhirnya benar-benar hilang. Hingga lelaki tersebut sanggup berdiri lagi dan melanjutkan langkah keluar dusun.
      Ketika di ambang gerbang dusun, ia bertemu sesosok petani yang tadi menawarkan kebaikan kepadanya. Dan ia berpesan pada lelaki itu; ''saudaraku. Sampaikan pada kawan pemburu kalian. Jika hewan buruan sudah didapatkan, hendaklah kau sisakan barang beberapa kilo dagingnya buat srigala-srigala di hutan. Jangan kau habiskan semuanya, karena keserakahan adalah pangkal kehancuran. Dan aku tak ingin para mayat menderita akibat perbuatan lapar para srigala itu, dan akibat keserakahan kalian. Tolong sampaikan itu!''
      Lalu ia meninggalkan lelaki petani yang masih melongo diam. Melanjutkan perjalanannya menuju kematian. ''Oh, kematian... jemputlah aku ketika aku sudah benar-benar siap menerima kehadiranmu,'' doa lelaki tersebut berulang kali.
      Telah beberapa daerah ia lalui, tetap saja ketimpangan-ketimpangan, kebrutalan-kebrutalan, dan kebusukan demi kebusukan ia temui. Tak ada lagi tempat damai untuk mati. Tak ada lagi ketenangan untuk sekedar merebahkan diri dalam istirahat panjang. Bagi dia kini, dunia adalah senjata yang bermata tajam semua. Sampai ke hulu-hulunya pun telah terasah hingga jika digenggam akan melukai tangan.
      Jadilah kini ia kembali terlunta-lunta di sini, di kota besar bernama Jakarta. Tergolek di bawah lindungan bonsai sepanjang trotar. Mengais-ngais sunyi dalam deru kendaraan yang berlalu-lalang. Dan rasanya di tengah kesibukan kota besar ini, tak mungkin ia akan menemui kedamaian, ah, betapa sulitnya menemui kedamaian itu. Betapa rindunya ia akan kematian yang damai.
      Mau saja ia menghujamkan diri dalam penyakitnya ketika berada di komplek pemakaman sudut Jakarta beberapa hari lalu. Namun ia segera menghentikan niatnya, ketika sekelompok orang dengan bergegas membongkar sebuah kuburan dan menukarnya dengan mayat lain. Hal itu membuat ia bertanya kepada seorang lelaki penggali kubur tersebut.
      ''Masa kontraknya sudah habis. Ia harus segera dibuang ke laut karena tanah kuburan ini telah ada lagi yang mengontrak.'' Keras dan lantang lelaki itu berseru. Seruannya menggetarkan siang yang terik dan jiwa yang mengkirik lelaki malang itu.
      Dan jadilah kini ia merenungi kemalangannya dalam penyakit yang makin tak tertahankan. Kematian perlahan-lahan berjalan mendekatinya, dan ia sama sekali tak dapat berbuat apa-apa lagi selain tunduk dalam kepasrahan. Tepat ketika beberapa langkah lagi kematian itu tiba, lelaki tersebut berdiri dan berlari menuju sebuah terminal bus antar propinsi. Ia bergegas memesan tiket di loket, dan memburu bangku yang tertera pada tiket di tangannya.
      Di kursi penumpang dalam bus besar ber-AC itu, ia tengadahkan kepala dengan mengangkat kedua tangan. ''Ya, Allah. Berilah hamba waktu sedikit lagi... Hamba benar-benar ingin mati dalam kematian yang damai. Meski setelah kematian ini hamba akan menerima hukuman-Mu akibat segala perbuatan Hamba, namun hamba sungguh menginginkan kematian yang damai itu, Tuhanku. Berilah hamba setetes kesempatan lagi...'' bisiknya pelan.
      Tak terasa beberapa alir air mata mulai menggelitik pipinya. Bahkan air mata itu makin menderas ketika tiba-tiba tubuhnya seperti kembali prima. Dan penyakit-penyakit tadi perlahan-lahan mereda serangannya, hingga ia bisa menghirup napas tanpa rasa nyeri lagi di dada.
      ''Terima kasih, ya Allah....''
      Bus putih itu mulai merangkak. Asap dari knalpotnya memenuhi ruang terminal yang asyik dengan keramaiannya. Perlahan-lahan, setelah kelokan pertama, bus yang ditumpangi lelaki malang tersebut hilang dari pandangan mata.
      ***
      Pagi di sebuah kota kabupaten. Mobil-mobil sederhana mulai mengisi jalan aspal pusat kota. Beberapa pelajar tampak berduyun-duyun mensejajarkan diri pada dingin dan desauan angin pagi. Begitu juga dengan beringin pelindung trotoar, ia seakan ayah yang setia melambai-lambaikan daunnya pada setiap pejalan kaki di bawahnya. Bahkan dengan sedikit genit, ia jatuhkan daun-daun basah ke kepala beberapa pelajar putri, hingga terkeluarlah pekikan manja mereka. Dan beringin pun tersenyum.
      Nun, beberapa meter dari jalan utama kota kabupaten itu, tepatnya sebuah kompleks perkuburan, seorang lelaki bertubuh kumal tengah duduk terpekur dalam diam, dalam hening, dan dalam kebekuan pagi. Rambutnya telah basah diratapi embun-embun sisa subuh tadi. Begitu juga dengan alis mata, terlihat butiran-butiran air bak intan berkilauan menggelayut kecil di atasnya. Dan sebentuk kabut tipis keluar-masuk dari hidung lelaki kumal tersebut. Ah, ia benar-benar kedinginan.
      Agak membungkuk, lelaki tersebut sapukan tangan ke gundukan tanah di mukanya. Ia rapatkan hidung dan bibirnya ke makam bertehel putih itu. Agak bergetar ia berkata; ''Maafkan aku, Ibu. Setelah sekian tahun, aku, anak hinamu ini tak mengunjungimu. Barulah kini aku kembali menjumpai engkau, wahai ibunda tercinta. Maafkan, aku Ibu...'' suaranya pelan mengalir iringi angin pagi yang kian dingin.
      Lelaki itu telah basah oleh embun juga air mata. Ia diam sejenak. Bernapas sesekali. Diam lagi. Kemudian bernapas panjang lalu menghembuskan dengan kuat! Setelah itu, tak ada lagi gerakan dari tubuh, kepala, jari, bahkan matanya.
      Lelaki itu telah tewas. Ia telah menemukan kematian damai yang selama ini ia cari. Dan ternyata, kematian terindah, adalah pertemuan akhir pada ibu - wanita yang melahir dan membesarkan setiap umat di muka bumi ini-, dialah kematian terindah itu. Dan di sisi makam ibu kandungnya, lelaki tersebut dimakamkan oleh orang sekabupaten.
      Setelah sebelumnya seorang penjaga kubur menemukan tubuh ringkiknya tergeletak di atas nisan seorang wanita. Penjaga itu pula yang membawa kabar menggemparkan tentang kematian seorang tak dikenal pada suatu hari di kota kabupaten. Wartawan-wartawan memburu potret tubuh kakunya, penduduk berebut longok, ibu-ibu berebut cerita menyebarkan berita tentang kematian ia. Seorang lelaki tak dikenal. Dan para ibu itulah yang memperjuangkan agar lelaki misterius tersebut agar dikuburkan di samping nisan yang sedang dipeluknya. Karena, kematian damai itu, adalah kematian di sisi seorang ibu.***

Jambi, 25 Maret 2002