"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Kita
Cerpen : Monas Junior

      Wanita tua yang selalu berdandan sederhana itu adalah ibuku. Setengah abad usianya, setengah abad pula ia mengiringi bola kehidupanku hingga aku sekarang sanggup berlari sendiri dan siap membobol gawang ketidakpastian dunia. Meski jarak merintangi kehangatan peluk erat yang biasa diberikan dengan ketulusannya, aku tetap menyempatkan diri untuk pulang membawa sejumput rindu.
      Namun, ada satu ketidaksenanganku terhadap sikap ibu. Wanita yang mendirikan aku dengan air susunya itu. ‘’Pagar rumah kita sudah lapuk. Dinding belakang mulai berayap, dan atap kita mulai bocor, Di. Tolong diperbaiki, ya….’’ Selalu nada serupa menyambut kedatanganku. Padahal keringat di tubuhku belum kering benar, lututku belum berhenti bergetar, dan debu-debu jalanan masih menari di atas mukaku.
      Apa tidak sebaiknya disuruh duduk dulu, kalau perlu disuguhkan makanan bersayur kangkung kesenanganku, atau setidak-tidaknya minum air putih dari sumur belakang. Tapi ini tidak, belum-belum sudah tugas-tugas rutin kerumahan dibentangkan ke hadapanku. Aku masih capek, Bu. Aku butuh istirahat. Dan aku butuh belaian sayang dari tanganmu yang mulai mengerut. Apa Ibu tak tahu itu?
      Kadang ada sedikit niat untuk tidak kembali sekian bulan sekian tahun. Bahkan sesekali aku ingin tidak kembali sampai benar-benar tiba pada batas-batas tertentu. Hanya saja aku tak tahan. Aku tak tahan menggendong rindu yang makin hari semakin menggantuli pikiranku, hingga semua pekerjaanku jadi kacau balau. Andai Ibu tahu hanya engkau wanita yang teramat kurindukan…
      Nalar sehat mengarahkan aku untuk bersabar. Adi, itu demi kebaikan kami juga. Kalau rumah kamu sudah nyaman, niscaya kamu akan nyaman diperantauan. Pikiran jadi tenang. Tak ada was-was terjadi apa-apa di kampung. Dan kamu bisa memastikan Ibu dan ketiga adikmu berada dalam keadaan loh jinawi. Kan begitu, Adi! Demikian nalar ku berkata.
      Tapi nalar itu mulai dikalahkan kejengkelan yang membludak. Aku sudah tak sanggup lagi mendengar keluhan-keluhan Ibu menyambut kedatanganku. Aku muak dengan segala rengekan adik-adik mengenai ini-itu-anu. Bah! Aku bosaaan!
      Mulai hari ini, sehari setelah kepergianku dari kampung aku bertekad untuk tidak akan pulang kampung lagi. Saatnya untuk memperbaiki segala kekosongan waktu selama kepergianku ke kampung. Masih banyak kegiatan untuk mengisi satu-dua-tiga hari di kampung dalam sebulan itu untuk kegiatan yang melahirkan keuntungan. Misalnya ikut si Rinto mengurusi proyeknya.
      Rinto itu teman sekantorku. Meski sistem kantor agak mengukung, namun ia bebas bak burung elang. Hinggap kesana, terkam kemari. Bayangkan, dalam sebulan ia bisa tukar-tukar mobil merek terbaru! Darimana ia dapat uang sebanyak itu? ‘’Investasi... Investasi, bung!’’ Begitu jawaban ringan yang keluar dari bibir tipisnya.
      Salah satu usaha yang tertanam bibit sahamnya adalah perbalokan. Bisnis kayu. Usaha ini sangat menguntungkan. Mungkin semua orang tahu. Banyak orang naik haji karena kayu, tak sedikit orang jadi raja judi karena kayu, bahkan bergelimpangan orang jual diri karena kayu. Emas hidup yang selalu jadi primadona dalam mengeruk keuntungan.
      Purnama hampir capai naik-turun langit, namun aku tak pernah capai mengikuti jejak Rinto dalam mengarungi samudera peruntungan kayu. Tugasku tidak berat, hanya menghitung berapa kubik kayu keluar, berapa truk mobil loging termasuk sopir yang harus dibayar, termasuk memperkirakan berapa ‘lini’ yang harus disogok demi kelancaran pengeluaran kayu. Benar-benar tugas enteng!
      Akibat diselubungi kesibukan, aku jadi melupakan beberapa tubuh kurus di kampung kelahiranku. Entah apa yang terjadi pada mereka, dan aku tak mau peduli. Paling-paling Ibu masih berkeluh-keluhan, adik-adik masih merengek-rengek menawarkan kemanjaan. Mereka akan selalu begitu, karena aku tahu siapa mereka. Mereka adalah roman-roman kusut penggayut langkahku. Jadi.... peduli segala! Toh aku masih terus mengaliri sedikit rejeki buat mereka dalam amplop-amplop yang kukirim tiap bulan.
      Sampai pada suatu ketika, keheningan mentari dipecahkan suara berderak dari sebuah balok di atas loging dekat aku sedang berdiri. Lantas tanpa permisi balok itu menghantam dadaku dengan keras! Bruk! Aku terjerembab sukses di tanah berbantalgulingkan balok berat. Tiba-tiba mataku seperti tak berfungsi. Yang ada hanya gelap.... gelap..... dan gelap. Aku pingsan.
      ***
      Berdiri di atas ketinggian bukit ini sangat menyegarkan. Disini aku dapat menguliti pemandangan dibawah sana dengan tajam. Padi-padi penduduk yang mulai menguning bagai hamparan emas. Irigasi yang membelah sawah seperti likukan tubuh ular raksasa. Pohon-pohon kelapa bertebaran, air kali, para petani, gerobak-gerobak, semua itu adalah lukisan terindah yang pernah aku lihat sejak aku mulai memasok oksigen kedalam paru-paru. Ah, betapa agung pelukisnya.
      Tanpa sadar tanah tepian jurang yang kuinjak longsor. Aku nyaris terperosok masuk ke jurang kalau saja sebuah tangan tak menyambar pergelanganku dengan cepat! Agak giris aku menatap kebawah. Disana, cadas-cadas runcing telah siap mengoyak-ngoyak tubuhku. Tunggul sisa tebangan kayu menyeringai penuh harap menanti kedatangan tubuhku. Untung saja dewa penyelamat hadir pada saat yang tepat.
      ’Ibu!!!’’ pekikku histeris mendapati sosok di tepi jurang yang kini tengah mencekal lenganku itu.
      ‘’Bertahanlah, anakku...’’ ucapnya dipaksakan.
      Namun sayang. Lengan kurus itu tak cukup kuat mencengkeram lenganku. Perlahan-lahan tubuhku hanyut ke bawah seiring gesekan tangan Ibu.
      ‘’Jangan pedulikan aku, Bu. Lepaskan tangan Ibu. Nanti ibu ikut jatuh. Biarlah aku sendiri yang menyongsong kematian. Hanya dengan kematian ini aku dapat membalas segala kesalahan yang pernah aku perbuat pada Ibu. Aku pendosa!’’ kuhardik Ibu. Bayangan sekian waktu tak hadir dalam pelukannya membuat aku merasa berdosa.
      Wanita tua itu masih setia berjuang mempertahankan tubuhku, padahal aku tak pernah berjuang untuk mengingat ia. Aku hampir melupakan ia. Aku sudah tidak memperdulikan ia. Aku orang yang tak perlu dikasihani lagi! Hatiku telah mati! Buat apa lagi aku hidup.
      Dengan sebelah tangan lainnya, aku berusaha melepas cekalan Ibu. Namun Ibu melawan dengan sekuat tenaga. Aliran peluh membasahi wajah Ibu. Dan aku berhasil! Aku lepas dari cekalan Ibu. Kini tubuhku terjun bebas kebawah menghampiri cadas dan tunggul kayu yang sedari tadi siap menerkamku. Namun aku tak bisa lepas dari kengerian, hingga aku tak sengaja mengeluarkan teriakan keras.
      Aaaaaaaaaa!!!!!!!!!
      Lalu hening.
      Wajah-wajah polos tiga wanita menatapku dalam. Aku mengerjap-ngerjipkan mata. Astaga! Wajah itu. Wajah itu adalah orang-orang yang sangat kukenal. Ya, mereka Ibu dan dua adikku. Tapi kenapa mereka ada disini?
      ‘’Alhamdulillah.... Akhirnya kau sadar juga, anakku....’’ ujar Ibu sambil mengurut dadanya sementara tangan sebelah masih menggenggam erat lenganku. Ada setetes air mata mengalir di sudut mata Ibu. Air mata haru.
Perlahan-lahan kesadaranku pulih. Aku kembali ingat bagaimana sebuah balok menghantam dadaku. Akh, sakitnya masih tersisa. Dan bagaimana rasanya dihimpit benda teramat berat. Aku ingat sekarang. Pasti aku sekarang ada di rumah sakit. Sebab seorang suster menghampiri tempatku berbaring membawa baki makanan untuk kemudian keluar lagi.
      Aku mengalihkan pandangan ke wajah Ibu. Wanita tua itu tersenyum. Sangaat manis! Senyum itu seolah menendang keperihan yang tadi sempat kurasa. Senyuman itu yang selalu mengantar kepergianku. Senyuman itu yang tak pernah terkotori angkara murka. Senyum polos itu pula yang merontokkan sendi-sendi keangkuhan seorang anak. Anak biadab!
      ‘’Maafkan Adi, Buuuu.....’’ disela tangis aku berusaha mengemis maaf pada Ibu.
      Ibu membelai dari kening hingga ujung rambutku. ‘’Tak ada yang perlu dimaafkan, anakku... Tak ada....’’ Lagi-lagi senyum itu ditampilkannya melalui bibir-bibir pucatnya. Ah, Ibu. Entah berapa kali aku menyakiti engkau. Entah telah berapa banyak penderitaan yang kau jejal sepanjang perjalanan hidupmu, ditambah penderitaan oleh anakmu sendiri. Namun maaf itu tak pernah habis kau beri.
      Ibu mendekatkan bibirnya ke kupingku. ‘’Kau harus cepat sembuh agar bisa pulang. Rumah kita perlu dibenahi, nak.’’
      Ya, Allah! Betapa bodohnya aku ini. Betapa hinanya perasaanku ini. Aku tak pernah memperhatikan kata KITA pada setiap kalimat Ibu. Itu bukan keluhan. Bukan juga suruhan. Melainkan usaha Ibu untuk menerangkan bahwa; aku adalah bagian dari mereka. Aku adalah satu-satunya harapan mereka setelah kepergian ayahku. Aku adalah segala-galanya bagi mereka. Aku.........
      Rasanya aku tak kuat menahan ledakan-ledakan di dada ini. Kupeluk tubuh Ibu erat-erat. Dan diantara rambutnya yang mulai memutih itu aku hempaskan segala tangis penuh penyesalan. ‘’Maafkan aku, Bu. Maafkan anakmu yang hina ini....’’
      Ibu membalas pelukanku tak kalah eratnya. Hangat yang mengalir dari pelukannya menundukkan kedinginan AC kamar. Ibu.... aku akan sembuh. Tekadku.***

Jambi, 2002